tirto.id - Direktur Utama PGN Gigih Prakoso meminta pemerintah memberikan insentif untuk mendukung kebijakan penurunan harga gas industri menjadi 6 dolar AS per MMBTU. Sebab, kebijakan yang ketentuannya tertera dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 8 tahun 2020 tersebut membuat kinerja keuangan perusahaan terganggu.
Menurut Gigih, harga gas PGN ke industri rata-rata sebesar 8,4 dolar per MMBTU. Dengan demikian, ada selisih atau potensi kehilangan pendapatan PGN sebesar 2,4 dolar per MMBTU.
Apalagi, untuk merealisasikan penurunan harga gas menjadi USD6 per MMBTU, pemerintah menurunkan harga gas di hulu menjadi 4 hingga 4,5 dolar per MMBTU dengan biaya distribusi menjadi 1,5 sampai dengan 2 dolar per MMBTU.
Sementara selama ini, PGN harus membeli gas di hulu dengan harga rata-rata sekitar 5,4 dolar per MMBTU karena biaya penyaluran gas PGN masih di kisaran 2,6-3,2 dolar AS per MMBTU.
"Jadi masih ada selisih antara penurunan harga gas di hulu dengan harga jual gas PGN ke industri. Kami akan laporkan kepada Menteri BUMN untuk bisa mendapatkan insentif," ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) komisi VII DPR, Selasa (21/4/2020).
Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban mengatakan, ketiadaan insentif menyulitkan perusahaannya untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya, yakni utang dalam bentuk bond sebesar 1,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp29,8 triliun (kurs: Rp15.403,81/dolar AS).
Sebab, penurunan harga gas industri lewat Permen ESDM Nomor 08/2020 bisa membuat pendapatan perusahaan turun sebesar 21 persen.
"Saat ini kita punya kewajiban membayar bond sebesar USD1,9 miliar dolar AS, apabila tidak ada insentif kemampuan PGN memenuhi kewajiban jangka panjang kemungkinan akan terganggu," sambungnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz