tirto.id - Saat menginjak usia 19 tahun, Syekh Abdul Muhyi meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel, ulama sufi cum tokoh penyebar awal Tarekat Syattariyah.
Permintaan itu dikabulkan. Delapan tahun ia habiskan untuk menimba ilmu. Selama itu pula, ia dikenal sebagai murid yang tekun, disiplin, dan memiliki karakter yang teguh.
Memasuki tahun terakhirnya di Aceh, saat menginjak usia 27 tahun, ia bersama murid-murid lainnya diajak sang guru ke Baghdad, Irak, untuk ziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jaelani, yang dilanjutkan dengan mendalami ajaran-ajaran tasawuf selama dua tahun.
Mengutip Wildan Yahya dalam Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi: Menapaki Jejak Parah Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII (2007), selama itu ia berhasil memperoleh ijazah ilmu agama Islam dari seorang mursyid di Baghdad.
Perjalanan berikutnya, ia bersama murid-murid lainnya dibawa gurunya menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada masa-masa inilah sang guru melihat tanda-tanda kewalian dalam diri Syekh Abdul Muhyi.
Setelah masa haji selesai, mereka kembali ke Aceh dan ia diperintahkan gurunya untuk menyebarkan agama Islam ke satu wilayah Jawa Barat bagian selatan, yang diberi tanda dengan keberadaan sebuah gua.
Pamijahan sebagai Metafora
Syekh Abdul Muhyi lahir dari pasangan Sembah Lebe Wartakusumah dan Ny. R. Ajeng Tangenjiah. Ayahnya memiliki garis keturunan dari kerajaan Galuh, Ciamis.
Mengenai masa hidupnya, terdapat dua informasi yang berbeda. Pertama, antara tahun 1650-1730. Kedua, antara tahun 1640-1715.
Selain itu, beberapa sumber mencatat ia lahir di Mataram, Kartasura, Jawa Tengah. Sedangkan sumber lainnya mencatatkan kelahirannya di "Mataram, Lombok, [Nusa Tenggara Barat]," tulis Miftah Arifin dalam Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual & Pemikiran Tasawuf (2009).
Terlepas dari perbedaan informasi tersebut, Syekh Abdul Muhyi menghabiskan masa kecil dan remajanya di Gresik, Jawa Timur. Selama itu, ia mendapat pendidikan agama Islam dari kedua orang tuanya dan ulama-ulama yang berasal dari Ampel Denta, Surabaya.
Sekembalinya dari Aceh, ia sempat ke Gresik dan menikah dengan Ayu Bakta. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai empat orang putra bernama Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, dan Paqih Ibrahim.
Menurut Khaerussalam dalam Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah Pamijahan (1997), beberapa hari setelah pernikahannya, ia membawa istrinya dari Gresik menuju Jawa Barat dalam rangka memenuhi titah dari gurunya.
Daerah pertama yang didatangi adalah Darma Kuningan. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat setempat, yang meminta kepadanya untuk mendidik mereka. Ia mengabulkan permintaan itu dan menetap selama tujuh tahun (1678-1685).
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menuju daerah Pameungpeuk, Garut, dan menetap selama kurang lebih satu tahun (1685-1686). Selama di Pameungpeuk, Syekh Abdul Muhyi menyebarkan ajarannya dengan penuh kehati-hatian. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik dengan masyarakat Pameungpeuk yang belum memeluk agama Islam.
Wilayah berikutnya yang ia didatangi adalah Batuwangi, Garut. Selain berhasil mengajak masyarakat untuk menerima Islam, ia mendapat penentangan dari masyarakat sekitar yang menolak ajaran yang dibawanya.
Setahun berikutnya, ia melanjutkan perjalanannya ke Lebaksiuh, Tasikmalaya, dan menetap selama kurang lebih empat tahun. Di wilayah ini, bersama para pengikutnya berhasil mendirikan sebuah masjid.
Ia tekun menyiapkan kader-kader untuk melanjutkan perjuangan dakwahnya. Di samping itu, ia sering menenangkan diri di lembah Gunung Kampung Cilumbu, sekitar 6 kilometer dari Lebaksiuh, yang kemudian ia namakan sebagai Gunung Mujarod.
Dari kebiasaannya itu, ia akhirnya menemukan gua yang diisyaratkan oleh gurunya. Gua tersebut kemudian diberikan nama Safarwadi, berasal dari bahasa Arab yang berarti "jalan yang berada di antara lembah".
Mengutip kembali M. Wildan Yahya (2007), penemuan gua terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 1111 H/1690 M. Saat itu, diperkirakan usia Syekh Abdul Muhyi genap 40 tahun.
Sepeninggalnya, Gua Safarwadi kerap kali dikunjungi oleh pendatang dari berbagai pelosok Pulau Jawa secara berduyun-duyun laksana ikan akan bertelur (mijah dalam bahasa Sunda). Sehingga gua ini kemudian dikenal dengan nama Pamijahan (tempat ikan bertelur), yang kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setelah gua ditemukan, Syekh Abdul Muhyi beserta keluarganya bermukim di dalamnya. Selain itu, gua tersebut dijadikannya sebagai tempat untuk mendidik para santri. Meski demikian, upaya menyebarkan agama Islam ke wilayah lain tetap dilakukan.
Kampung Bojong--kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok--menjadi wilayah pertama yang dikunjungi dalam menyebarkan agama Islam dan Tarekat Syattariyah setelah penemuan gua.
Sekitar kurang lebih 2 kilometer di sebelah barat dari Kampung Bojong, ia melanjutkan penyebaran ajarannya dan berhasil mendirikan sebuah masjid. Ia kemudian menggunakan kembali nama Safarwadi untuk wilayah tersebut.
Di samping itu, Syekh Abdul Muhyi juga menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sukapura (Tasikmalaya), Wiradadaha III. Dari hubungan tersebut, maka ruang geraknya menjadi leluasa dalam menyebarkan Islam. Bahkan, anjuran-anjurannya menjadi fatwa yang sangat dipatuhi.
Selain itu, ulama-ulama besar semasanya, seperti Syekh Maulana Mansyur dari Banten dan Syekh Ja’far Shadiq dari Garut, kerap kali berkunjung ke Pamijahan sekadar untuk berdialog mengenai masalah-masalah agama.
Tahun berganti, kemasyhurannya kian melebar ke wilayah-wilayah di Pulau Jawa lainnya, seperti Cirebon, Demak, Ciamis, Bandung, Banten, hingga Mataram-Surakarta.
Bahkan sekali waktu, ia pernah menerima seorang utusan Kesultanan Mataram yang membawa surat permintaan kepadanya untuk bersedia mendidik anak-anak dari Sultan Pakubuwana II, dengan imbalan menjadikan Pamijahan sebagai tanah perdikan. Namun, permintaan itu tidak pernah dipenuhinya hingga ia meninggal pada tahun 1151 H/1730 M.
Budaya Lisan
Dalam perkembangan tasawuf di Indonesia, Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai penyebar Tarekat Syattariyah di wilayah Jawa Barat, khususnya di Pamijahan, Tasikmalaya, melalui pengajaran Martabat Alam Tujuh.
M. Wildan Yahya (2007) mencatat, ajaran tersebut merupakan suatu konsepsi yang berhubungan dengan tajalli dalam penciptaan alam semesta dan manusia.
Selanjutnya, ia tercatat mengembangkan metode zikir al-jarh (mengeraskan zikir) dan al-sirr (memelankan zikir), yang masing-masing berasal dari Tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah.
Meski demikian, sangat sulit menemukan ajaran-ajarannya dalam sumber tertulis yang ditulis langsung oleh Syekh Abdul Muhyi. Sekalipun terdapat naskah tentang "Martabat Alam Tujuh", namun itu ditulis oleh penulis lain yang disandarkan kepada dirinya.
Seturut Tommy Christomy dalam "Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan" (Studia Islamika, Vol. 8, No, 2, 2001), bahkan naskah tertua di Pamijahan terkait dirinya hanya menyebutkan silsilahnya saja.
Besar kemungkinan, sulitnya menemukan sumber-sumber tertulis yang ditulis langsung olehnya, tidak terlepas dari kondisi masyarakat Pamijahan kala itu yang yang masih sangat terpencil. Sehingga, penyebaran ajarannya dilakukan secara lisan dan dalam bentuk perilaku praktis.
Selain itu, sikap penentangan Syekh Abdul Muhyi terhadap penjajahan Belanda, yang mengharuskannya berpindah-pindah tempat di sekitar Pamijahan, sangat menyulitkan dirinya untuk menuliskan ajaran-ajarannya.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi