tirto.id - Pakar Hukum Tata Negara Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari, memprediksi akan ada 6 model kecurangan yang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Hal tersebut disampaikan saat Feri menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk 'Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN' di kantor Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan.
Feri menyebut, model kecurangan pertama yaitu rekayasa calon tunggal yang dilakukan dengan memberikan mahar politik pada seluruh partai dan mengusai partai politik yang berbeda sudut pandang.
"Model pertama adalah rekayasa calon tunggal. Bagaimana calon tunggal direkayasa? Pertama, beli seluruh perahu. Beli seluruh parku politik dengan maharnya. Sehingga tidak ada perahu yang tersisa," kata Feri dalam diskusi, Selasa (13/8/2024).
Dengan menguasai seluruh partai politik, kata Feri, calon tunggal yang melawan kotak kosong akan menang dengan mudah.
Kemudian, Feri mengatakan, model kecurangan kedua yaitu, manipulasi aturan main. Model kecurangan ini telah dilakukan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dia mencontohkan soal pencalonan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden yang bisa maju karna adanya perubahan aturan umur calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sekarang kita ketahui juga ada keputusan di Mahkamah Agung (MA) yang membuka jalan bagi calon yang berusia belum sampai 30 tahun untuk bisa bertarung. Di mana-mana syarat untuk masuk sesuatu, mesti memenuhi syarat usia dulu," ucap Feri.
Feri juga menolak alasan MA yang mengatakan, perubahan tersebut dilakukan untuk menyelamatkan publik dari calon tunggal yang melawan kotak kosong.
"Bagi saya itu rekayasa melalui putusan peradilan. Sebab sebenarnya mahkamah punya kesempatan untuk mengubah situasi. Bagaimana caranya harusnya mahkamah mengubah aturan main dengan lebih baik dan konstitusional? Pastikan tidak boleh jual-beli perahu dan borong perahu," ujar Feri.
Ketiga, kata Feri, model kecurangan gentong babi. Dalam hal ini dia mengatakan, para petahana bisa menggunakan anggaran negara untuk melakukan kampanye.
Dia mencontohkan, adanya kasus kehilangan bansos di rumah dinas Wali Kota Medan, Bobby Nasituon, yang saat ini sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Feri mengatakan, hingga saat ini tidak ditemukan pelaku dan tidak ada bukti rekaman kamera pengintai atau CCTV dari kehilangan bansos tersebut.
Hal tersebut, kata Feri mengakibatkan borosnya atau berlipatnya anggaran bantuan sosial untuk sebuah daerah yang berakibat merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Selanjutnya, yaitu model kecurangan Pengarahan ASN atau Aparat. Model kecurangan ini kerap digunakan, karena ASN merupakan sasaran empuk dengan jumlah yang cukup banyak.
Contohnya, kata Feri seperti di Jawa Barat yang memiliki jumlah ASN yang banyak, jika para ASN tersebut dikerahkan untuk mengajak keluarganya maka akan sangat berpengaruh dalam Pilkada Ini.
"Sekarang di beberapa daerah, Jawa Tengah, Sumatera Utara, kapoldanya diganti agar kemudian bisa dikaitkan dengan kepentingan Pilkada. ASN yang tertinggi itu ada di jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) kalau di daerah. Beberapa daerah ada mutasi, pergeseran, dan segala macam," ucap Feri.
Kelima, model kecurangan menyusupi kepentingan politik pada penyelenggaraan Pilkada. Feri mencontohkan para Kepala Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah yang memberikan dukungan terhadap Ketua KPU RI, Hasyim Ashari, yang terjerat kasus asusila.
Feri mengatakan, melihat dari hal tersebut dukungan dari para Kepala KPU Daerah menjadi sangat penting bagi pelaku kecurangan pemilihan.
Terakhir, yaitu model kecurangan Pengadilan yang tidak netral, Feri mencontohkan majunya anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dan Bobby pada Pikada 2024 ini. Mereka berdua memiliki hubungan keluarga dengan penguasa saat ini, Feri khawatir akan ada kelemahan dalam menangani perselisihan pemilu oleh pengadilan.
"Bagaimana kalau Kaesang dan Bobby memang betul-betul jadi maju? Siapa yang akan mengadili perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah di Mahkamah Konstitusi? Apakah Paman harus mundur lagi? Atau mungkin akan ada langkah-langkah lain yang lebih bijaksana?" ujar Feri.
"Terutama kalau Paman yang berhenti. Ini agak mengkhawatirkan kalau kemudian Mahkamah Konstitusi masih dengan model yang sama untuk mengadili perkara-perkara perselisihan hasil Pilkada ke depan," tutup Feri.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Anggun P Situmorang