Menuju konten utama

Target Swasembada Kedelai Hanya Sekadar Mimpi

Presiden Jokowi menargetkan swasembada kedelai terjadi pada 2017. Namun yang terjadi justru impor kedelai makin tinggi.

Target Swasembada Kedelai Hanya Sekadar Mimpi
Pedagang menunjukkan kedelai impor Amerika yang dijual di Jakarta Timur, Jakarta, Senin (12/3/18). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/18.

tirto.id - “Saya sampaikan berkali-kali bahwa dalam 3 tahun saya targetkan kepada Menteri Pertanian untuk bisa swasembada, tiga tahun tidak boleh lebih. Dimulai dengan beras, kemudian nanti jagung, gula, kedelai, terus daging, semuanya.”

Obral janji dari Presiden Joko Widodo itu disampaikan saat Pembukaan Munas HIPMI XV 2015, di Bandung, pada 12 Januari 2015. Tiga tahun berlalu, tanda-tanda swasembada masih belum terlihat. Justru impor yang malah meningkat.

Salah satu komoditas pangan yang terus meningkat di antaranya adalah kedelai. Dari berbagai sudut sumber data perdagangan, Indonesia memang masih bermasalah soal impor kedelai.

Misalnya bila mengutip data dari Comtrade, volume impor bahan baku tahu dan tempe Indonesia mencapai 2,53 juta ton pada 2017, naik 42 persen dari 2013 sebanyak 1,78 juta ton. Kebutuhan impor kedelai tersebut membuat dolar yang digelontorkan juga meningkat. Pada 2013, nilai impor kedelai tercatat US$1,1 miliar. Angka itu kemudian naik 16 persen pada 2017, yakni sebesar US$1,28 miliar.

Tahun ini, impor kedelai masih akan terjadi, bahkan akan lebih tinggi. Tanda-tanda impor kedelai meningkat terlihat saat United States Department Agriculture (USDA) merilis ekspor kedelai AS ke Indonesia pada 16 Agustus 2018.

Berdasarkan data USDA, ekspor kedelai AS ke Indonesia dari awal tahun hingga 23 Agustus 2018 mencapai 2,38 juta ton. Jumlah tersebut naik 4,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2017 sebanyak 2,27 juta ton. “Produksi dalam negeri jalannya statis, sementara kebutuhan terus naik. Makanya, kebutuhan impor juga naik. Jadi, enggak aneh,” kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin kepada Tirto.

Aip tidak meleset, produksi kedelai lokal selalu di bawah 1 juta ton per tahun. Berdasarkan catatan BPS, volume produksi kedelai di Indonesia pada 2014 tercatat 954.997 ton. Setahun kemudian, volumenya naik tapi tidak signifikan, hanya 963.183 ton. Pada 2016, produksi malah menurun ke angka 890.000 ton, dan menurun lagi pada 2017 menjadi 786.142 ton. Bisa dibilang, swasembada kedelai masih jauh panggang dari api.

Target Swasembada Sejak Era SBY

Rencana mulia swasembada kedelai sebenarnya bukan barang baru. Gembar-gembor target memenuhi kebutuhan kedelai secara mandiri sudah dicetuskan sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun dalam 10 tahun, swasembada kedelai belum sekalipun terealisasi. Justru, impor kedelai makin tak terkendali. Bahkan, kondisi saat ini, kedelai impor lebih banyak ketimbang kedelai lokal.

Menurut Gakoptindo, kebutuhan kedelai dalam negeri tahun ini sekitar 2,7 juta ton. Produksi kedelai lokal hanya di kisaran 500.000-700.000 ton. Sementara sisanya, dipenuhi oleh kedelai impor. Target swasembada memang masih jauh, sampai-sampai pemerintah seringkali mengundurkan target.

Berdasarkan penelusuran Tirto, pemerintah Kabinet Kerja Jokowi setidaknya memundurkan target swasembada hingga dua kali, yakni mundur ke 2018 dari sebelumnya 2017. Lalu mundur lagi ke tahun 2020. “Saat era SBY, saya hitung target swasembada kedelai itu diundur sampai dengan lima kali. Jokowi juga sama saja. Enggak mudah memang,” kata Khudori, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia kepada Tirto.

Infografik Perkembangan impor kedelai indonesia

Menurut Khudori, target swasembada kedelai bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Hanya saja, pemerintah harus memiliki langkah yang sangat drastis untuk dapat membalikkan keadaan. Pekerjaan rumah harus benar-benar diselesaikan.

Ada tiga pekerjaan rumah yang memerlukan perubahan drastis dari pemerintah agar produksi kedelai lokal mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pertama, produktivitas panen per hektare kedelai yang sangat rendah. Rata-rata produktivitas kedelai di Indonesia hanya sekitar 0,8—1,5 ton per hektare. Angka ini sangat jauh ketimbang negara produsen kedelai lainnya yang rata-rata sudah mencapai 3 ton per hektare.

Berdasarkan data dari USDA, produktivitas kedelai Indonesia tercatat 1,3 ton per per hektare pada 2017/2018. Angka ini lebih rendah dari produktivitas dunia sebesar 2,7 ton per hektare maupun produktivitas AS sebesar 3,3 ton. Masih dari data USDA, pertumbuhan produktivitas kedelai di dunia akan tumbuh menjadi 2,76 ton per hektare. Sementara Indonesia, produktivitas kedelai diproyeksikan turun menjadi 1,27 ton per hektare.

Kedua, lahan tanam yang sulit bertambah. Seperti diketahui, lahan pertanian setiap tahun selalu menciut. Pemerintah mengklaim lahan tanam terus dibuka. Namun tidak sedikit pula, lahan tanam yang beralih fungsi. Berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), rata-rata alih fungsi lahan sawah per tahun mencapai 150.000-200.000 hektare. Kondisi ini semakin parah, lantaran kedelai juga bukan menjadi prioritas petani.

Ketiga, tingkat profitabilitas kedelai yang lebih rendah ketimbang komoditas pangan lainnya, padi dan jagung. Dengan kata lain, kedelai di mata petani tidak menarik lantaran kurang menguntungkan. Rendahnya profitabilitas kedelai juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Sri Karuniari Nuswardhani dari Fakultas Pertanian, Universitas Yudharta Pasuruan yang bertajuk “Struktur Biaya Dan Profitabilitas Usahatani Tanaman Pangan”.

Penelitian yang dilakukan pada 2017 ini menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, dari data BPS tersebut dilakukan analis profitablitas dan efisiensi usaha tani dari masing-masing komoditas.

Dalam penelitiannya itu, disebutkan bahwa margin profit padi sawah mencapai 0,35 persen. Artinya, biaya sebesar Rp1, dapat mendatangkan penerimaan sebesar Rp1,35. Margin profit padi ladang juga kurang lebih sama, sekitar 0,32 persen.

Untuk jagung, petani mendapatkan margin profit sebesar 0,32 persen. Beda-beda tipis dengan padi. Sebaliknya, margin profit kedelai justru negatif. Dari biaya Rp1, petani mendapatkan penerimaan sebesar Rp0,99. Jelas ini merugikan petani.

Target swasembada memang jadi mainan saat kampanye atau program-program populis pemerintah. Namun, merealisasikannya ternyata bukan hal yang mudah. Tanpa hitung-hitungan yang matang, program swasembada kedelai ini bisa jadi hanya akan jadi bahan kampanye basi dari tahun ke tahun.

Baca juga artikel terkait IMPOR PANGAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra