tirto.id - Ketika ditanyai skala prioritas antara mendatangkan Alberto Goncalves atau Aleksandar Rakic, Madura United tak mau memilih. Sambil bergurau, pelatih Laskar Sapeh Kerrab, Dejan Antonic bahkan sempat menjawab jika dua-duanya akan didatangkan manajemen klub pada bursa transfer kali ini.
"Nanti lihat. Kalau [Aleksandar] Rakic atau Beto [Goncalves], saya akan pilih keduanya. Tidak apa-apa kan?," kata Dejan.
Pernyataan itu rupanya bukan gurauan. Rabu (16/1/2019), Rakic resmi diperkenalkan sebagai pemain baru Madura United. Lima hari kemudian striker lain, Alberto Goncalves yang kontraknya bersama Sriwijaya FC telah habis juga menyusul.
Kedatangan Beto dan Rakic pada bursa transfer yang sama semakin menegaskan langkah jor-joran Madura United. Pasalnya, sebelum keduanya datang Laskar Sapeh Kerrab telah merekrut banyak pemain bintang. Mulai dari tiga penggawa Timnas Senior Indonesia: Muhammad Ridho, Andik Vermansyah dan Zulfiandi sampai para pemain yang punya reputasi bagus macam Dane Milovanovic, Jaimerson Da Silva, Fandry Imbiri, serta Marckho Merauje.
Nominal gaji masing-masing pemain di atas memang tidak diungkap ke publik. Namun jika berpatokan dengan data harga pasar tiap pemain yang dirilis transfermarkt, untuk membayar tujuh pemain itu saja Madura United perlu uang lebih dari 1,57 juta euro alias Rp25,1 miliar.
Itu belum termasuk uang yang juga perlu dikeluarkan guna membayar perpanjangan kontrak pemain-pemain bintang lain. Dikarenakan performa konsisten, nama-nama seperti Satria Tama, Alfath Fathier, Asep Berlian, Zah Rahan, Slamet Nurcahyo, hingga Grek Nwokolo juga mendapat perpanjangan kontrak. Per Senin (28/1/2019), setidaknya Madura United telah berpenghuni 25 pemain. Jumlah ini bisa bertambah, lantaran kompetisi juga baru dimulai Mei mendatang.
Sebenarnya, langkah Madura United adalah pilihan sederhana. Mereka mencari pemain-pemain yang tampil bagus di kompetisi lokal musim lalu, lantas menariknya satu per satu. Bedanya dibanding klub lain, Laskar Sapeh Kerrab melakukan ini sambil seolah menutup mata terhadap potensi uang yang perlu mereka korbankan.
Potensi Jadi Sriwijaya FC Jilid Dua
Apa yang dilakukan Madura United bukan hal baru. Musim lalu, klub asal Palembang, Sriwijaya FC juga menempuh tindakan serupa. Sebelum kompetisi dimulai, klub berjuluk Laskar Wong Kito itu jor-joran mengisi skuat dengan pemain-pemain kelas wahid.
Susunan pemain mereka tak main-main. Nama-nama macam Adam Alis, Bio Paulin, Esteban Vizcarra, Yo Hyunkoo, Manuchekhr Dzhalilov, Syahrian Abimanyu, Hamka Hamzah, Alfin Tuassalamony, Makan Konate, Zulfiandi, Mahamadou N'Diaye bahkan Alberto Goncalves jadi tumpuan tim. Hasilnya pun bisa ditebak. Dari awal hingga menjelang pertengahan musim Laskar Wong Kito jadi salah satu klub yang bersaing dalam perebutan gelar juara.
Namun, dampak dari kebijakan transfer jor-joran baru terasa pada pertengahan musim. Utamanya setelah kondisi keuangan Sriwijaya FC anjlok lantaran ditinggal pemiliknya. Ujung-ujungnya, gaji pemain tertunggak dan satu per satu dari mereka memutuskan hengkang. Pemain-pemain yang pergi bahkan sampai sembilan orang, mulai dari Mahamadou N'Diaye, Hamka Hamzah, Bio Paulin, Adam Alis, Makan Konate, Novan Setya Sasongko, Patrich Wanggai, Rahmat, hingga Alfin Tuassalamony.
"Kami dua bulan ini belum gajian, dua bulan dari Mei dan Juni. Karena gaji bulan Mei dan Juni dibayar Juli kan, nah itu belum," kata pelatih Sriwijaya FC saat itu, Rahmad Darmawan.
Sriwijaya FC bahkan sampai harus melepas beberapa nama staf penting demi menyeimbangkan neraca keuangan, termasuk mendepak pelatih Rahmad Darmawan.
"Saya tidak bisa tutupi lagi. Secara garis besar, mereka sudah berpamitan. Dan pelatih ada yang sudah masuk daftar untuk dilepas manajemen, yakni Rahmad Darmawan [saya], Rasiman (asisten), Kurnia Sandy (pelatih kiper) serta Amin (dokter tim)," ujar RD.
Buntut dari kepergian orang-orang penting di dalam tim bisa ditebak. Pelan tapi pasti performa Sriwijaya FC memburuk. Kekalahan demi kekalahan diderita. Akhirnya, Laskar Wong Kito hanya mampu finis di peringkat 17 Liga 1 2018 dan terdegradasi.
Ketika disinggung mengenai kondisi Sriwijaya FC yang mungkin bisa dialami pula oleh Madura United, pihak manajemen Laskar Sapeh Kerrab sama sekali tak pesimistis.
"Kalau ada orang yang mem-bully di media sosial dengan memasang hashtag Sriwijaya jilid dua, pasti tidak akan terjadi. Karena rekrutmen pemain Madura United ini ada visinya. Kami ingin membangun tim ini betul-betul dengan kuat. Bukan hanya kuat di lapangan tapi kuat di segi finansial," kata manajer Madura United, Haruna Soemitro seperti diwartakan detik.
Haruna juga menegaskan perekrutan pemain pada bursa transfer kali ini telah mempertimbangkan kondisi keuangan klub.
"Kalau tahun lalu kami buru-buru, tapi kalau tahun ini, kami sudah mempertimbangkan berdasarkan kas dan cash flow klub. Khususnya dari sponsor yang sudah tetap di tahun 2019," imbuh Haruna.
Seperti Mencicil Rumah
Kekhawatiran Madura United atau klub-klub Liga 1 lain mengalami hal serupa dengan Sriwijaya FC punya dasar. Ini tak lepas dari mekanisme perekrutan pemain di kompetisi lokal yang terbilang unik.
Di sepak bola Eropa, kita biasa menyaksikan seorang pemain didatangkan sebuah klub dari klub lain ketika kontraknya belum habis. Perekrutan ini menyertakan apa yang disebut transfer fee (biaya transfer) yang dibayarkan klub perekrut pemain ke klub lamanya.
Kemudian, pembicaraan soal gaji pemain di klub baru berada di luar mekanisme itu. Biasanya pembicaraan soal gaji akan dilakukan si klub baru dengan pemain atau melalui perantara agen secara tertutup.
Pendeknya, di liga-liga Eropa, gaji pemain dan biaya transfer adalah dua hal yang terpisah.
Sementara di sepak bola lokal, jarang ditemui--kalau tak ingin disebut tidak ada--apa yang disebut biaya transfer. Jamaknya, sebuah klub baru akan mendatangkan pemain ketika kontraknya di klub lama sudah habis. Bisa disimpulkan bahwa sebagian besar pemain di Liga Indonesia datang dengan status bebas transfer dari klub lamanya.
Kemudian si klub perekrut akan bernegosiasi dengan pemain untuk menentukan 'harga pemain' (market value). Setelah dicapai kesepakatan, sebagian dari harga tersebut akan dibayarkan klub ke si pemain sebagai tanda jadi atau DP di awal kontrak.
Jika menilik kasus transfer batal dan pengembalian DP yang sempat terjadi antara Sandi Sute dan Kalteng Putra baru-baru ini, rata-rata DP yang diberikan klub ke pemain berkisar 50 persen dari harga yang disepakati. Kemudian, sisa harga pemain yang belum lunas bakal dibayarkan klub ke pemain setiap bulannya--sesuai durasi kontrak--untuk kemudian disebut sebagai gaji bulanan.
Mekanisme gaji bulanan inilah yang kerap jadi batu sandungan sejumlah klub sehingga kehilangan pemain. Umumnya klub yang bangkrut dan tak bisa melunasi harga pemain sampai akhir kontrak akan ditinggalkan oleh pemain itu sendiri.
Langkah ini memang menimbulkan kesan bahwa pemain tak menghormati klub karena asal pergi sebelum kontrak habis. Namun, pemain pun tak bisa disalahkan. Dengan mekanisme di Indonesia, bagaimana pun gaji kepada pemain adalah 'utang' yang harus dilunasi sebuah klub.
Jika dilihat berdasarkan kenyataan di lapangan, kebijakan penggajian pemain di Indonesia kerap menjadikan kesejahteraan pemain sebagai kambing hitam. Salah satu yang sempat menyita perhatian adalah temuan Asosiasi Pesepak bola Profesional Indonesia (APPI) yang dibongkar ke publik awal 2013 silam.
Saat itu APPI menyebut bahwa ketika kompetisi masih dioperatori PT Liga Indonesia (PT LI)--saat ini operator kompetisi adalah PT LIB--ada tunggakan gaji pemain di klub-klub yang belum terbayarkan. Jumlah tunggakan ini bahkan menyentuh angka Rp38 miliar.
Tak cuma itu, ada temuan ketika operator kompetisi di PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS), klub-klub pesertanya masih memiliki tunggakan gaji pemain, meskipun diperkirakan angkanya tak sampai Rp38 miliar. Dalam mediasi yang dilakukan antara APPI dan operator pada 10 April 2013, disepakati bahwa klub yang menunggak gaji akan berupaya melunasi dengan cicilan selama 24 bulan. Hal ini pun lantas dikritik habis-habisan oleh wakil ketua APPI saat itu, Bambang Pamungkas.
"Tidak rasional jika pembayaran dilakukan dalam 24 bulan," ucap Bepe.
Saking uniknya mekanisme gaji pemain di Indonesia yang kerap ditunggak dan tunggakannya pun dibayar dengan cara mencicil, eks CEO APPI Valentino Simanjuntak sempat menuding klub memperlakukan pemain seperti rumah belaka.
"Itu seperti mengangsur rumah. Itu tidak menguntungkan dan kejam," ungkap pria yang kini jadi komentator sepak bola itu.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih