tirto.id - Idrus Marham resmi ditunjuk sebagai pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar. Keputusan ini diambil dalam Rapat Pleno Nasional DPP Partai Golkar, Selasa (21/11) malam. Idrus akan bertugas hingga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberi putusan atas praperadilan yang diajukan Setya Novanto.
Terpilihnya Idrus bukan tanpa tantangan. Sejumlah hal harus dibenahi Idrus sepeninggal Ketua Umum Setya Novanto yang kini mendekam di sel tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Iding Rosyidin, menilai Idrus setidaknya harus bisa mengakomodasi dua hal. “Menjaga soliditas internal, dan menjalin relasi dengan pemerintah,” kata Iding kepada Tirto, Selasa malam.
Baca juga:
- Lewat Surat, Setya Novanto Meminta Golkar Tidak Memecatnya
- Tak Jadi Diberhentikan, Setya Novanto Masih Ketua Umum Golkar
“Bagaimanapun, faksi Agung Laksono dan Ical [Aburizal Bakrie] belum membaur. Jadi, akan ada tarik-menarik,” kata Iding.
Sementara itu, yang juga harus diperhatikan adalah relasi Partai Golkar dengan pemerintah. Bagaimanapun, menurut Iding, Golkar merupakan partai di jajaran koalisi rezim, sehingga Jokowi tentu mengharapkan Plt. Ketua Umum Partai Golkar bisa diajak bekerja sama.
“Golkar juga dalam sejarah dekat dengan pemerintah,” imbuh Iding, mengingatkan sejarah Partai Golkar yang sejak pendiriannya selalu berada dalam pemerintahan.
Peneliti politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, punya pendapat senada dengan Iding. Selain itu, Arya mengatakan Idrus yang menjadi Plt. Ketua Umum Partai Golkar punya tugas berat untuk mengembalikan elektabilitas partai.
Menurut Arya, tugas ini tak terlepas dari kasus dugaan korupsi e-KTP yang menjerat Novanto dan turut menggerus elektabilitas Golkar. “Sekarang, kan, di kisaran 7 persen hingga 13 persen,” kata Arya.
Arya menilai, tantangan ini bisa diatasi lewat konsolidasi di jajaran elit. Idrus yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal Partai Golkar harus mampu mengkonsolidasikan faksi.
Arya menilai konsolidasi ini menjadi kunci buat Golkar mengerek elektabilitas. Golkar, menurutnya, seperti halnya partai lain, punya agenda besar pada Pilkada 2018 serta Pemilu 2019.
“Yang paling penting adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan terhadap Golkar,” kata Arya.
Dalam rapat pleno, Selasa malam, Idrus ditunjuk menjadi Plt. Ketua Umum Partai Golkar. Jabatan ini akan diemban sampai praperadilan Setya Novanto atas penetapan tersangka di KPK diputus oleh hakim di PN Jaksel.
Menurut Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid, jabatan tersebut diperpanjang jika PN Jaksel menolak praperadilan Novanto. Sebab, pelaksana tugaslah yang akan mempersiapkan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk memilih ketua umum yang baru.
Dalam melaksanakan tugas sebagai plt. ketum, kata Nurdin, Idrus mesti berkoordinasi dengan ketua harian, ketua koordinator bidang DPP, dan bendahara umum. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan suasana batin Novanto, suasana batin kader, dan konstituen Partai Golkar.
"Itulah kesimpulan [kami]," ujar Nurdin, Selasa malam.
Sore kemarin (22/11/2017), redaksi Tirto menerima dua lembar surat yang ditandatangani Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto di tengah berlangsungnya Rapat Pleno Nasional DPP Partai Golkar. Dalam surat yang dibubuhi materai Rp6.000 itu, Novanto menyampaikan dua hal.
Dalam surat pertama, Novanto meminta DPP Partai Golkar tidak membahas pemberhentian dirinya. Ia menunjuk Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum, dan menunjuk Azis Syamsuddin dan Yahya Zaini sebagai pelaksana tugas sekretaris jenderal.
Dalam surat kedua, Novanto meminta pimpinan DPR tidak menggelar rapat pleno dan rapat Mahkamah Kehormatan Dewan yang bertujuan mengganti posisinya. Novanto ingin diberi kesempatan membuktikan dirinya tidak terlibat dalam kasus proyek KTP-elektronik yang tengah ditangani KPK.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Maulida Sri Handayani