tirto.id - Dua setengah tahun waktu dunia nyata berlalu sejak perpisahan pedih padafinalemusim kedua The Mandalorian. Waktu yang cukup panjang sampai musim ketiganya mulai tayang di Disney+ sejak 1 Maret lalu.
Serial TV space western kreasi Jon Favreau yang berangkat dari semesta Star Wars ini tampak tak ambil pusing dengan siasat menyambungkan jalinan kisahnya yang terputus. Ia langsung mengambil latar waktu selepas bersatu kembalinya sang pemburu bayaran berarmor beskar mengkilat Din Djarin dan Grogu—yang sebetulnya terjadi di serial pendekThe Book of Boba Fett.
Ini terang bakal membingungkan mereka yang tak menyaksikan judul terakhir. Cara menghubungkan kisah yang tak lazim ini (bahkan lebih ekstrem ketimbang pendekatan crossover yang diterapkan Disney di MCU) bukan satu-satunya isu pada kelanjutan The Mandalorian.
Narasi utamanya cukup terang, kelanjutan petualangan Din dan Grogu disertai plot-plot sampingan, di antaranya pertobatan Din (yang dianggap murtad), persatuan kaum Mandalorian, serta upaya merebut kembali kampung halaman mereka, Planet Mandalore.
Akan tetapi, jalan yang ditempuh untuk menyingkap poin-poin plot di musim ini mudah saja jadi sasaran tembak para fan. Favreau bisa saja dianggap kehabisan ide, bila bukan kepalang tamat untuk menyediakan skrip berkualitas. Plot utamanya pun dapat dipandang sebagai rangkaian nonsens demi memanjangkan umur jagoannya karena masih populer belaka.
Struktur dan Tutur yang Belepotan
Season ketiga The Mandalorian hadir dalam pacing yang inkonsisten. Sedari episode pembuka yang "tak terjadi apa-apa", naik-turunnya momentum di pertengahan dengan nyaris satu episode penuh yang kurang krusial soal Penn Pershing dan Elia Kane, diikuti episode-episode filler tak berkesan (sekalipun memuat unsur politik yang cukup krusial), hingga build up perang jelang penutupan yang terasa seadanya.
Hal-hal itu sebetulnya sudah jadi sifat serial sejak mula yang meluangkan waktu untuk klalaw-kliliw seantero galaksi dan mengerjakan misi-misi side quest yang kadang tak memiliki pengaruh apa-apa. Bedanya, pada dua season awal, kita masih disuguhi struktur narasi yang solid.
Bukan soal menghendaki Din menebas-nebas darksaber atau terlibat dar-der-dor terus-terusan ditemani polah lucu Grogu, tapi kali ini tak terasa ada momentum yang berkelanjutan. Nyaris tak ada yang membuat kita tak sabar menanti-nantikan episode terbarunya tiap pekan.
Ini membosankan bagi penonton seperti saya yang menikmati betul episode-episode filler terdahulu, termasuk tatkala Mando “hanya” ditugaskan jadi semacam sopir-pengawal untuk Frog Lady.
Sama sekali tak ada masalah jika kreator memang ingin menampilkan kekayaan galaksi di Star Wars dengan segala detailnya—sesuatu yang tak bisa dihadirkan di film-film utamanya . Itu bahkan jadi salah satu fungsi utama serial macam ini.
The Book of Boba Fett, misalnya, sempat menghadirkan penceritaan baru yang menggugah soal Tusken Raiders. Atau Andor yang juga memberi banyak porsi untuk “orang-orang kecil” di galaksi.
Namun, karena struktur yang bikin momentumnya absen, untuk pertama kalinya The Mandalorian terasa meredup kilaunya.
Bila serial ini memang bukan soal kedalaman cerita, baiklah. Namun, cara ia dituturkan pun tak mendorong kita untuk betul-betul peduli pada kisah kaum Mandalorian. Ketaatan para Mandalorian dari berbagai faksi dan sekte, juga dialog-dialognya yang terkesan lugu juga tak banyak membantu.
Tiada masalah pula pada narasi yang mulanya tak begitu jelas juntrungannya. Tohia perlahan membulat juga di akhir. Namun lagi-lagi, setelah muter-muter tanpa momentum dan arah yang tegas, bagian filler dan penutupnya justru terkesan diburu-buru.
Itulah yangagak sulit untuk diapresiasi. Entah itu pertempuran terakhirnya atau bahkan kerja-kerja kloningan Moff Gideon yang dipungkaskan dalam hitungan detik.
Padahal, serial inicukup sukses mengenalkan kita padaberbagai faksi dalam komunitas besar Mandalorian berikut benturan-benturan yang terjadi di antara mereka. Kita bisa melihat muara perselisihan pandangan dan ideologi mereka dengan ringkas, cukup dari pergelutan Paz Vizsla dan Axe Woves saat bermain catur.
Aksi-aksi yang melibatkan kerja sama antargrup Mandalorian pun layak menjadi highlight. Demikian juga Din yang masih berpacu dalam aksi-aksi yang terbilang keren, baik sebagai sosok di tengah perselisihan maupun sebagai lone ranger.
The Mandalorian pun masih disertai sound spektakuler, baik perang bintangnya, maupun liukan western saban pesawat Din merangsek ke layar. Ia pun tak melupakan detail-detail lama dari musim-musim terdahulu, mulai dari droid IG-11 yang diangkat jadi marsekal di Nevarro hingga kembalinya karakter favorit fan Moff Gideon (Giancarlo Esposito) dengan gayanya yang dramatis.
Koneksi (dan permusuhan) yang dibangun Din selama ini nyatanya cukup untuk diberdayakan jadi plot baru. Meski di lain sisi, ini pun bisa dinilai sebagai payahnya tim penulis mengkreasikan kawan maupun oposan anyar untuk Din.
Di tengah berbagai kelemahannya, season kali ini tetap sukses mengikat berbagai plot utamanya. Episode-episodenya yang paling menjemukan pun setidaknya berguna dan detail-detail kecil yang mudah terlewatkan tetap memiliki fungsi (lihat bagaimana perpindahan kepemilikan darksaber yang terasa alami).
Di tengah kaotisnya struktur narasi, The Mandalorian sebetulnya masih menyediakan kisah dengan perkembangan yang layak diikuti.
Cahaya-cahaya Kecil di Tengah Keredupan
Sama sekali tak ada wajah Pedro Pascal (sebagai penyuara Din Djarin) di sepanjang season, tapi gerak-gerik sang koboi antariksa masih terjaga berkat gestur khas dari para body double yang kapabel seperti Brendan Wayne and Lateef Crowder. Paling tidak, Pascal kini terdengar lebih vokal. Bila dulu sering kali hanya bersuara tatkala kerepotan mengurusi Grogu, dia kini lebih banyak bercerita pada sang anak; baik soal masa lalunya hingga cara menjadi Mandalorian yang baik.
Aspek ini kian dipertegas pada pengujung kisah, saat Din akhirnya mengadopsi Grogu secara formal--walaupun sepanjang tiga season kita semua mafhum bahwadialah ayah bagi sang bayi dari spesies Yoda. Happy ending yang minim konflik itu mungkin cukup mengejutkan, terlebih bagi mereka yang terbiasa dengan akhir kisah yang pedih.
Din kini bahkan kian sah berlaku sebagai bapak-bapak. Bukan hanya soal duduk-duduk di teras rumah yang permai sembari melihat anaknya main kodok, tapi juga meninggalkan dunia liar bounty hunter dan memilih pekerjaan yang lebih minim risiko sebagai penjaga keamanan Outer Rim.
Sementara itu, Grogu semakin menjadi “karakter betulan”, alih-alih maskot serial belaka. Selain main kodok, dia kini bisa jumpalitan di udara, dianugerahiknighthood di suatu planet yang dipimpin Jack Black dan Lizzo, hingga memiliki sarana komunikasi sekaligus kendaraan berupa tubuh droid.
Ada perkembangan dalam penceritaan si bayi yang kini kian terlibat dalam plot, baik berlatih menjadi Mandalorian sejati hingga menggunakan force-nya dalam pertempuran sungguhan. Grogu tumbuh cepat tanpa meninggalkan ragam polah kelucuannya.
Di samping duo ayah-anak itu, masih ada Bo-Katan Kryze yang kini turut didapuk sebagai karakter utama. Ditampilkan dengan baik oleh Katee Sackhoff, sang pemimpin kaum Mandalore juga sebetulnya disertai plot terpenting dengan skala impak yang lebih besar. Menyatukan faksi Mandalorian “kuno” dan garnisun oportunistis pimpinannya dulu jelas bukan tugas gampang. Rutinnya Bo-Katan melepas helm beskarnya juga jadi sentuhan bagus.
Hancurnya darksaber—yang juga terkesan tergesa setelah perebutan panjangnya selama ini—pun bisa dianggap sebagai sentuhan bagus lainnya pada cerita. Ini menjadikan era baru Mandalorian yang berbeda; di mana orang-orangnya betul-betul dipimpin sosok terhormat dan berjiwa pemimpin, alih-alih sekadar mematuhi siapa pun pemegang benda keramat yang jadi simbol belaka.
Menilik Masa Depan The Mandalorian
Kisah persatuan dan perebutan tanah kampung halaman orang-orang pemilik armor terkuat di galaksi mungkin tak cukup menggugah. Untungnya, mereka dihadapkan pada musuh yang sama kapabelnya, sisa-sisa Galactic Empire yang kini menguasai armor yang sama.
Untungnya lagi, faksi-faksi Mandalorian yang terpecah belah kini menemukan sosok penyatu.
Ini sekaligus menjadi pertanyaan untuk masa depan judul ini. Mencuatnya peran Bo-Katan dan sederet Mandalorian lain dalam serial adalah perayaan bagi para fan hardcoreStar Wars—minimal, mereka yang mengikuti Clone Wars.
Namun, seberapa peduli para fan baru dengan kisah Lady Kryze di samping sebagai “space mommy” bagi Grogu? Seberapa peduli para fan Din Djarin dan Din Grogu terhadap kisah karakter lainnya?
Seperti yang ditegaskan produser eksektif Rick Famuyiwa, bahwa judul ini kelak bisa saja menyoal karakter Mandalorian lainnya. Di masa depan, “The Mandalorian” boleh jadi menjadicerita tentang suatu kaum, bukan lagi berkitar pada petualangan Din Djarin belaka.
Berkat Din dan Grogu, franchise Star Wars tiba-tiba memiliki jagoan baru yang populer. Mereka bisa dibilang mampu mencapai audiens yang bukan fan Star Wars. Akankah keduanya dikorbankan demi masuknya lebih banyak karakter baru lagi? Ataukah terus diperah, disajikan dalam medium lain seperti rangkaian film?
Ke manapun arahnya kelak, yang pasti kelanjutan kisah Din dan Grogu sendiri masih menyimpan banyak potensi. Petualangan-petualangan baru demi menjadikan Grogu sesosok Mandalorian andal tentu layak dinanti—jika dan hanya jika diiringi penulisan yang lebih segar dan rapi. Meskipun untuk saat ini, The Mandalorian terasa seperti cemilan favorit yang tiba-tiba jadi tak seenak biasanya, agak bikin lupa dengan alasan mengapa dulu kau menyukainya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi