tirto.id - Inggris akan dipimpin oleh perdana menteri perempuan kedua di dalam sejarahnya. Theresa May, yang menjabat sebagai menteri dalam negeri Inggris sejak 2010, mengikuti jejak Margaret Thatcher, sang “wanita besi” sekaligus perdana menteri perempuan pertama Inggris pada era 1979-1990. Kedua tokoh politik perempuan ini berbagi karakter yang sama: tegas, tangguh, dan piawai menangani situasi krisis.
Robin Oakley dari CNN mengungkapkan, reputasi May sebagai seorang "workaholic" yang selalu serius membuatnya menjadi “tokoh yang paling mirip dengan Margaret Thatcher dalam perpolitikan Inggris masa kini”. Ken Clarke, politisi veteran dari partai Konservatif, dalam wawancaranya dengan Sky News pada Juli 2016, bahkan menyebut May sebagai “bloody difficult woman” sambil berseloroh bahwa Inggris akan terbiasa dengan May karena sebelumnya pernah mengalami kondisi serupa dalam rezim Thatcher.
Di sisi lain, ada satu faktor menjadi pembeda antara keduanya: May harus menghadapi kenyataan bahwa Inggris telah menjadi paria di Uni Eropa akibat Brexit. Pada saat Thatcher memerintah, Inggris merupakan salah satu negara paling berpengaruh di Eropa. Sementara itu, May dihadapkan pada situasi di Inggris yang penuh gejolak pascaBrexit. Theresa May juga harus menghadapi tugas yang sangat berat: menyatukan negara yang terbelah akibat Brexit.
Politikus yang piawai bertahan
Theresa May tidak membutuhkan proses berliku untuk menapaki jabatan perdana menteri. Dalam pemilihan ketua partai Konservatif – yang secara otomatis akan terpilih sebagai perdana menteri dalam sistem parlementer Inggris-- ia berhasil meraih kursi ketua setelah kandidat lain yang tersisa, Menteri Energi Andrea Leadsom, mengundurkan diri. Sebelumnya, kandidat-kandidat kuat ketua partai Konservatif lain seperti Michael Gove dan Liam Fox tersisih di pemilihan tahap pertama. Kandidat lainnya, Stephen Crabb, memilih untuk mengundurkan diri.
Jalan mulus May saat menjadi perdana menteri tidak selalu terjadi di sepanjang kariernya. Ketangguhan May, anak seorang pendeta dari daerah Oxfordshire ini, tampak dari perjalanan karier yang panjang. BBC edisi Juli 2016 menulis, May adalah satu dari sedikit perempuan yang bertahan dalam jajaran tertinggi partai Konservatif selama 17 tahun terakhir, sekaligus menteri dalam negeri kedua dengan masa jabatan terlama selama 100 tahun terakhir. Ia juga dikenal sangat vokal. Dalam satu kesempatan, masih menurut BBC edisi Juli 2016, May pada sebuah konferensi pada 2002 bahkan berani menyebut partainya sendiri sebagai “nasty party” karena tidak kunjung melakukan pembenahan internal.
May menapaki karier politiknya di saat partai Konservatif tengah lesu darah. Partai yang sebelumnya begitu kuat di bawah Margaret Thatcher ini selalu kalah dalam pemilihan umum selama kurun waktu 1997 hingga 2010. Popularitas partai Konservatif di bawah Perdana Menteri John Major (1990-1997) juga tidak menggembirakan. Dalam kondisi tersebut, May masih bisa bertahan. Saat mengikuti pemilu 1997, May berhasil mengamankan kursi parlemen untuk daerah Maidenhead di Berkshire, kursi yang mampu ia pertahankan hingga kini.
Kesuksesan May menjadi anggota parlemen seperti anomali di tengah kekalahan telak partai Konservatif dari partai Buruh yang saat itu dipimpin Tony Blair. Padahal, tiga tahun sebelumnya, May hanya membukukan sekitar 2.000 suara dengan vote share 20 persen. Posisi di parlemen sejak 1997 membawa May menempati berbagai posisi menteri bayangan dalam pemerintahan oposisi Konservatif mulai 1999 hingga 2010. Pada 2002 hingga 2003, ia menjadi Chairman wanita pertama dari partai Konservatif.
May merupakan bagian dari jajaran pemimpin partai Konservatif yang berjasa melakukan modernisasi partai pada akhir '90an hingga awal 2000'an. Namun, ia justru terlempar dari posisi strategis pascakenaikan David Cameron sebagai perdana menteri pada 2010. May hanya diberikan pos sebagai menteri dalam negeri, yang disebut-sebut oleh media Inggris sebagai “kuburan” bagi karir politik seseorang. Perempuan berusia 59 tahun ini menolak untuk menyerah. Melalui kinerja dan ketegasannya, ia berhasil menjaga karier politiknya tetap stabil dan popularitasnya cukup terjaga.
Kemampuan Theresa May merajut dukungan dari kolega partainya turut diakui oleh pesaingnya dalam pemilihan ketua partai, Andrea Leadsom. “Theresa May mendapatkan 60 persen dukungan dari partai. Ia adalah figur yang ideal dalam mengimplementasikan Brexit dan ia sendiri sudah berjanji akan melaksanakannya. Saya menyimpulkan, kepentingan nasional dari negara kita paling tepat untuk dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang kuat [mengacu kepada May],” paparnya kepada CNN edisi Juli 2016.
Strategi politik May bukannya tanpa kritik. Yvette Cooper, anggota parlemen dari partai Buruh yang juga berperan sebagai menteri bayangan bagi May, mengkritik sikap May yang seringkali pasif dan “bermain aman” dalam situasi krisis. “Sisi lain dari dari May adalah ia tidak responsif saat terjadi krisis. Ia cenderung bersembunyi, tanpa memberikan pernyataan atau wawancara, tidak ada usaha untuk memberi ketenangan kepada publik atau minimal mengingatkan publik bahwa dia ada. Sikap itu membantunya bertahan sebagai menteri dalam negeri, tetapi jika anda adalah perdana menteri, suatu saat anda harus menghentikan kebiasaan itu,” bebernya kepada BBC edisi Juli 2017.
Tokoh Konservatif yang liberal?
Kiprah May dalam parlemen maupun pemerintahan selama ini menunjukkan sikap politiknya yang cenderung liberal. Ia mendukung pernikahan sesama jenis yang telah diresmikan di Inggris pada era David Cameron. May juga mengambil sikap yang cukup kontroversial dengan mendukung berlakunya hukum syariah di Inggris. Dikutip dari Telegraph edisi Mei 2016, May menyatakan bahwa “Tuntunan yang diberikan oleh hukum syariah dan etika-etika religius lainnya telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Inggris."
Di sisi lain, politikus yang hobi memasak ini memiliki catatan-catatan yang berlawanan dengan sikap liberal yang berusaha ditunjukkannya. May bersikap sangat keras dalam mengontrol arus imigran yang masuk ke Inggris. The Guardian edisi Juli 2016 mencatat, sebagai menteri dalam negeri, May membuat kebijakan kontroversial yang mewajibkan seorang imigran untuk memiliki pendapatan sebesar 18.600 poundsterling sebelum diizinkan membawa anak atau pasangannya ke Inggris. Jumlah tersebut dianggap terlalu besar untuk ukuran seorang imigran yang sebagian besar bekerja di sektor informal. Ia juga merancang kebijakan “go home vans” yang menyediakan mobil-mobil van di penjuru seluruh negeri untuk menampung imigran yang ingin kembali ke negaranya. Kebijakan itu menjadi bahan tertawaan setelah hanya diikuti oleh 11 orang.
May juga tercatat sebagai pendukung “snooper's charter”. Kebijakan ini membolehkan negara untuk mengawasi aktivitas komunikasi warga negaranya melalui catatan panggilan telepon, SMS, email, dan sejarah pencarian di browser internet demi alasan keamanan nasional dalam menghadapi terorisme. May juga sempat menyuarakan opininya supaya Inggris keluar dari European Convention on Human Rights. “ECHR berpotensi membatasi ruang gerak parlemen, tidak berkontribusi apapun atas kesejahteraan kita, mengurangi tingkat keamanan kita akibat menghalangi deportasi warga negara asing yang berbahaya, serta tak mampu mengubah perilaku negara seperti Rusia”, ujarnya seperti dikutip dari Guardian edisi Juli 2017.
Brexit vs Bregret
May memilih untuk berada di pihak yang menginginkan Inggris bertahan di Uni Eropa (Remain), meskipun, seperti dijabarkan di atas, ia memiliki sikap skeptis atas beberapa kebijakan Uni Eropa. Ia memilih untuk mengikuti posisi resmi dari perdana menteri David Cameron. Di sisi lain, ia bukan tokoh yang terlalu vokal di dalam perdebatan menjelang referendum Brexit jika dibandingkan dengan tokoh Remain seperti David Cameron atau pro-Brexit seperti Michael Gove dan Nigel Farage.
Posisi yang diambil May setelah menjabat sebagai perdana menteri sangat jelas: Brexit adalah harga mati. Dalam pernyataan resminya setelah terpilih sebagai ketua partai, May menjamin dirinya akan tetap melanjutkan perundingan Brexit, sekaligus menutup kemungkinan adanya referendum kedua. “Brexit berarti Brexit dan kita harus memastikannya tetap terjadi”, ujarnya seperti dikutip dari situs pribadi May, http://www.tmay.co.uk/. Sikap serupa kembali diulangi May dalam pidato resmi pertamanya pascaresmi menjabat sebagai perdana menteri. Ia meminta supaya seluruh warga Inggris menerima konsekuensi dari suara mereka sendiri saat referendum. “Seiring dengan keluarnya kita dari Uni Eropa, kita akan mendefinisikan peran positif kita yang baru di dunia, dan kita akan membuat Inggris menjadi negara yang tidak hanya berpihak kepada golongan tertentu, tetapi bagi kita semua,” tegasnya.
Dalam kesempatan berbeda, melalui juru bicaranya yang dikutip dari Aljazeera edisi Juli 2016, May menyampaikan bahwa dirinya menegaskan komitmennya untuk mengawal amanat dari warga Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. May menjelaskan, Inggris akan membutuhkan waktu untuk mempersiapkan negosiasi (Brexit) sekaligus menyuarakan harapannya supaya proses ini dapat berlangsung dalam suasana konstruktif dan semangat yang positif.
Salah satu fokus utama May adalah kembali menyatukan kembali negaranya pascaBrexit. Brexit membawa konsekuensi yang sangat besar bagi Inggris, mulai dari ekonomi yang merosot, sikap masyarakatnya yang masih terbelah antara pro-Brexit (khususnya generasi tua) dan mereka yang menyesalinya/”Bregret”/British Regret (generasi muda), hingga potensi lepasnya Skotlandia yang saat referendum sebagian besar memilih bertahan di Uni Eropa.
“Mungkin tidak semua orang sadar, tetapi nama lengkap dari partai saya adalah partai Konservatif dan Unionis. Dan kata 'unionis' itu sangat berarti bagi saya. Unionis berarti kita percaya dengan kesatuan yang berharga, antara Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Tetapi, hal itu juga memiliki arti lain yang sama pentingnya. Union berarti kita percaya pada persatuan, tidak hanya antara bangsa-bangsa dalam lingkup United Kingdom, tetapi juga di antara para rakyatnya. Setiap orang dari kita, siapapun, dan dari manapun kita berasal,” pungkasnya.
Beberapa langkah strategis telah dimulai oleh May. Ia menempatkan tokoh-tokoh pro-Brexit ke dalam posisi-posisi penting di kabinetnya, seperti misalnya Boris Johnson di pos menteri luar negeri, Liam Fox di menteri perdagangan internasional, dan Priti Patel di menteri pembangunan internasional. Di sisi lain, ia membentuk pos menteri khusus Brexit. “Departemen tersebut akan dipimpin oleh pejabat senior dari Secretary of State, dan saya akan memastikan posisi tersebut akan diampu oleh anggota parlemen yang berkampanye untuk keluarnya Inggris dari Uni Eropa.” Akhirnya, May memilih David Davis, seorang pro-Brexit, untuk memimpin departemen tersebut.
Tugas berat sudah menanti Theresa May, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Patut ditunggu langkah-langkah selanjutnya dari sang perdana menteri di masa depan.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti