Menuju konten utama

Terlalu Panas untuk Bekerja

Bumi kian panas. Iklim berubah semakin tak menentu. Panas yang menyengat akan membuat para buruh kasar cepat kelelahan. Lalu berkuranglah produktivitas. Lalu menurunlah PDB. Lalu jurang kemiskinan melebar.

Terlalu Panas untuk Bekerja
Model berpose di salah satu booth dalam pameran indonesia Perubahan Iklim di Jakarta Convention Center, Jakarta. [Antara Foto/Sigid Kurniawan]

tirto.id - Di Venezuela, el nino berhasil membuat level air di bendungan turun drastis. Pasokan listrik di negara yang mengandalkan hydropower itu pun dalam keadaan krisis, memperparah krisis ekonomi yang tengah diderita.

Di Lhokseumawe, Aceh Utara, kemarau sejak awal tahun hingga April membuat masyarakatnya kesulitan air. Sumur-sumur mereka kering. Untuk keperluan minum dan memasak, mereka harus membeli air bersih.

Di Tuvalu, negara kecil di kepulauan Pasifik, air laut pasang dalam skala yang ekstrim dan membanjiri rumah warga. Tanah dan rumah mereka terendam air laut. Sebagian besar dari mereka mengungsi.

Yang terjadi di Venezuela, Lhokseumawe, dan Tuvalu adalah bukti nyata bahwa bumi makin panas. Ketiganya adalah contoh bagaimana pemanasan global berdampak pada lingkungan, yang kemudian memberi dampak kepada manusia.

Lebih dari itu, meningkatnya suhu bumi sebenarnya bisa memberi efek negatif langsung kepada manusia itu sendiri. Suhu yang meningkat membuat bumi semakin panas untuk bekerja.

United Nation Development Programme (UNDP) memprediksi peningkatan suhu akibat pemanasan global menyebabkan adanya biaya ekonomi global mencapai $2 triliun pada tahun 2030. Ini dikarenakan berkurangnya jam kerja di beberapa negara miskin di dunia.

Disebutkan ada 43 negara yang akan mengalami penurunan ekonomi akibat tekanan panas, atau heat stress. Mayoritas negara-negara di Asia seperti Indonesia, Vietnam, Cina, India, Filipina mengisi daftar 43 negara itu.

Menurut penelitian UNDP tentang Perubahan Iklim dan Buruh, pada 2015, jumlah jam kerja bagi pekerja di Indonesia disebutkan berkurang 0,42—0,93 persen karena pemanasan global. Tahun 2085 nanti, angkanya akan diprediksi akan menjadi 5,45 persen.

Pakistan menjadi negara dengan pengurangan jam kerja paling besar tahun lalu, yakni 4,1—4,7 persen. Tahun 2085 nanti, Kamboja menjadi negara yang angka pengurangan jam kerjanya paling tinggi, yaitu 10,9 persen.

Ketika bekerja di udara yang terlalu panas, tubuh akan mengalami heat stress. Dalam kondisi ini, intensitas bekerja akan berkurang sebab tubuh akan mudah lelah. Tubuh yang terlalu berkeringat akan meminta untuk diistirahatkan sejenak. Semakin banyak keringat, semakin banyak juga waktu yang dibutuhkan untuk istirahat.

Tukang ojek di Jakarta, misalnya. Ketika cuaca sangat terik, tubuhnya akan memilih istirahat di rumah dibandingkan harus berkeliaran di tengah teriknya ibukota. Berbeda jika udara sedang sejuk, ia tidak akan mudah lelah dan lebih bersemangat bekerja.

Kondisi ini tentu lebih banyak menimpa buruh-buruh kasar atau mereka yang bekerja tidak di dalam ruangan dengan pendingin udara. Buruh yang sedang mengerjakan proyek bangunan, misalnya. Bekerja di bawah terik matahari tentu akan lebih menguras tenaga mereka.

Negara miskin dan berkembang akan lebih merasakan dampak dari menurunnya produktivitas karena suhu yang makin panas. Padahal, kontribusi negara-negara ini terhadap meningkatknya efek rumah kaca terbilang kecil dibandingkan dengan negara-negara maju. Akan tetapi, negara-negara maju ini akan berusaha lebi keras untuk menghindari terjadinya kerugian akibat panas atau dingin yang berlebihan.

Mari kita lihat prediksi UNDP atas Amerika Serikat. Tahun 2015, jumlah jam kerja bagi pekerja di AS disebutkan berkurang 0,26—0,34 persen, tak begitu jauh berbeda dengan Indonesia. Tetapi tahun 2085 nanti, angkanya akan diprediksi hanya 1,38 persen.

Dalam Jurnal Kesehatan Asia-Pasifik yang diterbitkan UN University di Kuala Lumpur, tahun 2030, Cina dan India akan kehilangan $450 miliar dari produk domestik bruto mereka. Sedangkan PDB Indonesia akan mengalami penurunan 6 persen pada 2030 nanti.

Perubahan iklim akan membuat PDB dan produktivitas berkurang. Sementara itu, jumlah penduduk terus bertambah. Hal ini akan membuat pendapatan per kapita berkurang dan mengakibatkan semakin lebarnya jurang kemiskinan atau gap antara yang kaya dan yang miskin. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat terus menurun.

Baca juga artikel terkait GLOBAL WARMING atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti