tirto.id - Kamis (27/7), Stratfor Worldview merilis citra satelit pangkalan militer asing Tiongkok yang diberitakan luas pada awal bulan Juli. Dalam citraan dan analisis Statfor, kapasitas dan luas (bawah tanah) pangkalan ternyata lebih besar dari yang awalnya diberitakan: 23 ribu meter per segi ruang bawah tanah dan dilindungi tiga lapis keamanan.
Pangkalan yang menjadi basis militer luar negeri pertama Tiongkok tersebut dibangun di Djibouti, negeri mungil di Afrika yang bertetangga dengan Ethiopia, Eritrea, dan hanya sepelemparan batu dari Yaman.
Kementerian Pertahanan Tiongkok menjelaskan, pangkalan militer di Djibouti dibangun guna memfasilitasi militer Tiongkok memudahkan operasi anti bajak laut dan bantuan kemanusiaan di kawasan tersebut.
Pada Juni 2016, European Council on Foreign Relations merilis laporan berjudul "Into Africa: China's Global Security Shift". Laporan itu menyebutkan meningkatnya peran Tiongkok dalam misi perdamaian PBB. Tiongkok tidak hanya mengirimkan dokter dan insinyur, tetapi juga pasukan ke wilayah seperti Mali dan Sudan Selatan. Negeri tersebut kini menempati posisi ke-8 kontributor terbesar untuk misi perdamaian PBB, dengan 3.044 personel pasukan.
Tiongkok juga disebut terlibat dalam berbagai macam misi, seperti operasi pemberantasan bajak laut, evakuasi, kemanusiaan, bantuan medis, dan transfer senjata di Saraha Barat, Liberia, Pantai Gading, Mali, Kongo, Sudan, Sudan Selatan, Somalia, Ethiopia, Tanzania, Chad, dan Libya. Beberapa tahun terakhir, investasi Tiongkok untuk pembangunan infrastruktur meningkat drastis di sejumlah negara Afrika.
Baca juga:
- Ketika Cina Mulai Ekspansi Militer di Afrika
- Cina Bantah Bangun Pangkalan Militer di Laut Cina Selatan
Beberapa negara lain memiliki basis militer di Djibouti. Jauh sebelum Tiongkok, di Djibouti telah berdiri Lemonier, pangkalan militer asing permanen terbesar AS dengan 4.000 personel. Jepang dan Perancis juga meluncurkan operasi-operasi militernya dari Bandara Internasional Djibouti-Ambouli.
Djibouti, salah satu negara Afrika yang paling stabil, merupakan wilayah yang strategis untuk membangun basis militer di kawasan yang menjadi lalu-lintas para aktor yang terlibat dalam dinamika politik di Afrika dan Timur Tengah, seperti Militan al-Shabbab dan para perompak samudera. Yaman, yang kini sedang bergejolak, hanya berjarak 20 km dari selat Bab-el-Mandeb, yang berbatasan dengan Djibouti.
Dasar Pembentukan Tangsi Militer Asing
Pangkalan militer asing merupakan warisan imperialisme Inggris. Robert Harkavy dalam Great Power Competition for Overseas Bases (1982) mencatat, pada abad 19, Angkatan Laut Inggris ditempatkan di beberapa koridor samudera: 1) laut tengah dari Suez ke India; 1) Asia Selatan, Timur Jauh, dan Pasifik; 3) Amerika Utara dan Karibia; 4) Afrika Barat dan Atlantik Selatan. Semasa puncak kejayaannya, Inggris menempatkan personelnya di 35 negara/koloni.
Seiring arus Perang Dunia II yang disusul oleh arus dekolonisasi Asia-Afrika, Inggris mengurangi kehadiran militernya di luar negeri. Di sisi lain, Perang Dingin membawa Amerika Serikat ke posisi yang sama dengan Pax Britannica: membangun pangkalan militer di seluruh dunia, yang juga berkurang jumlahnya setelah Perang Dingin usai.
Brooking Institute melaporkan bahwa pada 2015 terdapat kurang dari 600 pangkalan militer asing AS, turun dari sekitar 700 pada era Perang Dingin. Jenisnya bervariasi, dari temporer hingga permanen, serta memfasilitasi misi angkatan udara, laut, atau darat secara terpisah.
BBC melaporkan, sepanjang pemerintahan Bush dan Obama, AS mulai mengurangi pangkalan militernya di Eropa, untuk menghemat anggaran sebesar $500 juta. Sebagian besar personel AS di Eropa (60 ribu pasukan) ditempatkan di Jerman, Italia, dan Inggris. Pengurangan personel dan penutupan tangsi juga dilakukan setelah AS memindahkan fokus pertahanan ke Asia Pasifik.
Seiring pasang-surut sengketa wilayah regional serta perlombaan senjata di kawasan Asia Timur, ekspansi kapital dan ancaman terorisme di Afrika, dan ketidakstabilan politik di Timur Tengah, pangkalan militer asing tetap dipandang relevan, bukan saja bagi AS.
Selain AS dan Inggris, sejumlah negara tetap mempertahankan pangkalan militer asing. Australia memiliki satu pangkalan di Uni Emirat Arab, Jerman dua pangkalan, Yunani satu, Perancis 11 (sebagian besar di wilayah bekas jajahan), India tiga, Italia tiga (termasuk di Djibouti), Jepang satu (Djibouti), Rusia 10 (satu di Suriah, satu Vietnam, sisanya di negara-negara bekas Uni Soviet), Turki enam, Inggris 16 (umumnya di bekas negara jajahan), dan AS sekitar 600.
Baca juga:
- Militer Amerika Mencengkeram Dunia
- Pangkalan AS Kepung Indonesia
- Jepang di Bawah Abe: Makin Kanan, Makin Militeristik
Selain menjaga keamanan negara-negara rekanan (beberapa seperti Jepang bahkan mengongkosi pangkalan AS di Okinawa), keberadaan tangsi militer asing memiliki nilai gertak (deterrence)—dan itu berhasil selama Perang Dingin.
Belakangan nilai gertak ini mulai diperdebatkan. David Vine, penulis buku Base Nation: How U.S. Military Bases Abroad Harm America and the World (2015), menyatakan bahwa pangkalan militer asing merugikan AS. Para pembayar pajak mengongkosi tiap personel militer AS di luar negeri sebesar $10 ribu-40 ribu. Pemeliharaan tangsi militer AS di luar negeri menghabiskan anggaran minimal $85 miliar (2014). Ditambah dengan kehadiran pasukan AS di Afghanistan dan Iraq, angka itu bisa mencapai $156 miliar.
Kerugian lain yang disebutkan Vine adalah ancaman keamanan. Pasukan AS di luar negeri telah menjadi sasaran teror seperti dalam kasus pemboman di Jerman pada 1980an dan serangan terhadap kapal USS Cole di Yaman pada 2000. Di Timur Tengah, pangkalan militer asing menyuburkan sikap anti-Amerika dan menciptakan peluang untuk rekrutmen al-Qaeda.
Sepanjang kampanye Pilpres 2016, Presiden Trump berulangkali mempertanyakan kegunaan pangkalan militer asing AS, serta hubungan dengan NATO dan pakta pertahanan AS-Jepang. Jepang sendiri mulai mengambil inisiatif memperbesar kekuatan militer, di luar kerja sama dengan pertahanan dengan AS dan berkembangnya wacana penutupan pangkalan militer AS di Okinawa.
Dalam lawatan pertamanya ke Eropa pada Mei lalu, sinyal Trump ditangkap oleh Kanselir Jerman Angela Merkel yang merespons Trump dengan pernyataan “Eropa kini menggantungkan nasib pada dirinya sendiri.”
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti