tirto.id - Warsa 1952, sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat resah terhadap parlemen yang mereka nilai hanya berisi para politikus pembuat kegaduhan. Mereka menganggap parlemen terlalu ikut campur dalam masalah internal militer. Sebuah demonstrasi kemudian dirancang. Salah satu kelompok yang mudah digerakkan adalah kolega mereka yang nyalinya besar dan waktu revolusi ikut angkat senjata.
Imam Syafii alias Bang Pi’ie adalah kunci. Pi’ie adalah Kapten TNI di Komando Militer Kota Besar (KMKB) Jakarta Raya. Pi’ie, seperti dicatat Tempo (17/08/2007), adalah ketua organisasi bernama Cobra. Organisasi ini berakar dari laskar Bambu Runcing yang setelah revolusi berakhir dikenal sebagai salah satu geng besar di Jakarta.
Cobra bukan satu-satunya kelompok jagoan yang berhubungan dengan tentara. Menurut Irwan Syafiie kepada Tempo, masih ada kelompok Lagoa, Ular Belang, dan Ali Batra. Kelompok-kelompok inilah yang diincar tentara untuk diajak berdemonstrasi.
Tengah malam saat tanggal 16 Oktober 1952 akan berganti, di rumah Letnan Satari di Petojo Udik 15 sudah hadir beberapa orang, meski yang empunya belum pulang. Letnan Satari kemudian datang bersama Letnan Laksa, bekas komandan Komando Militer Kota (KMK) Jatinegara. Dua letnan TNI ini baru saja rapat di KMKB Jakarta. Letnan Satari kemudian memberi arahan kepada tamunya.
”Besok kita akan mengepung istana Negara,” kata Satari.
”Parlemen sarang penjahat,” imbuhnya.
Sementara Letnan Laksa menambahkan bahwa anggota parlemen adalah agen Inggris-Amerika dan Rusia. Ia menekankan bahwa bangsa Indonesia harus kembali pada pokok Proklamasi 17 Agustus 1945 dan menuntut pembubaran parlemen kepada Bung Karno.
Penjelasan dua perwira TNI itu cukup mengena bagi orang-orang yang diajaknya demonstrasi. Meski tak mengikuti perkembangan Perang Dingin, tapi orang-orang itu masih mengingat Inggris yang banyak terlibat dalam sejumlah pertempuran di masa revolusi.
Mengutip dari Harian Rakjat (18/10/1952), Tempo melaporkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 1952, tepat hari ini 68 tahun lalu, banyak kantor dan pabrik tutup karena para buruh dikerahkan untuk ikut berdemonstrasi. Koran lain mencatat para peserta demonstrasi itu di antaranya orang-orang udik bertelanjang kaki dan para jagoan hilir mudik mengarahkan massa. Sebagian preman berkumpul di sekitar gedung Jawatan Farmasi di Jalan Budi Utomo, tak jauh dari gedung parlemen.
Bang Pi’ie seperti disebut Tempo, telah menyiapkan para jagoan untuk bergerak mendekati Lapangan Banteng dan lapangan yang kini menjadi kompleks Monumen Nasional (Monas). Para jago alias preman itu lalu bersama tentara berdemonstrasi di depan istana negara.
”Pada tanggal 17 Oktober itu terjadi demonstrasi yang dilakukan Syafi’i dan kelompoknya dan juga tampak di belakang demonstrasi itu dukungan pasukan tentara Resimen 07 Jakarta pimpinan Kemal Idris. Demontrasi berlangsung di depan Istana dengan tuntutan agar parlemen dibubarkan dan mengangkat Sukarno menjadi diktator tunggal,” kata Achmadi Moestahal dalam Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H. Achmadi Moestahal (2002:138). Seingat Moestahal, orang yang menggerakkan kelompok Syafi’ie antara lain Kolonel drg Moestopo.
Menurut Muhammad Fauzi dalam tesisnya di Universitas Indonesia, Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan 1950-1966 (2010:63), Bang Pi’ie memiliki andil besar dalam memobilisasi para demonstran pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Pi’ie dikenal dekat dengan Jenderal Abdul Haris Nasution dan para perwira Siliwangi sejak zaman revolusi.
Kolonel Zulkifli Lubis yang merupakan Kepala Biro Informasi Angkatan Perang (BISAP), kala itu juga terseret dalam politik internal Angkatan Darat, ikut bertindak. ”Waktu gerakan itu terjadi, orang-orang saya sempat masuk di antara mereka,” ujar Lubis dalam rubrik Memoar di Tempo (29/07/1989).
Lubis melihat ”massa dibawa untuk menakut-nakuti Bung Karno.” Namun, seingat Lubis, Sukarno sudah tahu duduk permasalahannya hingga tidak gagap menghadapi demonstran yang kebanyakan adalah orang-orang buta politik.
Lubis merasa lucu dengan apa yang terjadi pada hari itu. Menurutnya, waktu Presiden Sukarno keluar dan berbicara di hadapan massa, yang demonstrasi itu seharusnya berteriak, ”turun DPR!” atau ”hantam DPR!” Sementara itu karena orang-orang yang ditanam Lubis di beberapa sudut malah berteriak, ”Hidup Bung Karno!” maka massa demonstrasi yang mayoritas masih berusia muda itu pun ikut berteriak ”Hidup Bung Karno!”
Demonstrasi pun tak seperti yang diharapkan para petinggi tentara. Mengingat Peristiwa 17 Oktober 1952 yang menggerakkan para jago alias preman yang buta politik, Lubis bisa tertawa tiada putus. ”Memang itu saya yang buat. Jadi, mereka jengkel sama saya.” Lubis kemudian merasa punya musuh di kalangan perwira Angkatan Darat.
Setelah peristiwa tersebut, Bang Pi’ie tidak seapes Nasution yang kena skors. Ia terus berdinas di TNI hingga mencapai pangkat Letnan Kolonel pada 1966. Bang Pi’ie bahkan pernah diberi jabatan yang belum pernah ada sebelumnya, serta belum pernah terjadi lagi sesudahnya dalam Kabinet Dwikora atau yang dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri, yakni sebagai Menteri Negara Diperbantukan Pada Presiden Urusan Pengamanan Khusus.
Sebagai menteri, Letnan Kolonel Imam Syafi’ie alias Bang Pi’ie berada langsung di bawah Presiden Sukarno, bukan di bawah Menteri Koordinator Pertahanan keamanan. Ia yang belakangan masuk penjara pada awal Orde Baru, disebut Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (1999:10) punya reputasi sebagai ”ketua bajingan-bajingan di jakarta”, ”ketua perkumpulan copet Cobra Jakarta”, dan ”orang yang menguasai dunia bawah Jakarta”.
Penunjukannya sebagai menteri yang mengurusi keamanan ibukota menjadi bukti bahwa Sukarno sudah tidak percaya tentara pada 1966. Dengan menarik Pi’ie sebagai menteri, setidaknya membuat Angkatan Darat kehilangan sebagian kolega mereka di dunia preman. Bang Pi’ie kemudian tak pernah diingat jasanya oleh para perwira yang memperalatnya untuk ikut dalam Peristiwa 17 Oktober 1952.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 September 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh