Menuju konten utama

Tradisi Berladang Tidak Sebabkan Kebakaran Hutan Secara Masif

Menurut John Bamba, masyarakat yang mengenal tradisi berladang menggunakan sejumlah cara saat membakar lahan untuk menghindari terjadinya kebakaran.

Tradisi Berladang Tidak Sebabkan Kebakaran Hutan Secara Masif
Ilustrasi kebakaran. . ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Ketua Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) John Bamba mengatakan tradisi ladang berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak tidak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan secara masif di Kalimantan Barat.

John mengatakan, apabila tradisi bakar lahan yang dilakukan masyarakat Dayak menyebabkan kebakaran secara besar-besaran, maka Kalimantan tidak akan meninggalkan banyak hutan saat bergabung dengan Indonesia di tahun 1945.

“Kalau benar cara masyarakat bakar lahan untuk berladang itu salah, maka hutan Kalimantan sudah habis saat merdeka karena hutannya habis dibakar untuk berladang,” kata John Bamba saat dihubungi Tirto, Jumat (24/8/2018).

Menurut John, wilayah yang terbakar saat ini adalah lahan gambut. Sementara masyarakat tidak mungkin berladang di lahan gambut karena tanahnya tidak subur. “Masyarakat tidak pernah berladang di lahan gambut, karena tidak subur, mereka pasti cari lahan yang bagus dan subur,” kata dia.

Ia menjelaskan, masyarakat yang mengenal tradisi berladang juga menggunakan sejumlah cara saat membakar lahan untuk menghindari terjadinya kebakaran.

Pertama, masyarakat harus membuat “pembatas api” minimal satu meter sehingga tidak merembet ke lahan-lahan lain. “Itu harus benar-benar bersih, jangan sampai ada akar dan lain-lain.”

Kedua, proses pembakaran tersebut harus melibatkan warga satu kampung untuk menjaga dan memadamkan api. “Jadi kalau ada apa-apa bisa diatasi,” kata dia.

Ketiga, harus ada orang-orang yang menyediakan air. “Selain itu pembakaran juga harus melihat arah angin, dan pembakaran dilakukan dari tepi,” lanjut dia.

John menambahkan, proses pembakaran lahan untuk berladang ini juga menggunakan ritual adat. “Ada banyak ritual adat dan tidak sembarangan,” tutupnya.

Ia mengatakan, peristiwa kebakaran secara besar-besaran justru baru terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1997 karena di saat yang bersamaan ada banyak perusahaan-perusahaan besar masuk.

Sementara itu, Direktur Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) Anton Wijaya mengatakan hasil dari berbagai riset menyatakan bahwa ada banyak perusahaan yang masih melakukan proses land clearing (persiapan lahan) dengan cara membakar lahan.

“Karena cara membakar ini adalah cara yang paling murah,” kata Anton saat dihubungi Tirto, Jumat (24/8/2018). Padahal, kata dia, jika mengacu pada aturannya, hal tersebut tidak boleh lagi dilakukan.

Bahkan, kata dia, dari 790 titik api yang ada di Kalbar per tanggal 14 Agustus 2018 lalu, ada sekitar 201 yang berada di area konsesi. Sebenarnya, kata dia, sudah ada 4 perusahaan yang ditetapkan tersangka dalam kasus kebakaran pada 2015 lalu.

“Ada 4 perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, 1 perusahaan di SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan] karena tidak cukup alat bukti,” lanjut dia.

Sementara untuk proses hukum kepada 3 perusahaan lainnya masih tetap berjalan karena sudah mencukupi alat bukti. “Tapi sudah tiga tahun berjalan masih tetap belum selesai,” kata Anton.

Untuk itu, Anton berpendapat bahwa kasus kebakaran hutan dan lahan ini tetap akan terus terjadi apabila pemerintah tidak tegas dalam menegakkan hukum.

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan jumlah titik panas (hotspot) semakin meningkat menyusul musim kemarau yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, namun titik panas terbanyak terjadi di wilayah Kalimantan Barat.

"Wilayah yang cukup signifikan mengalami peningkatan titik panas yaitu Kalimantan Barat (798 titik), Kalimantan Tengah (226 titik), Jambi (19 titik) dan Sumatera Selatan (13 titik)," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Jakarta, Kamis (23/8), seperti dikutip Antara.

Menurut Dwikorita, informasi titik panas itu disusun berdasarkan citra satelit Terra dan Aqua. Ia menyampaikan, peningkatan jumlah hotspot tersebut terjadi akibat kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.

Untuk itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah, Instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN HUTAN atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto