Menuju konten utama
1 September 1992

Tak Perlu Jadi Mourinho, Bermain Championship Manager Sudah Cukup

Anda bisa hidup seharian tanpa internet, tapi belum tentu sanggup tanpa bermain Championship Manager atau Football Manager.

Tak Perlu Jadi Mourinho, Bermain Championship Manager Sudah Cukup
Ilustrasi gim Championship Manager. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Football Manager (FM), yang dulu dikenal sebagai Championship Manager (CM), adalah sebuah gim simulasi manajemen sepakbola yang paling digandrungi di dunia. Sampai sekarang gim besutan Sports Interactive (SI) ini bahkan sudah bikin jutaan orang kecanduan. Ia muncul di buku, fim dokumenter, hingga sering jadi bahan obrolan komunitas daring.

FM jadi lampu sorot karena sangat realistis. Di dalam gim, Anda akan berperan seperti manajer sepakbola betulan yang bertugas meracik taktik, merekrut staf pelatih, melakukan mind games dengan manajer tim lawan, mengatur sesi latihan, memutus kontrak pemain, mendapat pemecatan dari bos, dan lain-lain. Anda tak perlu repot-repot ikut kursus kepelatihan atau menjadi Jose Mourinho untuk mengalami itu semua.

Selain itu, dalam sebuah wawancara dengan PC Gamers pada 2018, Miles Jacobson, Kepala Studio Sports Interactive, pernah menyampaikan bahwa gim ini juga didukung match engine mumpuni, sehingga memungkinkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam gim dapat mengambil keputusan secepat dan seakurat manusia.

“Sementara pada gim-gim lainnya AI baru bisa mengambil keputusan dalam waktu beberapa detik, AI dalam FM dapat mengambil keputusan hanya dalam hitungan seperempat detik,” kata Jacobson.

Dalam buku berjudul Football Manager Stole My Life (2012), Iain Macintosh, Kenny Millar, dan Neil White mengisahkan pengalaman-pengalaman menarik yang pernah dialami para pecandu FM, yang sebagian besar terjadi karena betapa realistisnya gim PC tersebut. Ada pengalaman dari Rory Smith; Michael Cox; hingga Jonathan Wilson, pakar taktik sepakbola asal Inggris. Namun, dua yang paling menarik datang dari Andy Burton, reporter Sky Sport, dan Tony Jameson, komedian asal Newcastle.

Pada 2009 Burton pernah mendapatkan hadian gim Football Manager 2009 dari pacarnya. Ia, yang saat itu mengaku terakhir kali bermain gim saat Mario Kart masih berjaya, langsung kecanduan. Itu bikin pacarnya menyesal dan Burton mulai melakukan hal-hal yang tak masuk akal.

Saat Burton datang ke Fratton Park, markas Portsmouth, untuk melakukan liputan, ia berdiri di dekat lorong pemain dan melihat Tal Ben Haim, pemain Portsmouth. Karena tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang gim, Burton mengira Ben Haim seharusnya sudah berseragam Burnley, tim yang ia latih di Football Manager 2009. Burton pun menegur pemain asal Israel itu:

Heh, ngapain kamu di sini!”

Ben Haim kaget dan mengira Burton adalah orang gila.

Pengalaman unik Jameson agak lain dari Burton. Di dalam gim, Jameson mengarsiteki Blyth Spartans, tim yang saat ini berada divisi enam liga Inggris. Ia melatih klub itu dengan sabar dan sesekali mengulang pertandingan apabila anak asuhnya itu kalah dalam laga-laga penting. Alhasil, karena ia juga sering menganggur daripada melawak, Jameson berhasil membawa klub berlogo helm baja itu promosi ke Premier League dalam waktu singkat.

Apa yang dilakukan Jameson setelah itu? Ia mengambil sampanye dari kulkas, merayakan promosi Blyth, dan lupa bahwa sampanye itu seharusnya digunakan untuk pesta tunangannya dua minggu kemudian.

Bagaimana sebenarnya fenomena FM yang sangat digandrungi itu bermula?

Berawal dari Ketidakpuasan

Pada awal 1980-an gim-gim sepakbola sebenarnya sudah banyak bermunculan. Ada Mexico 86 dan League Division One, tapi gim yang paling terkenal saat itu adalah Football Manager keluaran Addictive Game yang dirilis pada 1982. Gim itu terkenal karena berbeda dengan gim sepakbola pada umumnya: ia berjenis simulasi manajemen sepakbola.

Namun, gim tersebut ternyata gagal bikin Collyer bersaudara, Oliver dan Paul, merasa puas. Memainkan gim itu lewat mesin komputer BBC Micro, mereka merasa bisa bikin gim yang lebih baik dari Football Manager. Alasan mereka, pemain-pemain dalam Football Manager tidak memiliki skill dan kecepatan yang bisa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.

Dua remaja asal Shropshire, Inggris itu pun akhirnya memutuskan untuk bikin gim simulasi manajemen sepakbola sendiri. Pada 1985 mereka mulai menggarapnya lewat sistem komputer BBC Micro. Kemudian dialihkan ke Amstard, lalu ke Atari ST, sampai akhirnya menemukan Amiga 500 yang bisa mengoperasikan GFA Basic, bahasa pemrograman paling mutakhir pada 1980-an. Karena hanya dibikin untuk senang-senang, gim itu akhirnya baru rampung pada 1991.

Setelah itu, Oliver dan Paul memperlihatkan hasil karya itu kepada teman-teman mereka. Teman-teman mereka senang dan Oliver dan Paul lantas nekat mengirimkan cetak biru gim tersebut ke 20 publisher gim yang ada di Inggris. Hasilnya: sebagian publisher menolak. Salah satunya adalah Electronic Arts (EA), yang kelak jadi salah satu publisher gim olahraga ternama di dunia.

“Gim ini tidak memiliki grafis [...] ini tidak akan bekerja, mengapa kalian tidak mengiklankannya saja di bagian belakang sebuah majalah?” kenang Oliver soal penolakan dari EA.

Namun, beberapa saat setelah mendapatkan penolakan dari EA, Paul dan Oliver akhirnya dapat kabar bagus dari Domark dan Thalamus, dua publisher asal Inggris. Mereka tertarik. Setelah melakukan negosiasi, Paul dan Oliver pun akhirnya memilih bersepakat dengan Domark, yang kelak akan ganti nama jadi Eidos.

Oliver dan Paul kemudian memberi nama gim itu Championship Manager. Dan pada 1 September 1992, tepat hari ini 27 tahun lalu, Championship Manager dirilis ke pasar. Ia pun mulai mengubah pandangan banyak orang tentang gim sepakbola.

Sports Interactive, Basis Data, dan Chorne Samba

Alih-alih menuai kesuksesan, CM pada awalnya dibanjiri kritik yang bisa bikin telinga Collyer bersaudara memerah. Selain ditujukan kepada sisi grafis dan bahasa pemrograman yang digunakan, kritik juga menyasar penggunaan nama-nama pemain palsu dalam gim. Padahal, Premier Manager dan The Manager, dua saingan CM saat itu, sudah menggunakan nama pemain-pemain asli.

Paul dan Oliver tak tinggal diam. Selain mulai menggunakan bahasa pemrograman yang lebih mutakhir dan menggunakan nama-nama pemain asli dalam CM 93, mereka juga bikin studio gim Sport Interactive pada 1994.

Berdirinya Sport Interactive itu langsung membuat tim pengembang CM jadi lebih bertenanga. Alhasil, CM 2, yang mulai dirilis pada 1995, menjadi gim yang lebih kompleks dan berhasil dibangun sesuai dengan realitas. Aturan Bosman dalam transfer pemain mulai diterapkan, peraturan pertandingan disesuaikan dengan Rule of the Games paling anyar, jumlah liga ditambahkan, hingga ada suara komentator di dalam pertandingan.

Selain itu, agar tingkat akurasi tak meleset, tim pengembangan CM juga mulai menggalakkan penggunaan basis data. “Saat bikin CM 2, mereka (SI) mulai menghubungi para penulis fanzine tim tertentu untuk mendapatkan informasi tentang tim itu, para pemain, dan pemain yang potensial yang dimiliki oleh tim tersebut,” tulis Ian Dransfield di PC Gamers.

Perkembangan-perkembangan itu kemudian membuat CM semakin populer di mata banyak orang, termasuk di kalangan pesepakbola betulan. Pada 2000, saat Inggris akan bertanding melawan Italia, gelandang AC Milan Demetrio Albertini bahkan pernah menggunakan CM untuk memberikan informasi kepada Giovanni Trapattoni, pelatih Italia, yang saat itu buta akan skuat Inggris.

Selain itu, Andre Villas-Boas, saat masih menjadi pemandu bakat Chelsea, juga pernah mengakui bahwa ia menggunakan CM untuk mengincar pemain-pemain muda potensial dari segala penjuru dunia.

Tapi dari semua kisah itu, yang paling fenomenal adalah cerita tentang Cherno Samba, mantan pemain junior Millwall.

Menurut Michael Hann dari Financial Times, pada 2001, basis data dan algoritma CM pernah memprediksi bahwa Samba akan jadi pemain kelas dunia. CM juga memberi garansi bahwa Samba setidaknya bisa mencetak 25 gol pada setiap satu musim kompetisi. Para pecandu CM berhasil membuktikannya dan para pemandu bakat klub-klub Premier League pun mengorek informasi lebih dalam tentang Samba. Hasilnya: saat berusia 13, Samba ternyata pernah mencetak 132 gol dalam 32 pertandingan.

Lewat bukti itu, Liverpool kemudian mencoba mendatangkan Samba. Ia mengetuk pintu Millwall, menyuruh Michael Owen untuk membujuk Samba, dan menawarkan uang transfer sebesar 2 juta paun kepada Millwall. Namun Millwall, yang juga membaca masa depan Samba dari CM, secara ajaib menolak tawaran menggiurkan untuk pemain berusia 15 tersebut.

Samba, yang sempat pamer ke teman-teman sekolahnya saat mendapatkan telepon dari Owen, pun mengalami depresi. Pada akhirnya ia gagal memenuhi potensi terbaiknya dan menyatakan pensiun dari sepakbola saat masih berusia 29.

“Itu (kegagalan pindah ke Liverpool) benar-benar menghancurkanku [...] Aku sempat berhenti bermain bola selama 6 bulan. Aku selalu mimpi buruk, menangis pada malam hari, dan tak pernah tidur nyenyak,” kata Samba.

Meski demikian, Samba punya hiburan. Di kalangan para penggemar CM, Samba tetap dianggap sebagai idola. “Suatu saat aku akan berusia 92 tahun, berjalan menggunakan tongkat, dan orang-orang akan tetap datang kepadaku sambil mengatakan, ‘Championship Manager!’”

Infografik Mozaik Championship Manager

Infografik Mozaik Championship Manager. tirto.id/Nadya

Semakin Menanjak di Era Football Manager

Popularitas CM akhirnya berhasil mencapai puncak saat CM 4 dirilis pada 2003. Gim tersebut jadi gim dengan tingkat penjualan tercepat di Inggris dan mendapatkan status Platinum setelah terjual sebanyak 300 ribu kopi. Namun kesuksesan itu juga diikuti dengan kabar buruk: hubungan antara Sports Interactive dan Eidos semakin renggang.

Menurut Miles Jacobson, hubungan buruk itu berawal dari persaingan Sports Interactive dan Eidos untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar. Sports Interactive ingin Eidos tak ikut campur dalam pengembangan gim, sedangkan Eidos ingin melindungi aset yang berharga. Perebutan kontrol ini terjadi akibat Eidos memaksa CM 4 dirilis tetap sesuai jadwal meskipun belum siap.

Lantaran tak juga mendapatkan titik temu, hubungan antara Eidos dan Sports Interactive tidak bisa diselamatkan. Beberapa saat setelah CM 03/04 dirilis ke pasaran, Eidos dan Sports Interactive resmi berpisah. Gana-gini disepakati: Eidos mendapatkan hak nama “Championship Manager” dan interface, sedangkan Sports Interactive mendapatkan hak penggunaan match engine dan basis data.

Bersama SEGA, salah satu publisher ternama asal Jepang, Sports Interactive lantas mengembangkan CM dan mengganti namanya menjadi Football Manager—seperti nama gim simulasi manajemen sepakbola pertama yang dikenal Collyer bersaudara. Oliver Collyer sempat khawatir lantaran Eidos akan jadi saingannya dengan menjual nama CM.

“Ini adalah persaingan untuk menunjukkan mana yang paling penting: apakah konten sebuah gim atau nama sebuah gim? Ada rasa was-was apabila mereka (Eidos) akan menciptakan gim semenjana yang disebut dengan Championship Manager, tetapi orang-orang tetap membelinya,” kata Oliver.

“Di sisi lain, kami barangkali akan tetap bikin gim yang berkualitas. Hanya, karena gim itu akan menggunakan nama baru, orang-orang barangkali tidak akan membelinya karena tidak ada yang pernah mendengarnya.”

Namun kekhawatiran Oliver ternyata menguap ke angkasa. Kualitas tak bisa bohong: saat CM semakin amburadul, FM tak pernah lagi menengok ke belakang. Alhasil, sementara angka penjualan CM semakin mengalami penurunan, FM sudah terjual sebanyak 15 juta kopi sejak mulai beredar pada 2004.

Selain memiliki jutaan penggemar, Football Manager juga semakin menancapkan pengaruhnya terhadap perkembangan sepakbola di dunia nyata.

FM memiliki 1.300 pemandu bakat yang bisa menilai 350 ribu pemain yang tersebar di 42 ribu klub berbeda. Karena FM dapat menilai setiap pemain itu berdasarkan 250 atribut yang berbeda, penilaian mereka terhadap para pemain juga sangat komprehensif. Saat klub-klub di dunia nyata ingin mencari pemain pemain cepat berkaki kiri, bek berpaspor UE yang tangguh duel di udara, hingga seorang penyerang yang mampu berperan sebagai defensive forward, mereka sering menjadikan FM sebagai rujukan.

Baca juga artikel terkait GIM atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Hobi
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan