tirto.id - Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) saat gelaran Annual Meeting International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, di Nusa Dua, Bali ternyata jauh dari target pemerintah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kunjungan wisman justru mengalami penurunan pada Oktober 2018.
Kunjungan wisata ke Indonesia sepanjang bulan tersebut hanya mencapai 1,29 juta atau turun 5,74 persen dibandingkan September 2018 yang mencapai 1,37 juta.
Jumlah turis asing yang masuk ke Indonesia via transportasi udara tercatat mencapai 855,9 ribu kunjungan. Sementara lewat jalur laut sebanyak 243,7 ribu, dan jalur darat sebanyak 192,4 ribu.
Khusus di wilayah Bali, jumlah wisman di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai tercatat turun 7,20 persen menjadi 515,8 ribu dari sebelumnya 555,8 ribu di September 2018. Padahal, sebelum penyelenggaraan, pemerintah telah menggembar-gemborkan bila agenda IMF yang menghabiskan banyak dana itu dapat mengerek jumlah wisatawan.
Asisten Deputi Industri dan Regulasi Pariwisata Kementerian Pariwisata (Kemenpar) R Kurleni Ukar menyampaikan, penurunan tersebut memang sudah diprediksi pemerintah, meski ada perhelatan IMF-Bank Dunia.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab penurunan itu, di antaranya bencana gempa alam dan siklus libur akademik. Kurleni mengklaim, pada periode Oktober-November bukan waktu libur, sehingga wajar apabila jumlah wisman menurun.
“Jadi orang-orang itu, kan, masuk kembali Oktober. Jadi dari tahun ke tahun memang biasanya mengalami penurunan. Tapi diperparah dengan hal tadi, bencana alam dan musibah itu sudah sempat diprediksi akan berkurang 100 ribu per bulan,” kata Kurleni kepada reporter Tirto.
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai target pemerintah untuk menggenjot kunjungan wisata saat penyelenggaraan IMF-Bank Dunia memang terlalu muluk-muluk.
Sebab, kata Bhima, dengan adanya gelaran IMF, banyak lokasi yang disterilkan, khususnya di Nusa Dua. Akibatnya wisman yang berminat untuk berwisata ke Bali di tahan terlebih dahulu sampai agenda pertemuan tahunan IMF selesai.
“Waktu saya jadi peserta IMF, banyak penjual souvenir dan restoran yang ngeluh karena masuk kawasan steril, turis sepi,” kata Bhima.
Selain itu, kata Bhima, fluktuasi kurs juga jadi penyebab cukup signifikan dalam mengurangi jumlah wisatawan. Sebab, pelemahan kurs bukan hanya berdampak kepada rupiah, tapi juga terhadap mata uang Asia lainnya.
“Fenomena super dolar berimbas ke naiknya biaya tiket pesawat plus harga minyak waktu itu tinggi. Wisman dari Asia ini menunda jalan-jalan,” kata Bhima.
Pernyataan Bhima ini sesuai dengan data BPS yang menyebut jasa transportasi jadi penyumbang utama yang menyebabkan inflasi nasional meningkat sebesar 0,27 persen pada November 2018. Andil transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 0,10 persen.
Sebaliknya, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro membantah bila pertemuan IMF-Bank Dunia pada 8-14 Oktober lalu tidak memberikan dampak signifikan bagi kunjungan pariwisata di Bali.
Sebab, kata Bambang, angka kunjungan turis ke Indonesia pada Oktober 2018 memang meningkat jika dilihat secara tahunan (year on year). Dalam data BPS, pertumbuhan jumlah wisman naik 11,24 persen dari 1.040 pada Oktober 2017 menjadi 1.292 pada Oktober tahun ini.
“Mendorong jumlah wisatawan, kok. Kamu lihat datanya [antara] Oktober tahun lalu sama tahun ini, tinggi lagi,” kata Bambang, di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Menurut dia, multiplier effect dari penyelenggaraan agenda tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, kata dia, “nanti akan kami paparkan dalam konferensi pers khusus.”
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz