Menuju konten utama

TKN Jelaskan Alasan Jokowi-Ma'ruf Lebih Pilih Fosil Ketimbang EBT

Penyediaan listrik Indonesia masih didominasi oleh batu bara sebanyak 58,3 persen dari total daya terpasang.

TKN Jelaskan Alasan Jokowi-Ma'ruf Lebih Pilih Fosil Ketimbang EBT
Aktivitas perusahaan penimbunan batu bara yang dilakukan secara terbuka di tepi Sungai Batanghari terlihat dari Muarojambi, Jambi, Kamis (18/10/2018). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.

tirto.id - Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN), Arif Budimanta menjelaskan alasan pasangan Jokowi-Ma’ruf lebih memilih menggunakan bahan bakar fosil ketimbang Energi Baru Terbarukan (EBT). Pasalnya, kata Arif, bahan bakar fosil lebih murah dibanding bahan bakar lainnya.

Alasan lainnya, kata dia, karena pemerintah juga masih memberikan subsidi listrik kepada penduduk miskin. Subsidi tersebut mencapai Rp 88.000 sampai 445.000 per bulan untuk 40 persen penduduk termiskin.

“Pemakaian energi harus sesuai willingness to pay penduduk. Jadi listrik tidak terasa mahal bagi rakyat. Arah kebijakan harus dilihat perspektif itu,” ucap Arif dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Ekonomi Batu Bara vs Energi Terbarukan, Bagaimana Kebijakan Presiden Terpilih” pada Kamis (7/2) di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Menurut data Greenpeace, penyediaan listrik Indonesia masih didominasi oleh batu bara sebanyak 58,3 persen dari total daya terpasang. Lalu diikuti oleh gas sebanyak 23,2 persen dan minyak bumi sebanyak 6 persen.

Terkait pilihan batu bara sebagai jawaban untuk keterjangakuan biaya energi, ia menuturkan batu bara sudah banyak tersedia di Indonesia sehingga tidak perlu impor. Hal ini, menurutnya, sejalan dengan strategi menyediakan energi berbasis potensi setempat.

“Mengapa batu bara? Itulah yang termurah bagi Indonesia,” ucap Arif.

Kendati demikian, Arif memastikan bahwa pasangan calon nomor urut 01 juga tidak akan melupakan target bauran energi yang menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencapai 23 persen. Ia menyebutkan bauran energi fosil dan non-fosil tetap akan dilakukan.

Hanya saja, ia menyatakan mahalnya investasi EBT masih menjadi salah satu kendala. Di sisi lain, komponen pembangkit listriknya juga masih tergolong mahal. Seperti misalnya, kendati solar cell murah, ia menilai baterainya masih mahal.

Selain itu, ia juga mengklaim, pengembangan batu bara sebagai energi primer akan diarahkan menuju teknologi “green coal” sehingga dapat menurunkan emisi. Di sisi lain, ia juga mengatakan pemerintah masih berupaya memanfaatkan energi fosil secara lebih efisien.

“Kami basisnya mix energy. Fosil dan non-fosil. Saat ini basisnya dari energi tidak terbarukan sisanya dari EBT. Tapi one day saat teknologi dan harga lebih murah, keadaan bisa berbalik,” ucap Arif.

“Kalau dari sisi teknologi semakin murah. Bukan tidak mungkin sumber energi EBT bisa mencapai 40-50 persen di RUEN. Itu konsensus saja,” tambah Arif.

Menanggapi pernyataan itu, Peneliti Senior, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI, Alin Halimatussadiah menampik bila harga energi fosil seperti batu bara benar-benar murah seperti yang diperkirakan secara finansial. Namun, belum tentu secara opportunity cost (biaya lainnya yang harus ditanggung meski tidak tampak).

Walaupun memiliki modal awal yang lebih besar dan relatif mahal, hal itu tidak sebanding dengan risiko lingkungan yang dihindari. Dengan perkembangan teknologi, ia yakin EBT akan semakin murah sehingga Indonesia dapat menerima manfaat pertumbuhan ekonomi darinya.

“Memang biaya pembangkit sekian (murah). Tapi liat ke belakang distribusi dan penambangannya. Berapa dampak sosial dan lingkungannya. Masukan semua cost-nya dan EBT akan lebih prospektif,” ucap Alin.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto