tirto.id - “Inilah saatnya kita merebut kekuasaan. Kita harus lebih cepat. Kita harus mendahului, jangan didahului!”
Dialog Syu’bah Asa yang berperan sebagai D. N. Aidit di menit-menit awal film Pengkhianatan G30S/PKI itu diucapkan penuh penekanan. Pencahayaan dibuat remang untuk memberi kesan misterius pada sosok tersebut.
Banyak orang memuji akting Syu’bah dalam film propaganda itu. Karakter Aidit tampak sangat kuat sebagai mastermind licik, dingin,dan dominan. Citra itu makin kuat lagi berkat berbagai petikan dialog khas, seperti “Hari-H Jam-J,” “Jawa adalah kunci,” hingga “hari-hari besok adalah hari-hari tindakan.”
Kuatnya sosok Aidit dalam film itu terbukti saat seorang teman melemparkan candaan agak garing melalui WhatsApp beberapa hari lalu. “Mengapa pemerintah memfokuskan PPKM Darurat cuma Jawa dan Bali? Memang Covid-19 cuma di Jawa dan Bali?” Pertanyaan itu lantas dijawabnya sendiri, “Karena Jawa adalah kunci!”
Mantan wartawan majalah TEMPO yang lahir di Pekalongan 21 Desember 1941 itu mengaku pernah bercita-cita menjadi kiai. Tapi jalan hidupmenuntunnya ke dunia kesenian, yakni sastra dan seni panggung. Dia aktif di Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro sejak usia 9.
Kecintaannya pada seni peran semakin mendalam ketika dia berkuliah Jurusan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Perkuliahannya bahkan tertinggal sama sekali. Dia tidak menyelesaikan skripsi dan memilih berhenti pada jenjang sarjana muda pada 1964.
Dalam masa ini pula Syu’bah mantap membangun reputasi sebagai sastrawan. Syu’bah tercatat pernah menulis sejumlah cerita pendek, salah satunya berjudul “Benih yang Telah Ditabur” dimuat dalam Gema Islam pada 1962. Ada pula cerpen “Datangnya Jawaban” yang dimuat majalah Sastra pada 1963 dan “Pelabuhan” di majalah Pandji Masjarakat pada 1966.
Lain itu, Syu’bah juga menulis belasan puisi yang dimuat di majalahHorison serta sejumlah esai dan sebuah novel bertajuk Cerita di Pagi Cerah yang terbit pada 1960.
Selepas kuliah, antara 1964 sampai 1967, Syu’bah mengajar teater di Fakultas Sastra dan Seni IKIP Yogyakarta sambil memimpin grup drama di Jurusan Sejarah. Di luar lingkungan IKIP Yogyakarta, aktivitas Syu’bah muda juga tidak jauh-jauh dari kesenian. Menurut lamanEnsiklopedia Sastra Indonesia, Syu’bah juga memimpin paduan suara Yogya Timur Laut dan menjadi sutradara amatir.
Sekira 1965, Syu’bah pernah pula mencoba peruntungan dengan berdagang batik. Selama setahun, diamengelilingi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Karena hasilnya tidak jauh berbeda, Syu’bah kembali ke drama dan bergabung dengan Bengkel Teater Rendra yang kala itu bermarkas di Ketanggungan Wetan, Yogyakarta. Buku Cerita di Balik Dapur TEMPO 15 Tahun, 1971-1986 (2011, hlm. 56) menyebut, “Ia ikut grup drama yang dipimpin Rendra sejak 1963 sebelum Rendra mendirikan Bengkel Teater.”
Di kelompok teater baru ini ia digembleng Rendra bersama Chairul Umam, Putu Wijaya, dan Etty Soenarti—yang belakangan menjadi pendamping hidupnya.
Kiai TEMPO
Pada awal 1970, Syu’bah memutuskan pindah ke Jakarta dan menambatkan diri di majalah EKSPRES. Kala itu majalah berita seperti EKSPRES masih terhitung barang baru bagi masyarakat Indonesia. Karenanya, orang jadi penasaran danEKSPRES mulai meraih pangsa pembaca.
Baru setahun beredar, bidukEKSPRESpecah gara-gara terseret dalam perpecahan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam Kongres PWI di Palembang, redaksi EKSPRES menyatakan dukungan kepada Rosihan Anwar untuk menjadi ketua. Dukungan EKSPRES itu jadi masalah karena Nurman Diah, penyandang dana EKSPRES, adalah putra publisis senior B. M. Diah. Nurman tentu saja memihak ayahnya yang juga berambisi menduduki kursi ketua.
Rosihan berhasil meraih suara terbanyak. Dengan hasil itu, Rosihan semestinya berhak memimpin PWI. Namun langkahnya digagalkan oleh intervensi pemerintah. B.M. Diah pun didudukkan menjadi Ketua Umum PWI.
Friksi ini kemudian menjalar ke ruang redaksi EKSPRES.Wartawan-wartawan yang berpegang pada Kongres PWI yang memenangkan Rosihan akhirnya memilih hengkang. Mereka antara lain adalah Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Salim Said, dan tentu saja Syu’bah.
Mereka kemudian mendapat dukungan dana Yayasan Jaya Raya untuk mendirikan media baru. Itulah awal dari lahirnya majalah TEMPO. Nama Syu’bah tercatat sebagai staf redaksi sejak edisi perdana TEMPO terbit pada 6 Maret 1971.
Pengalaman Syu’bah selama bekerja diTEMPO relatif beragam. Dia menggawangi cukup banyak rubrik, mulai dari Selingan, Indonesiana, Kontak Pembaca, hingga Agama. Khusus rubrik yang disebut terakhir, Syu’bah sudah jadi redakturnya sejak merintis karir di EKSPRES sampai berlanjut ke TEMPO.
Syu’bah menjadi redaktur rubrik Agama setidaknya selama 16 tahun. Tentu, penunjukannya sebagai pengasuh rubrik Agama turut dilatari pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Karenanya, awak redaksi pun menjulukinya sebagai “kiai”.
“Yang paling ditekuninya dan memang sudah dikuasai sampai ke hulu-hulunya adalah rubrik Agama. Sebab itu, ia masih bercokol di rubrik itu,” tulis redaksi TEMPO (2011, hlm. 57).
Syu’bah dikenal sebagai editor yang lihai. Martin Aleida—sastrawan yang pernah menjadi wartawan TEMPO pada kurun 1971-1984—dalam pesan singkatnya kepada penulis beberapa waktu lalu menyebut, “Dia penyunting naskah yang hebat. Esai Onghokham hanya bisa dibaca karena dia.”
Selain cakap menyunting naskah, menurut Martin, Syu’bah jugaseorang editor yang apresiatif terhadap penulis.
“Secercah kalimat untuk alinea pembuka dan penutup, menjadikan laporan berbobot. Bagi saya, editing semacam itu mempertajam daya pikir dan kepekaan. Kalimat-kalimat saya yang tidak diobrak-abrik, terasa pula sebagai sikap yang menghargai diri saya, yang tercermin dalam kata dan bentuk kalimat yang saya pilih,” tulis Martin dalam memoar Romantisme Tahun Kekerasan (2020, hlm. 189).
Salah satu tokoh besar yang naskahnya pernah disunting Syu’bah adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam kata pengantarnya untuk kumpulan kolom Gus Dur di TEMPO yang diterbitkan di bawah judul Melawan Melalui Lelucon (2000), Syu’bah menceritakan selintas pengalamannya menangani naskah Gus Dur.
Menurutnya, Gus Dur adalah penulis kolom yang kelewat produktif. “Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain,” kisah Syu’bah. Sampai-sampai, Goenawan Mohamad menyarankan agar redaksi menyediakan satu meja khusus plus mesin ketik untuk Gus Dur.
Tak hanya produktif, Gus Dur pun mampu menulis untuk serbaneka topik. Lain itu, Gus Dur juga relatif fleksibel dan sangat memercayai editor.
“Sudah itu ia tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja,” tulis Syu’bah.
Kalaupun ada, terang Syu’bah, kelemahan Gus Dur semata-mata disebabkan oleh waktu pengerjaan yang cepat. Gus Dur tidak membaca ulang naskahnya sehingga boros kata dan mengaburkan tekstur tulisan.
“Betapa pun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya, sampai ke tingkat ‘dikerjain’. Sekadar menjaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata,” imbuh Syu’bah.
Menjadi Aidit
Kesibukan Syu’bah di dunia jurnalistik tidak serta-merta menjadi alasan baginya meninggalkan kesenian. “Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, 1973-1977, dan mengajar Kritik Seni di Akademi Teater Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini IKJ—red), 1974-1978,” catat redaksi TEMPO.
Saat jadi dosen, Syu’bah sekali waktu dapat sponsor dari Fullbright Hays Program untuk mempelajari perkembangan pendidikan teater di Amerika Serikat selama enam bulan. Syu’bah memang tetap menjaga dirinya sebagai seniman tulen di tengah tuntutan kerja wartawan yang mendesak.
“Dia tak peduli dengan deadline cuma kerja malam hari. Kalau diingatkan, ‘Mas, tulisan saya tunggu di tatamuka’, enak saja dia jawab, ‘Emang gue pikirin?’,” kenang Martin.
Martin menduga, tulisan Syu’bah jadi enak dibaca dan jernih karena sikapnya yang tidak mengindahkan deadline itu. Pasalnya, dia jadi punya waktu lebih panjang untuk menulis—sekalipun yang dihadapi adalah topik Agama yang jarang bisa dikerjakan orang lain. Meski gara-gara sikap seenaknya itu pula, dia jadi kerap berseteru dengan Bur Rasuanto, Wakil Pemimpin Redaksi, yang sangat peduli dengan deadline.
Karakter Syu’bah yang luwes dan santai itu terang bertentangan dengan penokohan Aidit yang dia perankan. Selain perbedaan watak yang jauh, Syu’bah adalah perokok berat, sedangkan Aidit bukan. “Sayangnya, dia maupun Arifin tak tahu Aidit bukan perokok,” tutur Martin.
Lantas, mengapa Arifin C. Noer selaku sutradara Pengkhianatan G30S/PKI memasrahkan peran Aidit kepada Syu’bah? Menurut Martin, “Tak ada lagi kenalan Arifin yang lebih memper dengan wajah Ketua [Aidit] selain Syu’bah. Dan Arifin tahu Syu’bah itu pemain teater, anggota Bengkel Teater Rendra. Jadi [pemilihan itu] karena perkawanan Arifin dan Syu’bah dan bakat Syu’bah sebagai orang teater.”
Memimpin Eksodus
Sebagaimana EKSPRES, ruang redaksi TEMPO pun tak sepi dari konflik gara-gara perbedaan pandangan awaknya. Konflik antara Syu’bah yang sukangaret dan Bur Rasuanto yang ketat dengan deadline, misalnya, jadi salah satu sebab ketegangan di dapur redaksi.
Martin Aleida dalam memoar kecil “Ratusan Mata di Mana-mana” menyebutTEMPO tumbuh besar berkat kerja keras wartawannya, tapi wartawan pula yang paling nelangsa dan kurang diperhatikan kebutuhannya. “Ketika para wartawan akan diberikan jatah mobil, pendapat kami tidak didengar. Kecuali satu-dua wartawan yang jadi ‘anak emas Goenawan’,” keluh Martin dalam cerita pendek semi-memoar yang dimuat di kumpulan Mati Baik-Baik, Kawan (2009, hlm. 125).
Alhasil, sekalangan wartawan muda dan masih bujangan memilih Toyota Hardtop sebagai jatah mobilnya. “Gila! Siapa yang membayar bensinnya?! Jatah bensin dikalkulasi berdasarkan jarak antara kantor dengan rumah pemimpin redaksi di Cipinang. Sementara Syu’bah, Ed, dan saya tinggal di Depok. Syu’bah terkaing-kaing, setengah gajinya habis untuk membeli bahan bakar,” tulis Martin.
Selain itu, Syu’bah juga pernah kecewa berat ketika suatu kali pulang kampung ke Pekalongan dengan menyetir mobil. Nahas, terjadi senggolan di perjalanan dan mobilnya ringsek. Perusahaan, seperti kata Martin, tidak acuh dan menolak klaim biaya perbaikan. “Dia tuduh manajemen TEMPO yang tak mau mengurusnya ‘jahanam’,” ungkap Martin.
Syu’bah pada akhirnya jengah pada rangkaian ketegangan, perselisihan internal, serta sikap perusahaan yang acuh-tak-acuh pada hajat hidup karyawannya ini. Dia enggan berdamai lagi dan mengajak 30-an anggota redaksi yang sama-sama muntab melakukan eksodus. Syu’bah secara terbuka menyatakan keluar untuk membunuh TEMPO.
“Ya, membunuh tuannya sendiri selama ini,” tutup Martin.
Selepas dari TEMPO, pada 1987, Syu’bah terlibat dalam pendirian majalah baru bernama EDITOR.
Setelah mundur dari dunia jurnalistik, Syu’bah tetap bertekun dalam tulis-menulis. Dia menerbitkan buku agama, seperti Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, serta memberi kata pengantar untuk berbagai buku. Syu’bah Asa tetap produktif menulis sampai ajal menghampirinya pada 24 Juli 2011.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi