Menuju konten utama

Tim Panja Pemerintah Usulkan Dua Definisi Terorisme

Dua rumusan definisi terorisme Tim Panja RUU Terorisme berbeda dengan hasil rapat Pansus RUU Terorisme dengan pemerintah pada 17 April 2018.

Tim Panja Pemerintah Usulkan Dua Definisi Terorisme
Ilustrasi aksi terorisme. ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Tim Panja RUU Terorisme dari pemerintah mengusulkan dua rancangan definisi terorisme. Usulan tersebut dibacakan Enny Nurbaningsih selaku ketua tim di dalam rapat dengan Pansus RUU Terorisme DPR, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018).

Usulan pertama: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Usulan kedua: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Dua rumusan tersebut berbeda dengan hasil rapat Pansus RUU Terorisme dengan pemerintah pada 17 April 2018 lalu. Saat itu, rumusan definisi terorisme berbunyi:

"Terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional yang disertai dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara."

Enny menyatakan dua usulan rumusan definisi terorisme baru tersebut dibuat karena pada rumusan 17 April terdapat kesan seperti rumusan delik, seperti frasa "dengan sengaja" dan "dengan maksud". Sementara, menurutnya, dalam definisi sebuah undang-undang tidak lazim terdapat frasa semacam itu.

"Lalu kami rapat kembali untuk mendalami rumusan definisi ini 14 Mei 2018. Setelah bom. Saat itu kami membuat definisi ulang. Menghilangkan unsur deliknya itu seperti yang “dengan sengaja, dengan maksud” sehingga rumusan definisinya," kata Enny.

Tidak hanya itu, Enny menyatakan pihaknya juga menghilangkan frasa "dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara. Karena, kata dia, tanpa frasa tersebut usulan definisi dari pemerintah sudah mencakup pokok dari terorisme.

"Karena intinya teroris adalah menimbulkan suasana teror atau rasa takut meluas. Itu tujuan pokok," kata Enny.

Lagi pula, kata Enny, jika ditambahkan dikhawatirkan dapat menghambat proses pembuktian terhadap terduga terorisme. Sehingga, kinerja aparat penegak hukum tidak maksimal dalam memberantas tindak pidana terorisme.

"Nah frasa itu bisa masuk di konsideran menimbang atau diuraikan lebih detail di penjelasan umum," kata Enny memberi jalan tengah.

Menanggapi hal ini, Anggota Pansus RUU Terorisme F-PPP, Arsul Sani menyatakan, usulan rumusan definisi dari pemerintah belum memenuhi aspirasi yang disampaikan fraksi-fraksi DPR, yakni memasukkan frasa "dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara."

Padahal, kata Arsul, pokok dari pembahasan lanjutan hari ini untuk menyelesaikan perbedaan di antara pemerintah dan DPR terkait perlu atau tidaknya penambahan frasa tersebut di definisi dengan cara mencari jalan alternatif.

"Apakah artinya pemerintah masih bisa menerima apabila memang dimasukkan dalam definisi itu frasa dengan motif politik ideologi dan gangguan keamanan?", kata Arsul.

Lebih lanjut, Arsul menyatakan frasa yang diusulkan DPR tidak akan menghambat proses pembuktian di pengadilan. Karena, menurutnya, unsur-unsur yang tertuang dalam frasa tersebut tidak bersifat kumulatif, melainkan alternatif. Artinya, kata dia, bisa dipilih salah satu untuk menjadi bukti keterlibatan seorang terduga teroris.

"Sehingga tidak semua peristiwa terorisme maka digali motif politiknya, digali ideologinya boleh juga tanpa motif politik, ideologi tapi merupakan gangguan keamanan. Ini yang kami tanyakan ke panja pemerintah," kata Arsul.

Berbeda dengan Arsul, Anggota Pansus RUU Terorisme F-Gerindra, Wenny Warouw setuju dengan usulan pemerintah. Ia menilai frasa "dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara" justru menyulitkan proses hukum terhadap terduga pelaku tindak pidana terorisme.

"Karena soal motif ini yang membuat penyidik sulit kalau harus sudah ada motif politik harus didahulukan," kata Wenny dalam kesempatan yang sama.

Lagi pula, kata Wenny, meskipun tanpa frasa tersebut penindakan tindak pidana terorisme tidak pernah bermasalah. Ia pun mengusulkan definisi terorisme tetap mengacu kepada pasal 6 dan 7 UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Kita kembali dalam UU, definisi yang kita gunakan adalah berasal dari Perppu 2002 yang sekarang jadi UU 15/2003. Kalau saya melihat, itu Pasal 6 dan 7 (UU 15/2003) adalah inti dari rumusan yang pertama dan kedua (versi pemerintah)," kata Wenny.

Pemerintah dan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme (Pansus RUU Terorisme) hari ini menggelar rapat lanjutan dengan agenda pembahasan definisi terorisme yang belum rampung. Kedua pihak tersebut berharap dalam rapat kali ini pembahasan tersebut bisa rampung dan RUU Terorisme bisa segera disahkan pada Jumat (25/5/2018).

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora