tirto.id - Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memberikan kesempatan bagi eks narapidana koruptor maju kembali di Pilkada 2020. Namun, Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra menjelaskan, kebijakan tersebut membuat masyarakat resah.
"Hal dilematis ini karena upaya memberikan hak setara kepada warga negara, juga didukung komitmen parlemen yang tidak tegas dalam pemberantasan korupsi. Tetapi ada yang dilupakan, bahwa setiap hak akan bertemu hak yang lain," terang dia kepada wartawan Tirto, Jumat (2/8/2019).
Ia menjelaskan, eks narapidana korupsi memang punya hak karena dilindungi oleh UU untuk mengikuti Pilkada. Namun publik juga punya hak mendapatkan pilihan dari calon pemimpin atau kepala daerah yang terbaik.
"Masyarakat layak mendapatkan calon kepala daerah terbaik dan hak publik ini yang sering terabaikan," beber dia.
Menurut Dedi, revisi Undang-undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang eks narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah merupakan tantangan bagi DPR RI.
"Idealnya, UU adalah platform utama, sementara Perpu hanya menjelaskan detail dan teknis. Tetapi, tentu efisien UU, karena UU berposisi lebih tinggi. Inilah ujian bagi legislator, berani atau tidak dengan komitmen pemberantasan korupsi, dan publik akan menilai," terang dia.
Ia mengatakan, dalam gambaran secara sederhana, pemerintah harus berupaya mendorong parlemen untuk segera menghasilkan UU yang relevan dan strategis
"Perlu langkah strategis dalam hal memberikan pilihan publik yang baik, salah satunya memberatkan syarat kontestan politik. Mereka yang pernah diputus bersalah dalam persidangan, dalam kasus apa pun, seharusnya tidak memiliki hak dipilih untuk jabatan-jabatan politik dan publik," tandas dia.
Sebelumnya KPU berharap ada revisi UU Pilkada untuk melarang eks narapidana koruptor maju kembali di Pilkada 2020. Komisi II DPR menyatakan akan mempertimbangkannya jika ada usulan dari partai atau pemerintah.
Namun, proses revisi UU akan membutuhkan waktu yang lama. Langkah yang saat ini tengah dianjurkan oleh para pengamat politik dan DPR yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu meminta presiden untuk membuat Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perpu) sambil menunggu revisi UU Pilkada.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Alexander Haryanto