tirto.id - Apa hubungannya Dana Moneter Internasional (IMF), populisme, dan neoliberalisme? Populisme diklaim menentang neoliberalisme, dan IMF juga World Bank acapkali dicap lembaga neoliberal. Populisme yang mengatasnamakan people, rakyat, diklaim menentang neoliberalisme yang menguntungkan segelintir elite. Oleh karena itu, sering disebut populisme mendorong iliberalisme.
Namun, tak semua populisme menentang neoliberalisme. Populisme sayap kanan (right wing populism) tidak sungguh-sungguh menentang neoliberalisme. Populisme sayap kanan menggunakan idiom-idiom identitas seperti suku, ras, dan agama untuk memperoleh kekuasaan (Mouffe, 2018).
Presiden Trump adalah contoh pemimpin populis sayap kanan di Amerika Serikat. Di Indonesia, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga tokoh populis sayap kanan. Pada Pemilu 2014 dan Pilkada DKI 2017, keduanya terang benderang menggunakan idiom agama untuk memperoleh kursi kekuasaan.
Pemimpin populis sayap kanan sekadar mengatasnamakan rakyat, tetapi sesungguhnya mereka elite. Filsuf Belgia Chantal Mouffe menyebut dalam populisme, terutama populisme sayap kanan, kalangan elite mapan sesungguhya cuma membajak “rakyat”.
Trump, Prabowo, Sandi, serta pemimpin populis sayap kanan lain jelas elite ekonomi yang menjadi bagian neoliberalisme, diuntungkan neoliberalisme. Mereka, dalam istilah Stiglitz (2012), adalah anggota dari 1 persen elite, bukan bagian 99 persen rakyat.
Celakanya, 1 persen elite ini mengatasnamakan alias membajak 99 persen rakyat.
Maka, ketika seorang teman mengingatkan saya bahwa kubu Prabowo-Sandi akan mengkritik pemerintahan Jokowi yang menyelenggarakan pertemuan IMF-World Bank di Bali sebagai "neolib," saya tidak terlalu khawatir. Bukankah, Prabowo-Sandi ialah elite yang menjadi bagian neoliberalisme? Mereka tidak punya basis ideologis untuk mengkritik dari sisi neoliberalisme. Mereka elite yang sekadar melancarkan strategi membajak rakyat demi kekuasaan.
Tidak mengherankan lontaran kritik mereka remeh-temeh belaka. Prabowo, misalnya, mengkritik pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk menyelenggarakan pertemuan IMF-World Bank di Bali. Katanya, lebih baik duit untuk penyelenggaraan dialihkan buat membantu rehabilitasi kerusakan akibat gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan Sigi. Yang keterlaluan remeh-temeh ialah kritik Sandi meminta para peserta pertemuan IMF-World Bank disuguhi air putih saja.
Intinya, mereka cuma meminta pemerintah berhemat untuk cari perhatian.
Saking remeh-temehnya dan tak punya basis ideologis, kritik mereka amat gampang dipatahkan. Pemerintah mematahkan argumen mereka dengan menjawab bahwa biaya penyelenggaraan pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali adalah yang paling irit dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya di negara-negara lain.
Penyelenggaraan pertemuan serupa di Turki (2009) menghabiskan Rp1,2 triliun, di Jepang (2012) Rp1,1 triliun, di Peru (2015) Rp2,29 triliun, di Singapura (2016) Rp994,4 miliar.
Pemerintah hanya menggunakan Rp500-an miliar dari Rp 800-an miliar yang dianggarkan. Itu pun sebagian digunakan untuk membangun infrastruktur seperti apron bandara dan terowongan yang kelak bisa dimanfaatkan rakyat juga.
Anggaran penyelenggaraan pertemuan IMF-Word Bank disetujui fraksi-fraksi di DPR, termasuk Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS yang merupakan partai pengusung Prabowo-Sandi. Alokasi anggaran untuk pertemuan tingkat dunia tersebut tercantum dalam undang-undang APBN. Pemerintah melanggar undang-undang bila serta-merta mengalihkan peruntukannya untuk bencana.
Lagi pula, ada alokasi anggaran tersendiri untuk penanggulangan bencana. Buktinya, kehidupan masyarakat korban gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sigi, juga Lombok, berangsur-angsur pulih dalam waktu relatif cepat. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bahkan memuji kesigapan Presiden Jokowi dalam menanggulangi bencana tersebut.
Dhimam Abror Djuraid, Wakil Direktur Komunikasi dan Media Tim Prabowo-Sandi, menyinggung neoliberalisme dalam tulisannya. Ia bilang bahwa negara-negara Eropa sudah meninggalkan IMF. Padahal, 189 negara di dunia masih tercatat sebagai anggota IMF, termasuk negara-negara Eropa seperti Perancis, Belgia, Jerman, Swedia, dan lain-lain—dan mereka hadir di Bali.
Kritik Abror, singkatnya, tidak berbasis fakta.
Dhimam Abror mengklaim Indonesia adalah "pasien terbaik IMF." Di tulisannya, Abror setidaknya menyebut dua argumen mengapa Indonesia disebut pasien terbaik IMF. Pertama, Indonesia mengundang IMF untuk mengobati luka krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia. Kedua, Indonesia meminta pinjaman kepada IMF dalam pertemuan di Bali.
Yang mengundang IMF (juga World Bank) ke Indonesia adalah Presiden SBY, notabene Ketua Umum Partai Demokrat, partai pendukung Prabowo-Sandi. Presiden Jokowi melanjutkannya demi menjaga konsistensi dan kredibilitas Indonesia.
Argumen Abror, lagi-lagi, tanpa basis fakta.
Pertemuan sebelumnya antara lain dilakukan di Singapura (2016) dan Jepang (2012). Apakah Singapura dan Jepang mengundang IMF ke negara mereka untuk menjadi pasien lembaga tersebut? Apakah negara penyelenggara pertemuan IMF otomatis menjadi pasien IMF? Apakah peserta pertemuan IMF-World Bank di Bali otomatis menjadi pasien IMF? Sampai di sini selain tanpa basis fakta, argumen Abror juga tanpa basis logika. Abror langsung lompat ke kesimpulan.
Pun, Indonesia tidak hendak berutang kepada IMF dengan menyelenggarakan pertemuan IMF-World Bank itu. Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menegaskan Indonesia tidak membutuhkan pinjaman karena tidak sedang dalam kondisi krisis. IMF bahkan mengatakan Indonesia mengelola penguatan dolar terhadap rupiah secara baik. Artinya, Indonesia tidak dalam kondisi krisis, seperti 1998. Sekali lagi, argumen Abror tak punya basis fakta memadai.
Tanpa basis fakta dan logika, sebuah argumen tak punya basis teori dan ideologi. Bukankah teori dan ideologi dibangun dari fakta dan logika?
Makanya, "Mikir!", seperti kata Cak Lontong, sebelum nyinyir.
Bagi Mouffe (2018), populisme kiri (left populism) yang sungguh-sungguh menentang neoliberalisme. Kiri dalam pengertian Mouffe bukan komunis. Populisme kiri secara radikal berupaya mewujudkan nilai-nilai mendasar dari demokrasi, yakni kesetaraan dan keadilan sosial. Bila populisme sayap kanan menggunakan idiom-idiom identitas, populisme kiri memakai idiom kelas.
Ilmuwan politik Marcus Mietzner (2014) mengategorikan Jokowi sebagai pemimpin populis. Mengikuti jalan pikiran Mouffe, tanpa bermaksud mengatakan Jokowi pemimpin populis kiri (sebuah pernyataan yang rawan digoreng), dalam empat tahun pemerintahannya, Jokowi telah mewujudkan persamaan dan keadilan sosial. Membangun dari pinggiran dan konsep Indonesia-sentris merupakan kebijakan yang dirancang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Buktinya, tingkat kemiskinan turun hingga satu digit, pengangguran berkurang, kesenjangan ekonomi turun, serta konsentrasi kepemilikan aset menyebar.
Jadi, siapakah yang sesungguhnya telah bekerja meminimalisasi neoliberalisme? Tentu Jokowi.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.