tirto.id - Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan menolak pembukaan sekolah berdasarkan zonasi. Ia menilai zonasi tak menjamin keamanan lantaran anak yang meninggal karena COVID-19 masih banyak.
Dalam konferensi pers secara virtual Senin (17/8/2020) Aman mengatakan pembukaan sekolah saat ini memiliki resiko besar terhadap kesehatan anak dan tenaga pendidikan. Hal itu ia katakan berdasarkan data yang dimiliki oleh IDAI banyak anak yang terpapar COVID-19.
Data yang dimiliki IDAI dari seluruh Indonesia pada Maret 2020 hingga 10 Agustus 2020 terdapat 11.708 anak supek COVID-19 yang 318 di antaranya meninggal. Sedangkan yang terkonfirmasi positif COVID-19 ada 3.928 anak dan 59 di antaranya meninggal dunia.
"59 [anak meninggal positif COVID-19] ini data Minggu lalu. Kami tahu pasti semua setiap kasusnya satu persatu kenapa dia meninggal," kata Aman.
Berdasarkan data tersebut, 10 persen merupakan anak dengan usia 0-28 hari; 32 persen berusia 29 hari- 11 bulan 29 hari. Kemudian 24 persen berusia 1-5 tahun; 14 persen usia 6-9 tahun dan sisanya 20 persen berusia 10-18 tahun
"Kalau sekolah dibuka yang [meninggal] usia 10 tahun ke atas ini juga banyak, ada 20 persen. Ini adalah anak yang sulit untuk diatur untuk pakai maker atau cuci tangan. Ini mau sekolah dibuka," kata Aman.
Menurut Aman, IDAI tidak pernah dimintai pertimbangan, baik pemerintah pusat maupun di daerah tentang pembukaan sekolah.
Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Tety dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan betapa pentingnya kesehatan anak. Ia ingin agar dalam kondisi pandemi ini pemeritah tetap memberlakukan belajar jarak jauh.
"Kami menolak untuk [belajar langsung di sekolah] tatap muka bagi sekolah-sekolah di Indonesia untuk melindungi anak-anak Indonesia," katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung. Ia menilai ada hal-hal yang tidak terpenuhi dalam pembukaan sekolah yang membuat aspek kesehatan tidak terjamin.
"Pembukaan sekolah pada tingkat SMA dan tingkat terbawah sampai PAUD ini kebijakan yang tidak menentingkan kesehatan anak," ujarnya.
Inisiator Koalisi Warga Lapor COVID-19 Irma Hidayana dalam konferensi pers tersebut menegaskan bawah kebijakan pembukaan sekolah harus dibatalkan. Pembukaan sekolah nilainya justru akan menjadi fasilitator penularan COVID-19.
Menurutnya ada beberapa alasan penting kenapa pembukaan sekolah harus dibatalkan. Yang pertama pembukaan sekolah berdasarkan zonasi hijau dan kuning dinilai tidak menjamin aman COVID-19.
Zonasi kata dia tidak dapat dijadikan patokan keamanan terhadap ekosistem di dalam dunia pendidikan agar mereka tidak tertular COVID-19. Karena zonasi ini mengandung masalah sebab zonasi hijau misalnya tidak benar-benar aman COVID-19 karena masih kekurangan tes.
"Pemerintah harus mengakui tes PCR yang dilakukan pemerintah belum secara merata sesuai anjuran WHO yakni 1:1000 populasi per minggu," ujarnya.
Alasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang ingin membuka sekolah karena menilai pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak efektif, menurut Irma itu harus ditinjau ulang.
"Kami merasa ini sangat tidak etis dan sangat tidak pantas. Tidak mungkin kendala PJJ ditukar dengan mempertaruhkan kesehatan, jiwa dan bahkan nyawa siswa, guru dan tenaga pendidik," ujarnya.
Sehingga menurut Irma, solusinya bukan dengan pembelajaran langsung di sekolah melainkan, mencari jalan keluar dari masalah PJJ agar lebih efektif.
"Maka kami menilai keputusan Mendikbud ini menunjukkan ketidakmampuan beliau membuat keputusan berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak Indonesia. Seperti yang tertuang dalam konvensi hak anak," kata Irma.
Oleh karena itu Mendikbud dan juga kementerian lain termasuk Kementerian Agama yang memiliki wewenang terhadap sekolah berbasis agama untuk membatalkan kebijakan pembukaan sekolah.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Gilang Ramadhan