tirto.id - Berteriak pada anak dapat menjadi salah satu hal yang akan disesali orang tua setelahnya.
Orang tua berteriak pada anak dapat terjadi karena berbagai alasan.
Hal itu bisa didasari dengan alasan percaya pada pola asuh lama yang meneriaki berarti akan meningkatkan kedisiplinan atau karena merasa sudah berada di ujung batas kesabaran.
Faktor Penyebab Orangtua Berteriak pada Anak
Sementara itu, menurut Nina Howe, seorang profesor pendidikan anak usia dini dan dasar di Concordia University dalam laman Today's Parent menjelaskan bahwa orang tua meneriaki anak adalah suatu respons otomatis.
“Orang tua berteriak karena mereka ditarik ke jutaan arah yang berbeda dan terjadi sesuatu yang membuat mereka frustasi. Mereka melihat anak-anak mereka berkelahi atau anak itu melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui, jadi mereka melepaskannya begitu saja. Ini semacam respons otomatis,” kata Howe.
Dalam sebuah penelitian tahun 2003 yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and Family pun, ditemukan bahwa hampir 90 persen dari hampir 1.000 orang tua yang disurvei terpaksa berteriak dengan anak-anak mereka di tahun sebelumnya.
Terlebih lagi, untuk keluarga dengan anak di atas tujuh tahun, hampir 100 persen orang tua mengaku sering berteriak.
Efek Berteriak pada Anak
Meneriaki anak mungkin terkadang dapat membuat anak mematuhi perintah, tapi orang tua sering kali lupa pada fakta bahwa teriakan dapat memberi efek negatif jangka panjang.
Sejumlah studi klinis mengungkap apa saja efek negatif berteriak pada anak, yakni:
- Menyebabkan depresi
- Memperburuk perilaku anak
- Mengubah perkembangan otak
- Masalah kesehatan fisik
- Menyebabkan sakit kronis
Tips agar Bisa Berhenti Berteriak pada Anak
Seperti yang dikatakan Howe, berteriak pada anak merupakan sebuah spontanitas. Hal itu mungkin menjadi alasan mengapa berteriak atau marah pada anak dengan suara keras sulit dihentikan.
Dilansir dari Choosing Therapy, anak yang sering dibentak umumnya tidak akan menghasilkan perubahan perilaku yang positif. Teriakan pada anak mungkin berhasil di kali pertama, tapi tidak jika digunakan terus-menerus.
Berikut ada sejumlah tips agar bisa berhenti berteriak pada anak, yakni:
1. Berhenti berteriak karena hal biasa
Orang tua kerap tidak sadar seberapa sering orang tua meninggikan suara tentang hal biasa dalam kehidupan sehari-hari dan tidak membuat frustasi. Misalnya berteriak dari dapur sambil berkata, "Makanan sudah siap!" pada anak yang sedang di kamar.
"Sebaliknya, cobalah berjalan ke arah anak-anak Anda dan berbicara dengan mereka dengan suara bicara yang biasa," saran Parent Advisor Eileen Kennedy-Moore, penulis "Growing Friendships: A Kids' Guide to Making and Keep Friends" dikutip dari Parents.
Menurutnya, teriakan tersebut dapat memberi efek bumerang. Ketika orang tua berteriak, anak juga akan menjawab dengan berteriak seperti, "Iya! Sebentar lagi!"
2. Dekati anak
Meski sudah menahan, tapi ketika anak tidak mendengarkan atau berperilaku buruk, mungkin tetap saja membuat orang tua benar-benar ingin berteriak.
Alih-alih memarahi anak dengan suara keras, cobalah berfokus pada metode yang lebih lembut. Sejajarkan diri dengan anak, peluk dia, dan beri tahu bahwa Anda memahaminya.
3. Turunkan momen pemicu
Pagi hari umumnya merupakan waktu yang sibuk karena banyak yang harus dikerjakan. Anak kerap sulit bangun dan hal itu terasa menjengkelkan, tapi marah tidak membantu.
Dalam kondisi ini, cobalah untuk menurunkan momen pemicu. Bangunkan anak dengan mengatakan, "Selamat pagi, sayangku," alih-alih mengomel, "Bangun! Ini sudah jam berapa? Nanti telat sekolah!"
4. Mengerti kelakuan anak
Menurut psikolog, perilaku buruk anak diarahkan pada tujuan yang artinya terdapat sebuah kebutuhan mendasar yang harus diperhatikan.
Perilaku buruk anak umumnya terbagi menjadi empat, yakni kekuatan, perhatian, pembalasan dendam, dan ketidakcukupan.
Apabila mampu mengidentifikasi perilaku tersebut, orang tua dapat mulai memahami anak dengan tepat, bukan dengan cara berteriak.
5. Beri jeda sebelum menanggapi
Berhenti sejenak dan ambil napas dalam-dalam agar memberi jeda atas apa yang dilakukan anak dan meresponnya. Beri kesempatan untuk diri agar memusatkan emosi secara rasional.
6. Ingatkan diri
Ingatkan diri sendiri dengan kata-kata positif seperti, "Ini juga akan berlalu", "Saya baik-baik saja", "Ini hanya sementara". Hal ini mampu menantang pikiran untuk membantu mengklarifikasi respons.
7. Beri peringatan
Wajar untuk memperingatkan anak-anak, karena mereka mengulur-ulur waktu tidur atau berkelahi dengan saudaranya.
Cobalah katakan, "Mama/Papa tidak mau berteriak untuk mendapat perhatian kalian. Kalau kalian tidak mendengarkan, Mama/Papa akan kehilangan kesabaran."
Peringatan tersebut kadang cukup membuat anak meredam dan mempersiapkan mental anak untuk transisi.
8. Ajarkan pelajaran nanti
Saat anak bertingkah, bukan berarti anak harus diberi pelajaran saat itu juga. Mungkin memang sulit untuk menunggu, tapi cobalah untuk melatih pengendalian diri.
Ketika waktu yang tepat tiba, bicarakan dengan tenang bersama anak mengenai ekspektasi dan konsekuensinya.
9. Sesuaikan ekspektasi
Dengan anak-anak, menjaga harapan tetap realistis adalah kunci utamanya. Salah satu alasan orang tua berteriak yakni karena menaruh harapan tinggi yang akhirnya tidak sesuai dengan kenyataan.
Buatlah skenario yang lebih sederhana misalnya beri lebih sedikit tugas atau keluarkan satu arahan pada satu waktu.
10. Sadari bahwa terkadang masalah ada pada orang tua
Terkadang, kesalahan ada pada orang tua, bukan perilaku anak. Bisa jadi, Anda mungkin sedang merasa atau tertekan sehingga perilaku kecil anak saja dapat memicu teriakan.
Apabila sedang lelah, lakukan meditasi atau apapun yang dapat membuat Anda lebih tenang.
Tanyakan pula pada diri sendiri, "Apa yang terjadi pada saya sehingga saya membentak anak-anak selama tiga hari berturut-turut? Apakah saya tidak cukup tidur? Apakah saya merasa tidak dihargai? Selain perilaku anak-anak saya, apa lagi yang terjadi pada saya?’”
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Dhita Koesno