tirto.id - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akan mengevaluasi tarif batas bawah angkutan udara usai Lion Air jatuh di perairan Karawang, Senin lalu. Rencana ini diambil seiring dengan anggapan tarif ekonomi yang terlalu murah dapat mengabaikan faktor keamanan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 14 Tahun 2016 (PDF), penyesuaian tarif memang bisa dilakukan pemerintah. Salah satunya, jika harga avtur di atas Rp9.729 per liter selama tiga bulan berturut-turut.
Pada Agustus 2017, pemerintah sebenarnya sudah menaikkan tarif batas bawah sebesar 35 persen karena melonjaknya harga avtur dan melemahnya nilai tukar rupiah. Namun, tarif batas bawah yang baru ini belum diberlakukan.
"Lagi exercise, karena kami perlu sosialisasi melalui Menko Maritim," kata Budi seperti dikutip Antara, 28 Agustus lalu.
Saat ini, evaluasi tarif batas bawah kembali diwacanakan. Usulan kenaikan kali ini didasarkan pada perbaikan pelayanan. Tarif murah untuk kelas ekonomi dinilai sejumlah pihak menjadi salah satu faktor yang membuat maskapai memberikan pelayanan asal-asalan, bahkan terkesan mengabaikan keselamatan penumpang.
Meski begitu, kata Budi, banyak hal perlu diperhatikan sebelum menetapkan kenaikan tarif batas bawah. Salah satunya depresiasi nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah dunia yang menunjukkan tren naik.
"Dengan adanya dolar naik dan harga minyak naik memang sangat sensitif untuk menaikkan tarif batas bawah," kata Budi, di Kantor Kementerian Perhubungan, Kamis kemarin (1/11/2018).
Kemenhub, kata Budi, masih akan menghitung dampak perekonomian yang ditimbulkan, termasuk terhadap konsumen. Sebab, kenaikan tarif batas bawah ini akan berdampak secara langsung pada konsumen.
Bukan Karena Faktor Keselamatan
Sejak 2016, pemerintah memang belum mengubah aturan batas bawah tiket pesawat meski sempat mengevaluasinya beberapa kali. Kenaikan ini, kata Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Bayu Sutanto, padahal diperlukan mengingat besarnya tekanan dolar terhadap rupiah belakangan ini.
INACA, kata Bayu, bahkan sempat mengusulkan tarif kelas ekonomi dinaikkan 40 persen. Ini lantaran harga avtur dan nilai tukar dolar terhadap rupiah terus meningkat.
Bayu mencontohkan, saat rupiah berada di level Rp14.500 per dolar AS pada Juni lalu, harga avtur sudah mencapai Rp8.740 per liter di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang. Harganya naik dari Rp8.300 per liter pada Februari 2018.
Sementara itu, rata-rata harga avtur saat ini sudah di atas Rp9.729 per liter. Ini membuat pelaku industri mengeluh lantaran tingginya ongkos bahan bakar yang harus dikeluarkan.
Jika kenaikan tidak dilakukan, menurut Bayu, perusahaan harus memutar otak untuk melakukan efisiensi dari sektor lain.
"Yang 40 persen itu usulan yang minimum hanya untuk menjaga maskapai-maskapai tidak rugi karena kenaikan biaya operasi dan menjaga kelangsungan serta kesehatan keuangan industri," ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (2/11/2018).
Kendati demikian, Bayu menegaskan kenaikan tarif tak ada sangkut pautnya dengan masalah keselamatan di bisnis transportasi. Hal itu, kata dia, tidak tepat jika dikait-kaitkan lantaran faktor keselamatan sudah menjadi kewajiban (mandatory) maskapai maupun pengawas.
“Kenaikan tarif batas bawah lebih relevan ke profitabilitas usaha dan kondisi industrinya menjadi lebih sehat dan sustainable,” kata Bayu.
Hal ini senada diungkapkan Sekjen INACA Tengku Burhanuddin. Menurutnya, beberapa maskapai menggelontorkan dana operasional 30-40 persen untuk kebutuhan bahan bakar ini. Selain itu, maskapai juga perlu mengeluarkan biaya untuk premi asuransi, penyewaan pesawat, dan lain-lain.
Burhan mengakui, beberapa maskapai di Indonesia memang dapat meraup laba tambahan dari selisih kurs untuk rute penerbangan internasional. Namun, selisih kurs itu tidak cukup menolong keuangan perusahaan yang pendapatannya terkuras untuk konsumsi bahan bakar.
Oleh karena itu, Burhan mengapresiasi jika pemerintah mengambil langkah menaikkan tarif batas bawah di tengah gencarnya tekanan dolar terhadap rupiah.
"Kan enggak semua punya rute internasional. Dan kami, kan, bicara tarif ekonomi untuk penerbangan domestik," kata mantan pegawai Sales and Service Garuda Indonesia tersebut.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz