Menuju konten utama

Timnas AMIN: Pelanggaran Pilpres 2024 Ada Sebelum Pencoblosan

Tim hukum nasional Timnas Amin meminta masyarakat melaporkan ke pihak berwajib dan memviralkan bila menemukan potensi kecurangan Pilpres 2024.

Timnas AMIN: Pelanggaran Pilpres 2024 Ada Sebelum Pencoblosan
Executive Co-Captain Timnas AMIN Sudirman Said memberikan keterangan kepada pers usai menyampaikan Catatan soal Pemilu Jurdil dan Bermartabat di Rumah Koalisi Perubahan, jl brawijaya x jaksel hari ini. (FOTO/Dok. Timnas AMIN)

tirto.id - Tim Hukum Nasional (THN) Timnas AMIN mencatat berbagai pelanggaran dalam Pilpres 2024. Ketua THN Timnas AMIN, Ari Yusuf Amir, mengatakan bahwa berbagai pelanggaran pemilu telah terjadi dan patut menjadi perhatian semua pihak karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.

"Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 dibayangi kejahatan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif. Potensi itu bisa dirunut dari manipulasi peraturan perundangan melalui Putusan MK. No 90/PUU-XXI/2023 untuk meloloskan salah satu paslon," ujar Ari dalam acara "Catatan Timnas AMIN untuk Pemilu Jurdil & Bermartabat di Sekretariat Koalisi Perubahan, Jl. Brawijaya X, Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Pertama, manipulasi peraturan perundangan melalui Putusan MK. No 90/PUU-XXI/2023 untuk meloloskan salah satu paslon. Manipulasi itu membuat para hakim MK mendapat hukuman etik. Bahkan, ketuanya dicopot dari jabatannya.

Kedua, para komisoner KPU juga mendapatkan sanksi etik dari DKPP karena menerima pendaftaran salah satu capres dengan menggunakan PKPU yang tidak sesuai. Motifnya sama yaitu untuk meloloskan salah satu cawapres.

Ketiga, selain pelanggaran etika, pelaksanaan Pilpres 2024 juga diwarnai pelanggaran norma dan asas pemerintahan umum yang baik, berupa ketidaknetralan aparatur penyelenggara negara mulai dari presiden, menteri, Pj Kepala Daerah, ASN, kepala Desa, hingga aparat penegak hukum.

Ketidaknetralan itu memiliki kecenderungan pola yang sama, yaitu memenangkan salah satu paslon.

Menurut Ari, ketidaknetralan pejabat negara dan aparatur sipil negara tergambar dengan nyata dari pernyataan presiden yang menyatakan presiden boleh berpolitik dan boleh memihak dalam kontestasi politik.

Selain itu, potret ketidaknetralan para penyelenggara negara terkonfirmasi dari pengerahan sumber daya negara melalui beberapa hal.

Mulai dari penggunaan anggaran negara melalui penyaluran bantuan sosial (bansos). Ini tentu saja terlihat jelas karena disertai ajakan untuk memilih paslon tertentu.

Lalu, keterlibatan aparat penegak hukum untuk memantau petugas KPPS dan PPK. Misalnya aparat penegak hukum meminta ikut masuk WA Group KPPS dan meminta data nomor para PPK.

Ada pula, keterlibatan para kepala desa untuk memenangkan calon tertentu dengan berbagai modus.

"Pengerahan sumber daya negara tersebut dilakukan agar pemilu berjalan cukup satu putaran dengan memenangkan paslon tertentu," terangnya.

THN, kata Ari, juga melihat skenario berikutnya untuk memuluskan jalan kemenangan satu putaran dilakukan dengan berbagai modus.

Pertama, mengerahkan kepala desa beserta aparatusnya untuk memenangkan paslon tertentu. Di desa-desa yang minim pengawasan, kepala desa meminta warganya untuk tidak perlu datang ke TPS dengan memberi imbalan uang. Sementara kertas suaranya dicoblos semua oleh kepala desa atau perangkatnya untuk calon tertentu.

Kemudian, di kawasan yang pengawasannya relatif baik, kecurangan dilakukan dengan melakukan politik uang yang dilakukan aparat desa sebelum pencoblosan.

Kecurangan juga berpotensi dilakukan oleh KPPS dengan berbagai modus, misalnya memobilisasi massa yang tidak punya hak pilih untuk memilih, penggelembungan atau pengurangan suara dan sebagainya.

Kedua, melakukan pertukaran kotak yang berisi hasil pemungutan suara dengan kotak hasil suara manipulasi untuk memenangkan calon tertentu.

Ketiga, melakukan penyalahgunaan sistem IT KPU. Misalnya dengan mengupload data hasil rekapitulasi suara yang bukan aslinya.

Apalagi terdapat informasi adanya pembobolan DPT dari situs KPU, menunjukkan betapa rentannya sistem IT KPU.

Terhadap potensi itu, kata Ari, THN Timnas AMIN sudah meminta secara resmi melalui surat kepada KPU untuk dilakukan audit independen terhadap sistem IT KPU secara terbuka yang dihadiri oleh perwakilan tiga paslon.

Keempat, penggunaan lembaga survei untuk mengumumkan quick count dan exit poll yang tidak valid untuk menenangkan calon tertentu. Sementara pada saat itu proses penghitungan suara di TPS masih berlangsung. Hal ini akan mempengaruhi psikologi saksi dan masyarakat umum.

"Mewaspadai hal tersebut, kami mengimbau kepada seluruh stakeholders di masyarakat untuk ikut mengawasi berbagai potensi kecurangan tersebut dan melaporkan kepada pihak yang berwajib serta memviralkan agar mendapat atensi publik," pungkas Ari.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri