tirto.id - Usianya masih 17 tahun ketika ia menikah dengan Jenderal Nikifor Blavatsky, Wakil Gubernur Erivan di Armenia yang usianya 39 tahun. Perempuan muda itu bernama Helena Petrovna von Hahn, seorang keturunan bangsawan Rusia.
Sejak menikah, ia dipanggil Madame Blavatsky. Pernikahan mereka hanya bertahan beberapa bulan. Setelah berpisah dengan suaminya ia tetap memakai nama Blavatsky, tapi harus terusir dari tanah leluhurnya.
M. Ryzki Wiryawan dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung (2014) menjelaskan bahwa Madame Blavatsky kemudian melakukan perjalanan yang mempertemukannya dengan kelompok Persatuan Putih Agung (The Great White Brotherhood) pada tahun 1867 di Himalaya.
Kelompok yang sejak 1879 dikenal sebagai Loji Mahatmas atau Transhimaya ini mengajarkan kepada Madame Blavatsky ilmu-ilmu kuno dan menyuruhnya menyebarkan ilmu itu ke dunia modern.
“Dalam berbagai kesempatan, Madame Blavatsky selalu mengatakan bahwa ajaran Teosofi—nama yang kemudian ia pakai untuk ajaran ini—yang disampaikannya tak lain merupakan pesan yang diterimanya dari dua tokoh dalam kelompok persaudaraan tersebut, yaitu yang disebut sebagai Master KH (Koot Hoomi Lal Singh) dan M (Morya),” tulis Ryzki.
Ryzki menambahkan bahwa tanpa instruksi khusus dari kedua gurunya tentang bagaimana ia harus menjalankan perintah itu, Madame Blavatsky pergi ke Kairo untuk mendalami ajaran mistik. Di sana ternyata ia tak menemukan apa yang dicarinya, sehingga ia pergi ke Paris dan tinggal bersama saudaranya.
Tak lama tinggal di Paris, ia kemudian pindah ke Amerika Serikat atas perintah dari gurunya untuk memulihkan sikap skeptis sebagian masyarakat Amerika Serikat terhadap munculnya gerakan kebangkitan spiritualisme.
Di sana ia bertemu dengan Kolonel Olcott, seorang anggota Freemasonry (Tarekat Mason Bebas), yang juga tengah mendalami spiritualisme. Keduanya kemudian merintis penggalian ilmu filosofi dan okultisme untuk menjelaskan ke masyarakat soal fenomena-fenomena yang berlaku.
“Mereka merancang gerakan Teosofi yang pada awalnya diarahkan kelompok Brotherhood of Luxor. Kelompok ini tampaknya memiliki hubungan dengan gerakan Freemasonry di Amerika Serikat,” tambah Ryzki.
Tahun 1875, Kolonel Olcott mengusulkan pembentukan sebuah organisasi yang bernama Theosophical Society. Menurut C.W. Leadbeater dalam Kitab Theosofi (1915), kata Theos artinya Tuhan, dan Sophia artinya Ilmu. Jadi Teosofi diartikan sebagai Ilmu Tuhan.
Seperti dikutip Ryzki, C.W. Leadbeater menambahkan bahwa ajaran Teosofi mengandung tiga hal, yaitu filsafat, agama, dan ilmu, serta berusaha menjembatani antara agama dan ilmu pengetahuan untuk menjawab segala pertanyaan dan fenomena di dunia.
Theosophical Society berdiri pada 17 November 1875, tapi baru diresmikan pada 3 April 1905. Sebelum diresmikan, menurut Iskandar P. Nugraha dalam Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia (2011), organisasi ini telah berhasil merumuskan tiga hal penting dari tujuan pendiriannya dan menjadi landasan bagi gerakan Teosofi di masa-masa selanjutnya, yaitu:
(1) Membentuk suatu inti dari persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta, ataupun warna kulit. (2) Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. (3) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan menyelidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia.
Teosofi di Hindia Belanda
Majalah Teosofi, Lucifer, seperti dikutip Iskandar P. Nugraha melaporkan bahwa sebelum mendirikan Theosophical Society, Madame Blavatsky pernah berkunjung berkali-kali ke Hindia Belanda dan menaruh perhatian tinggi terhadap nilai-nilai Jawa yang menurutnya dapat dijadikan penyumbang ajaran Teosofi. Kunjungan pertama dilakukan pada 1852.
“Blavatsky mengunjungi Candi Mendut dan Borobudur, lalu sempat singgah di Pekalongan dan bermalam di Pesanggrahan Limpung di lereng Gunung Dieng. Pada 1862, ia kembali berkeliling Pulau Jawa dan diberitakan menyinggahi banyak tempat di Jawa,” tulis Nugraha.
Setelah kunjungan Madame Blavatsky, sebagian masyarakat Jawa sudah mulai tertarik dengan Teosofi pada akhir abad ke-19, khususnya di Jawa Tengah.
Gerakan Teosofi pertama di Hindia Belanda didirikan di Pekalongan yang lojinya dipimpin oleh seorang bangsawan Eropa (Jerman) bernama Baron van Tengnagel. Organisasi ini diakui secara sah oleh Theosophical Society pusat yang waktu itu berkedudukan di Adyar, dekat Madras, India. Izinnya ditandatangani langsung oleh Kolonel Olcott.
Dalam gerakan Teosofi, loji diartikan sebagai perkumpulan yang jumlah anggotanya minimal tujuh orang dan harus mendapat izin dari perkumpulan induk dengan bukti berupa akta yang ditandatangani pimpinan gerakan Teosofi.
Nama gerakan Teosofi pertama di Hindia Belanda adalah The PekalonganTheosophical Society. Dalam buku yang sama, Iskandar P. Nugraha menyebutkan bahwa gerakan pemimpin gerakan ini adalah seorang kapiten infanteri tentara Hindia Belanda yang pernah ditempatkan di Dinas Topografi.
M. Ryzki Wiryawan dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung (2014) menerangkan bahwa loji ini didirikan pada tahun 1883 dan hanya bertahan selama dua tahun.
“Mengenai kegiatan dan hal ihwal organisasi Teosofi tertua di di Hindia Belanda serta aktivitas Baron van Tengnagel hingga wafatnya, masih gelap dan belum dapat diterangkan. Hanya saja diketahui bahwa Baron van Tengnagel meninggal di Bogor pada 1893,” tulis Nugraha dalam dalam Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia (2011).
Setelah kematian Baron van Tengnagel, gerakan Teosofi di Hindia Belanda mengalami kemandekan dan mulai bangkit lagi pada Juli 1901 saat majalah Theosoficsh Maanblad voor Nederlandsch yang dimotori oleh P. van Asperen ven de Velde pertama kali diterbitkan.
Loji di Hindia Belanda awalnya bernama Het Daghet in Het Oosten, kemudian berubah menjadi Eerste Nederland-Indie Theosofische Vereeniging, lalu berubah lagi menjadi Centraal Indie Loge der Theosofische Vereeniging.
Karena mayoritas anggotanya adalah orang Eropa terutama Belanda, maka loji di Hindia Belanda menjadi bagian dari Gerakan Teosofi Nederland.
Teosofi dalam Pergerakan Nasional
Sejak tahun 1912, sekretaris jenderal perkumpulan Teosofi di Hindia Belanda dijabat oleh Dirk van Hinloopen Labberton. Dialah yang kemudian banyak berinteraksi dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional dan membawa Teosofi sebagai salah satu napas dari semangat pergerakan nasional.
R. Indra Nugraha dalam artikel bertajuk Hinloopen Labberton, “Peran Seorang Teosof dalam Pergerakan Nasional” yang terbuhul dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung (2014) menulisnya sebagai “pengaping bagi para pemula gerakan nasionalisme Indonesia”.
Labberton lahir di Doesburg, Belanda, pada 24 September 1874. Ia datang ke Hindia Belanda pada 1894 setelah lulus dari secondary school, dan setahun kemudian bekerja di pabrik gula “Gajam” di Jawa Timur sebagai analis kimia.
Tahun 1896 ia menjabat sebagai kepala pabrik gula Sempal-Wadak, juga di Jawa Timur. Ia juga sempat bekerja sebagai Sekretaris Umum di sebuah kantor departemen di Buitenzorg.
Labberton berminat terhadap bahasa dan etnologi lokal seperti Jawa dan Melayu, serta bahasa serapan Sanskerta. Akhir tahun 1904 ia mengajar bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden, Batavia, hingga tahun 1914.
Salah satu minat Labberton dan istrinya adalah wayang kulit. Suatu saat ia dan istrinya sempat berdebat dengan Tjipto Mangoenkoesoemo soal modifikasi pertunjukkan wayang kulit sebagai media pergerakan.
“Labberton berpendapat bahwa wayang menggenggam rahasia besar kemanusiaan, tapi justru disia-siakan oleh orang Eropa. Wayang pada perkembangannya ternyata terbukti efektif menjadi alat penyebaran Teosofi yang cukup penting,” tulis Indra.
Hal ini seturut dengan pemaparan Iskandar P. Nugraha dalam artikel bertajuk “Dua Wayang di Lambang Indische Partij” di majalah Tempo yang menyebutkan bahwa tokoh wayang kerap digunakan oleh gerakan Teosofi dalam menyampaikan pesan-pesannya. Dalam konteks ini, tokoh wayang tersebut adalah Kresna dan Arjuna masing-masing terkenal sebagai tokoh sakti dan cerdik.
Sebagai contoh dalam Kongres Teosofi pertama di Indonesia pada 18-19 April 1908, mereka menggelar wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Kresna Gugat” yang dibawakan oleh dalang R. Martahardjana.
Seorang tokoh Teosofi, Radjiman Wedyodiningrat, dalam setiap cemarahnya juga kerap berbicara tentang wayang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Teosofi. Kedua tokoh wayang ini pula yang dijadikan lambang Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda yang yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”.
Pergaulan Labberton yang luas juga membawanya kepada para aktivis Java Studie Fond, salah satunya Soetomo. Ia menjadi mentor bagi para anggota organisasi tersebut yang kelak menjadi Boedi Oetomo.
Pemikiran mereka sejalan dengan Teosofi yaitu mengusung isu lokal dan membawa pendidikan serta budaya Barat untuk memajukan budaya lokal. Karena pengetahuannya yang luas dan dalam tentang kebudayaan Jawa dan mistik Jawa, Labberton dijuluki “Kiai Santri”.
Dalam dokumentasi resmi gerakan Teosofi, sejumlah tokoh pergerakan nasional tercatat sebagai anggota gerakan tersebut, di antaranya Agus Salim, Tjipto Mangoenkeosoemo, Goenawan Mangoenkeosoemo, dan Muhammad Yamin.
Nama Agus Salim bahkan terdapat dalam halaman pertama Kitab Theosofi (1915) sebagai penerjemah buku tersebut dari judul aslinya A Textbook of Theosophy (1912) karya C.W. Lead Beater.
“Syahdan yang mengerjakan kebanyakan terjemahan kitab ini, yaitu Haji A. Salim, maka atas usahanya itu kami pun mengucapkan terima kasih,” ujar A.F. Folkersma, penerbit yang mewakili Himpunan Teosofi.
Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1996) pahlawan nasional itu mengatakan, “Bersamaan dengan masa perjumpaan saya dengan Sarekat Islam, saya pun mulai ada hubungan dengan kalangan Teosofi.”
Saat gerakan Teosofi berpusat di Blavatsky Park, sebelah barat Koenigsplein (sekarang Jalan Merdeka Barat, Jakarta), banyak aktivis yang aktif di sana, seperti Muhammad Jamin, M. Tabrani, Roestam Effendi, dan Sanoesi Pane.
Moh. Hatta juga penah berkunjung ke Blavatsky Park tetapi tidak menjadi anggota, meskipun di kemudian hari Hatta mendapat beasiswa dari para teosof untuk belajar di Belanda.
“Para teosof ini menjadi pelindung banyak pelajar pribumi, memberikan tempat berteduh, makanan dan pakaian, dan terutama buah pikiran,” tulis Hans van Miert dalam Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930 (2003).
Editor: Fadrik Aziz Firdausi