tirto.id - Pihak kepolisian menanggapi pernyataan Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo mengenai kerusuhan 21-22 Mei 2019. Pernyataan itu dilontarkan ketika ia menjadi narasumber eksklusif di tvOne dan diunggah di akun YouTube tvOne, 11 Juni 2019.
Dalam kesempatan itu, poin-poin yang digarisbawahi oleh pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menuding polisi menggiring opini publik untuk memojokkan purnawirawan dan pemerintah belum berhasil mengusut kerusuhan tersebut.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menanggapi pernyataan Gatot bahwa kepolisian sudah berusaha bertindak cepat.
“Saya kira masyarakat yang menilai seperti apa penanganan pemerintah terkait 21-22 Mei. Masyarakat bisa lihat bagaimana kepolisian itu bertindak sangat profesional dan humanis,” ujar dia di Mabes Polri, Rabu (12/6/2019).
Sisi humanis, lanjut dia, yaitu massa beraksi dalam arti damai. Ketika itu mereka meminta waktu lebih untuk berbuka puasa, salat magrib dan tarawih. Permintaan itu pun diikuti oleh kepolisian.
“Kami ikuti, itu adalah sebuah diskresi secara humanis,” sambung Asep.
Sedangkan secara profesional, masyarakat juga harus mengerti bahwa Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Ada enam tahapan tindakan kepolisian yang diatur dalam Pasal 5 peraturan tersebut, yaitu kekuatan yang memiliki dampak deterrent atau pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri; kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
“Jadi, kondisi kemarin [ricuh] itu sudah pada level penanganan tahap keenam. Tahap keenam boleh menggunakan peluru tajam dengan senjata api,” kata Asep.
“Tapi polisi tidak melakukan itu. Padahal pelaku [perusuh] menyerang dengan alat mematikan seperti molotov, batu, konblok. Petasan juga, itu berbahaya. Fatal, bisa mati,” sambung dia.
Asep menyatakan dengan pertimbangan kondisi di lapangan oleh kepolisian, meski seharusnya tahap enam bisa digunakan, pihaknya berharap tidak ada oknum sebagai martir yang dapat mengeruhkan suasana. Maka, cara-cara yang dilakukan Polri saat itu ia nilai humanis dan profesional.
Selain itu, Polri menyebut ada sembilan korban jiwa kerusuhan 21-22 Mei. Sebelumnya korban kericuhan ada delapan orang. Kadiv Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menyampaikan bahwa kematian sembilan orang itu masih dalam penyelidikan polisi.
Untuk menangani kasus ini kepolisian membentuk tim pencari fakta yang diketuai oleh Irwasum Polri. Polisi menduga bahwa sembilan orang korban adalah perusuh.
"Kami harus sampaikan bahwa sembilan korban meninggal dunia kami duga perusuh. Penyerang. Diduga ya," tegas Iqbal di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Ia tidak menjelaskan dasar penilaian tersebut. Dalam perkara ini penyelidikan Polri memang belum sempurna. Beberapa kasus salah tangkap juga sempat terjadi dan diadukan ke Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri