Menuju konten utama
Periksa Data

Tarik-tarikan antara Belanja dan Menabung selama Pandemi

Pandemi membuat orang lebih was-was untuk mengeluarkan uang. Bagaimana kondisi konsumsi rumah tangga saat ini?

Tarik-tarikan antara Belanja dan Menabung selama Pandemi
Periksa Data Tarik-tarikan antara Belanja dan Menabung selama Pandemi. tirto.id/Quita

tirto.id - Sejak SD, masyarakat Indonesia diajarkan kalimat "hemat pangkal kaya", yang salah satunya ditujukan untuk mensosialisasikan budaya menabung. Namun, tatkala pandemi menerjang, kekhawatiran akan masa depan dan ketidakpastian mendorong sebagian orang untuk menabung lebih banyak dan mengerem pengeluaran.

Hal ini pun diterapkan Fatimah Nur Prayitno, seorang barista di Jakarta. Sebelum pandemi, ia terbiasa menabung setiap akhir minggu saat ia menerima gaji. Akan tetapi, pengeluarannya tidak teratur. Ia pun tidak berpikir panjang saat ingin membeli jajan. “Gaji habis saja begitu, entah ke mana,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (2/7/2021).

Kebiasaan Fatimah berubah saat pandemi COVID-19 menyapu Indonesia. Setelah tiga kali dirumahkan oleh tempat kerjanya sejak awal pandemi, ia mulai memperhitungkan pengeluarannya. Misalnya, ia memotong anggaran belanja keperluan rumahnya dan memasak lebih sering untuk berhemat. Uang jajan pun ia kurangi.

Fatimah juga menaikkan jumlah uang yang ia tabung. Hal ini dilakukannya untuk mengantisipasi biaya berobat ke rumah sakit di kemudian hari karena ia tidak memiliki keanggotaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Beberapa bulan lalu, gue sempet masuk rumah sakit dan biaya untuk berobat itu cukup mahal, karena gue enggak ada BPJS. Jadi bikin benar-benar berpikir di kondisi seperti ini, harus pintar-pintar ngatur pengeluaran,” cerita Fatimah.

Fatimah hanyalah satu dari sekian orang di Indonesia yang harus mengatur kembali keuangannya di tengah ketidakpastian jumlah pendapatan menyusul dampak ekonomi akibat pandemi. Menurut siaran pers Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2021, terdapat 19,1 juta orang yang terdampak COVID-19, sementara pengangguran bertambah 1,62 juta orang sejak Februari 2020. Selain itu, ada 15,72 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19.

Lantas, bagaimana kondisi konsumsi masyarakat Indonesia selama pandemi? Apa saja upaya pemerintah untuk memperbaiki konsumsi rumah tangga di tengah perlambatan ekonomi?

Konsumsi Naik-Turun

Konsumsi rumah tangga cenderung menurun beriringan dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat besarnya sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap ekonomi Indonesia. Pada kuartal I 2020, konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif. Ekonomi masih tumbuh 2,97 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara konsumsi rumah tangga naik 2,84 persen year-on-year (yoy).

Namun, keduanya terjun bebas saat dampak ekonomi COVID-19 terasa di kuartal kedua, setelah kasus Corona pertama Indonesia terjadi di bulan Maret 2020. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terkontraksi sebanyak 5,32 persen dari periode yang sama tahun 2019 pada kuartal II 2020, dan konsumsi rumah tangga turun 5,52 persen yoy.

Konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi kembali merangkak perlahan-lahan menuju pemulihan sepanjang tahun 2020. Namun, pada kuartal I 2021, data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih terkontraksi sebesar minus 2,23 persen secara tahunan, meskipun relatif membaik dari periode-periode sebelumnya. Kontraksi konsumsi ini juga menjadi kontributor utama perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ini.

“Padahal, kalau melihat struktur PDB, konsumsi rumah tangga ini menyumbang 56,9 persen. Apa yang terjadi pada komponen ini [konsumsi rumah tangga] memberi [dampak] luar biasa pada pertumbuhan ekonomi,” ujar Suhariyanto pada 5 Mei via konferensi daring, dilansir Kontan.

Penurunan konsumsi tercermin pula dari keyakinan masyarakat terhadap ekonomi yang diukur dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari survei Bank Indonesia (BI). Indeks di atas 100 berarti masyarakat optimis terhadap kondisi ekonomi di Indonesia sedangkan di bawah 100 berarti pesimis terhadap hal tersebut.

IKK pada bulan Januari-Maret 2020 berada di atas 100. Namun, angka ini menurun tajam menjadi 84,8 pada bulan April dan merosot ke titik 77,8 pada bulan Mei, terendah sepanjang tahun 2020. Artinya, masyarakat cenderung pesimis terhadap adanya penguatan ekonomi tahun lalu.

Indeks ini baru kembali di atas 100 pada bulan April 2021. “Responden menyampaikan bahwa perkembangan program vaksinasi nasional yang berjalan lancar mendorong perbaikan keyakinan terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun ekspektasi ke depan,” sebut BI dalam survei konsumen pada Maret 2021.

Dalam survei BI yang sama, proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi, ditabung dan untuk membayar cicilan atau utang terlihat cenderung stagnan sepanjang tahun 2020, dengan catatan BI tidak merilis data April-Juli 2020. Mulai Januari 2021, uang yang ditabung menurun drastis sedangkan uang yang dipakai konsumsi meningkat.

Namun, di samping temuan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup tinggi di April 2021. Menurut Statistik Perbankan Indonesia keluaran OJK, pada April 2021, DPK dari bank umum naik sebanyak 10,9 persen menjadi Rp 6,79 kuadriliun, atau Rp 6.798,49 triliun dibanding April 2020.

Dari komposisi DPK itu, jumlah tabungan juga naik double digit, atau sebesar 13,67 persen di periode yang sama, menjadi Rp 2,02 kuadriliun atau Rp 2.025,60 triliun. Adapun jumlah tabungan perbankan ini memang menunjukkan tren kenaikan yang relatif stabil setiap bulannya sejak April hingga Desember 2020, dengan pengecualian di bulan Juli. Artinya, setiap bulannya, ada kecenderungan orang-orang lebih banyak menabung selama pandemi tahun lalu.

Penurunan konsumsi rumah tangga terlihat pula pada penjualan eceran dalam Indeks Penjualan Riil (IPR) BI. Data ini biasa digunakan sebagai informasi dini mengenai arah pergerakan PDB dari sisi konsumsi, menurut BI. Terjadi perubahan yang signifikan dalam IPR April 2020 dan April 2021. Pada April 2020, IPR turun sebesar 16,9 persen dari bulan yang sama tahun 2019, melesak jauh dari kontraksi IPR sebesar 4,5 persen yoy pada Maret 2020.

Bisa dikatakan bahwa saat itu, dampak pandemi sudah mulai terlihat. Menurut survei BI, penurunan IPR pada April 2020 bersumber dari kontraksi penjualan pada seluruh kelompok komoditas yang dipantau, dengan penurunan penjualan terdalam pada subkelompok sandang dan barang budaya dan rekreasi.

Sementara itu, IPR April 2021 tumbuh 15,6 persen dari April tahun sebelumnya, di angka 220,4, dan juga naik 17,3 persen dari bulan Maret (month-on-month). Ini juga lebih tinggi dari bulan Maret 2021. Pada waktu itu, IPR sempat turun 14,6 persen dari bulan yang sama tahun sebelumnya.

Responden menyampaikan peningkatan kinerja penjualan eceran didorong oleh meningkatnya permintaan selama Ramadan serta berbagai program potongan harga (diskon). Peningkatan penjualan terjadi pada mayoritas kelompok komoditas yang disurvei, terutama subkelompok sandang, makanan, minuman dan tembakau serta bahan bakar kendaraan bermotor.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan pada Tirto, Selasa (6/7/2021), tren penurunan konsumsi rumah tangga pada awal Maret 2020 terjadi karena kenaikan nilai tukar rupiah akibat dampak COVID-19 terhadap sektor keuangan, sehingga barang konsumsi yang mempunyai komponen impor pun semakin mahal. Alhasil, masyarakat mulai mengurangi konsumsinya pada waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, pandemi serta pembatasan sosial yang diterapkan turut memukul sektor dengan nilai ekonomi tinggi namun membutuhkan interaksi langsung, seperti sektor perdagangan, pariwisata, dan transportasi. Daya beli masyarakat pun menurun, sehingga rumah tangga membatasi pengeluaran untuk barang-barang pokok saja.

Sementara itu, momen Lebaran dan bulan Ramadhan menopang pemulihan konsumsi rumah tangga pada kuartal pertama, meskipun masih relatif lambat, jelas Eko.

Upaya Perbaikan Konsumsi

Menyadari adanya penurunan konsumsi masyarakat, pemerintah telah mengalokasikan dana untuk perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus mendorong konsumsi masyarakat.

Mengutip artikel Kementerian Keuangan, perlindungan sosial tersebut diberikan antara lain melalui Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, subsidi listrik dan Program Keluarga Harapan. Pemerintah juga memberikan BLT BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 600.000 untuk karyawan swasta yang mempunyai gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

“Yang kita andalkan menjadi key driver bagi pertumbuhan ekonomi 2021 pastinya mendorong konsumsi rumah tangga,” tegas Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso pada 16 Februari 2021, dikutip dari siaran pers Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19.

“Bagaimana kita meningkatkan daya beli bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan menggulirkan program-program jaringan keamanan sosial, dan membangun kepercayaan diri masyarakat ekonomi menengah ke atas untuk kembali berbelanja,” lanjut Susiwijono.

BI juga telah menerbitkan aturan kebijakan bebas uang muka kredit atas kendaraan bermotor dan properti pada Maret lalu, seperti dilansir CNN Indonesia. Kebijakan bebas uang muka ini berlaku untuk kendaraan motor baru. Selain itu, BI juga mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (Loan to Value/LTV) kredit dan pembiayaan properti dari semula 85 persen sampai 90 persen menjadi 100 persen. Artinya, pembelian rumah yang semula memerlukan uang muka sebesar 10 persen sampai 15 persen, kini bebas DP.

Kedua skema ini berlaku mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2021. Pelonggaran berlaku untuk semua jenis properti.

Di saat yang bersamaan, pemerintah juga telah menyiapkan insentif diskon Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor pada segmen kendaraan kurang dari 1500 cc, yaitu untuk kategori sedan dan 4x2 (two-wheel drive). Pajak mobil baru ditanggung pemerintah sebesar 100 persen selama tiga bulan mulai 1 Maret 2021. Selanjutnya, pemerintah akan memberi potongan pajak sebesar 50 persen dari tarif pajak pada tahap kedua atau tiga bulan berikutnya. Lalu, pada tahap ketiga, potongan pajak yang diberikan tinggal 25 persen.

Namun, baru-baru ini, pemerintah bahkan memperpanjang pertanggungan pajak 100 persen tersebut hingga Agustus 2021, yang seharusnya berakhir Mei 2021.

Kemudian, pemerintah juga menambah insentif diskon PPnBM untuk mobil dengan kapasitas silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc, seperti dilansir dari Kompas.com. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 April 2021.

Kedua, kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari sepuluh orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan sistem dua gardan penggerak (4x4). Untuk sistem garda penggerak (4x4) ini diberikan diskon 25 persen dari PPnBM yang terutang untuk masa pajak April 2021 sampai dengan Agustus 2021. Selanjutnya, diskon dikurangi yakni hanya sebesar 12,5 persen untuk masa pajak September 2021 hingga Desember 2021.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diskon PPnBM Mobil 1.500 hingga 2.500 cc Resmi Berlaku, Ini Rinciannya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/04/02/143812526/diskon-ppnbm-mobil-1500-hingga-2500-cc-resmi-berlaku-ini-rinciannya.

Editor : Yoga Sukmana

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

Android: https://bit.ly/3g85pkA

iOS: https://apple.co/3hXWJ0

"Harapannya dengan insentif yang diberikan bagi kendaraan bermotor ini, konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah atas akan meningkat, meningkatkan utilisasi industri otomotif dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini,” jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dikutip dari situs Kemenko Perekonomian (11/2/2021).

Masih Perlu Dibenahi?

Kendati demikian, implementasi beberapa kebijakan perbaikan konsumsi masih perlu dibenahi. Mengutip Bisnis Indonesia, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menilai kebijakan tanpa uang muka untuk kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA) belum ada realisasinya di lapangan.

"Setahu saya belum ada realisasi DP 0 persen," katanya kepada Bisnis Indonesia pada Jumat (7/5/2021).

Selain itu, ketika belum semua masyarakat mendapat bansos COVID-19, Menteri Sosial Juliari Batubara ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima "fee" Rp 10 ribu untuk satu paket bansos seharga Rp 300 ribu. Politikus dari PDIP itu diduga menerima dana senilai Rp 17 miliar.

Ekonom INDEF Eko Listiyanto juga mengkritik penyerapan PEN di sektor kesehatan yang lambat jika dibandingkan dengan nonekonomi. Padahal, pemulihan kesehatan penting untuk membangkitkan pekerjaan informal yang selama ini menjadi tumpuan pendapatan untuk konsumsi sebagian besar rumah tangga di Indonesia.

Selama Juli 2020-Desember 2020, Satgas PEN telah mencairkan Rp 346,8 triliun atau 97,7 persen dari alokasi anggaran yang ditujukan untuk empat klaster ekonomi. Namun, anggaran kesehatan justru baru terealisasi sebesar Rp 63,51 triliun atau mencapai 63,83 persen dari pagu anggaran yang sebesar Rp 99,5 triliun, seperti dilaporkan Kontan.co.id.

Yang terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui siaran pers pada 6 Juli 2021 mengumumkan bahwa pemerintah akan menaikkan anggaran kesehatan untuk penanganan COVID-19 dalam program PEN 2021 dari Rp 182 triliun menjadi Rp 193,93 triliun, atau sekitar dua kali lipat dari anggaran 2020. Kenaikan anggaran ini untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.

"Problemnya adalah saya khawatir di eksekusinya. Itu akan mempengaruhi pemulihan ekonomi secara keseluruhan," ujar Eko.

Upaya perbaikan konsumsi ini penting dilakukan karena porsi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi hampir mencapai 60 persen, jelas Eko. Lebih dari itu, konsumsi yang masih lemah akibat daya beli yang menurun biasanya akan disiasati oleh masyarakat dengan bergeser pada produk konsumsi kualitas rendah yang harganya lebih murah.

"Hal ini tentu akan berkonsekuensi terhadap gizi dan nutrisi produk konsumsi yang lebih rendah dan akhirnya kondisi kesehatan yang menurun, terutama pada masyarakat rentan miskin dan miskin," ungkap Eko.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty