tirto.id - Konferensi bersama mengenai sejarah kesehatan di Indonesia telah digelar sejak Rabu (27/06/2018) di Gedung Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat. Acara ini terselenggara berkat kerjasama History of Medicine in Southeast Asia (Homsea), Asian Society of The History of Medicine (ASHM), dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Mengangkat tajuk “Colonial Medicine in Post-Colonial Times: Continuity, Transition, and Change”, konferensi yang dijadwalkan berlangsung hingga Sabtu (30/06/2018) ini menghadirkan lebih dari 50 orang peneliti.
Para peneliti ini menyampaikan materi dengan beragam topik, seperti sejarah sekolah apoteker di Jawa, perkembangan gerakan anti-opium di Hindia Belanda, penanganan orang dengan gangguan mental di Indonesia, dan topik-topik lainnya, terutama yang terkait dengan sejarah kesehatan di Indonesia.
Hans Pol selaku ketua panitia mengakui bahwa jumlah pemateri yang ambil bagian dalam acara ini jauh di luar perkiraannya.
"Saya tidak menyangka jumlah pendaftar sebanyak ini. Saya juga melihat peneliti-peneliti baru yang menyampaikan penelitiannya di konferensi ini," ujar Pol saat ditemui Tirto.id, di sela-sela acara, Jumat (29/6/2018).
Pol menambahkan, ada beragam pendekatan dalam mengkaji sejarah kesehatan. Ada penelitian yang fokus menelaah perkembangan cara-cara pengobatan atau penanganan suatu penyakit. Ada pula yang menelisik kaitan pranata sosial dan politik terhadap aspek kesehatan masyarakat, ataupun sebaliknya, di suatu wilayah.
Tahun 2017 lalu, AIPI menerbitkan buku dengan judul The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942 yang disusun oleh Leo van Bergen dan Liesbeth Hesselink, serta disunting oleh Jan Peter Verhave. Buku ini berisi lebih dari 20 makalah yang tidak hanya menggambarkan sejarah kesehatan di era kolonial, tetapi juga sejarah kesehatan tropis.
Konferensi dengan tema sejarah kesehatan di Indonesia juga pernah diselenggarakan oleh Homsea enam tahun yang lalu. Sebelumnya, pada 2008, Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia juga menggelar konferensi serupa dalam rangka peringatan 1 Abad Kebangkitan Nasional.
Tantangan Kendala Bahasa
Pol mengatakan, ia selama 12 tahun terakhir telah melakukan pengkajian terhadap dokter-dokter di Indonesia. “Pak Rusdi Husein dan Profesor Firman Lubis mengatakan kepada saya bahwa dokter di Indonesia ini spesial. Mereka terlibat dan mempelopori pergerakan nasional Indonesia,” bebernya.
Diakui oleh Pol, melakukan riset tentang sejarah kesehatan di Indonesia memang bukan hal yang mudah. Banyak sekali tantangannya, termasuk kendala bahasa.
"Masalah terbesar peneliti sejarah periode kolonial Indonesia adalah membaca naskah-naskah Belanda. Sedikit yang bisa membaca bahasa Belanda,” tutur Pol.
“Ini berbeda dengan India yang menggunakan bahasa Inggris dan tetap digunakan oleh mereka hingga saat ini," lanjut Associate Professor (Lektor Kepala) University of Sydney ini.
Hal senada juga dikatakan oleh sejarawan sekaligus akademisi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Abdul Wahid, yang juga hadir dalam konferensi itu sebagai salah satu pemateri.
“Kalau mau mengkaji periode kolonial kan mesti baca arsip-arsip yang ditulis dalam bahasa Belanda,” kata Abdul Wahid yang menyampaikan makalah tentang gerakan anti-opium di Hindia Belanda pada konferensi tersebut.
Selain bahasa, Abdul Wahid juga mengatakan bahwa pengayaan metodologi sejarah juga perlu dikembangkan untuk bisa menghasilkan topik-topik penelitian baru di bidang sejarah.
“Di luar negeri sudah jurnal khusus yang membahas sejarah kesehatan. Yang saya tahu juga, di Belanda juga ada studi master bidang sejarah kesehatan. Itu bekerja sama dengan fakultas kedokteran. Itu yang tidak terjadi di Indonesia," tutupnya.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Iswara N Raditya