tirto.id - Satu hari sebelum Presiden Joko Widodo menyetujui pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral, tepatnya pada 6 Februari lalu, renovasi Gereja Katolik Santo Joseph di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, ditolak sekelompok orang yang menyebut diri Aliansi Peduli Kabupaten Karimun.
Mundur beberapa hari ke belakang, tepatnya pada 29 Januari 2020 bakda magrib, sebuah rumah ibadah di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dirusak sekelompok orang.
Kasus-kasus ini seperti menegaskan bahwa Indonesia memang tidak butuh simbol-simbol seperti terowongan toleransi, tapi sesuatu yang lebih konkret. Sesuatu yang dapat menekan praktik intoleran dan diskriminasi di tengah masyarakat, terutama di daerah-daerah.
Tapi simbol ini, sesungguhnya, ada pula 'manfaatnya'.
Pengajar komunikasi politik dan media massa Universitas Padjajaran Justito Adiprasetio mengatakan Jokowi tengah 'memainkan' bahasa dan simbol saat berencana membangun terowongan Istiqlal-Katedral. Politik bahasa dan simbol ini, katanya, berakar dari era Orde Baru.
"Ia [Jokowi] butuh penanda yang menunjukkan bahwa dia sedang mempromosikan toleransi, seabsurd apa pun itu. Membangun terowongan silaturahmi antara Katedral dan Istiqlal adalah upaya untuk mempromosikan diri, dan sekaligus menyembunyikan hal lain," katanya kepada reporter Tirto.
Kasus Kabupaten Karimun
Aliansi Peduli Kabupaten Karimun mengerumuni gereja dan mendesak agar pembangunan dihentikan karena harus menunggu hasil sidang. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja yang terbit pada 2 Oktober 2019 itu digugat oleh aliansi ke PTUN Tanjung Pinang pada 30 Desember 2019.
Peristiwa ini merupakan aksi ketiga. Penolakan serupa pernah terjadi pada 2013 lalu, lalu berulang saat peletakan batu pertama renovasi pada 25 Oktober 2019. Saat itu massa menolak gereja dengan alasan tidak sesuai dengan adat Melayu.
Halili, peneliti dari LSM yang fokus meneliti dan mengadvokasi demokrasi, kebebasan politik, dan HAM Setara Institute, mengatakan saat institusinya melakukan pendampingan pada 6 Februari lalu, sebetulnya ada aparat keamanan. "Tapi [mereka] cenderung berpihak ke mob intolerant ini," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (11/2/2020) pagi.
"Akhirnya pihak gereja yang diamankan dengan alasan kondusivitas," kata Halili.
Setara mencatat, dalam waktu 12 tahun terakhir, setidaknya ada 398 gangguan terhadap rumah ibadah, 199 di antara menimpa gereja. Menurut Halili, kasus-kasus ini dimungkinkan terjadi karena ada peraturan yang memang diskriminatif.
Maka dari itu, agar kejadian serupa tak terulang, yang paling utama adalah "regulasi diperbaiki, direvisi, atau ditingkatkan status hukumnya dengan memastikan kontennya nihil dari locus-locus diskriminatif." Regulasi yang dimaksud termasuk peraturan soal pendirian rumah ibadah yang menurut Setara, "paling tidak [memuat] sembilan locus diskriminatif" di dalamnya, "mulai dari maksud, rumusan, sampai dampak."
Masalahnya, kata Halili, pemerintah seperti enggan melakukan itu. Peraturan tersebut tak juga dicabut.
Menurutnya, pemerintah sudah puas hanya bicara soal toleransi lewat "etalase simbolik" seperti terowongan Istiqlal-Katedral. "Begitu banyak kasus intoleransi berbasis peraturan diskriminatif yang jauh lebih prioritas [diselesaikan] oleh Jokowi ketimbang membangun terowongan yang secara simbolik diglorifikasi dan dipuja banyak orang," katanya.
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, mengatakan salah satu peraturan yang mesti dicabut adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama) tentang pendirian rumah ibadah.
"Kami meminta penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk mengevaluasi atau mencabut SKB 2 Menteri yang selalu dijadikan pembenaran kelompok yang menyerang rumah ibadah agama lain," kata Alissa lewat keterangan tertulis, Senin (10/2/2020) malam.
Ia juga meminta pemerintah memfasilitasi agar umat beragama di Indonesia bisa mendapatkan fasilitas ibadah secara mudah.
"Kami juga meminta kepada pemerintah daerah dan perangkatnya untuk menempatkan persoalan kehidupan beragama dalam kerangka nasional, sehingga tidak terjebak melihatnya sebagai masalah lokal. Pemerintah harus mencegah konflik horizontal tanpa mengorbankan keadilan," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino