tirto.id - Mendengar kabar kematian tetangganya, Ibnu Hazm Al-Andalusy segera menuju masjid. Pakaian laiknya orang akan beribadah segera ia kenakan dan tidak lupa pula mengusapkan sedikit parfum dan wewangian di kedua telapak tangannya. Sesampainya di masjid, kala itu bakda asar, Ibnu Hazm langsung duduk bersimpuh sembari menunggu jenazah datang.
Ia kaget bukan kepalang ketika ada seorang dari arah belakang menegurnya. "Jangan duduk. Berdirilah. Waktunya salah tahiyat masjid."
Ibnu Hazm langsung berdiri dan salat dua rakaat. Jenazah datang dan ritual salat jenazah dimulai. Rampung salat jenazah, Ibnu Hazm berdiri kembali dan melaksanakan dua rakaat salat. Mendapati hal itu, seseorang menegurnya kembali, "Duduklah. Sekarang adalah waktu yang diharamkan untuk salat."
Ibnu Hazm malu bukan kepalang. Hari itu ia merasa menjadi manusia paling bodoh di muka bumi. Pengetahuan agamanya nol besar. Sementara usianya lebih dari seperempat abad. Namun, kejadian memalukan itu tampaknya menjadi cambuk pelecut Ibnu Hazm. Lelaki yang kelak menjadi salah satu penyokong mazhab Ad-Dzahiri ini memulai pengembaraan ilmu di usianya yang tergolong telat.
Jika ulama-ulama besar lain belajar agama sejak kecil, bahkan sejak masih kanak-kanak sudah banyak yang hafal kitab suci, maka tidak demikian yang terjadi pada Ibnu Hazm. Ia telat masuk "sekolah".
Telat belajar bukan berarti otomatis gagal. Ibnu Hazm adalah hujah bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk berpeluh dalam belajar. Menurut adz-Dzahabi dalam kitab Siyarul Alam Nubula, terbukti kelak Ibnu Hazm menjadi salah satu ulama prolifik yang menguasai banyak disiplin ilmu.
Apa yang dialami Ibnu Hazm An-Andalusy sebelas-dua belas dengan jalan yang ditempuh Zakaria Al-Anshari. Ulama moncer dari Mazhab Syafi'i ini juga memulai belajar pada usia 26 tahun. Meski telat, ketekunan berhasil menghantarkannya pada altar ilmu sekaligus menjadi ulama papan atas bergelar Syaikhul Islam. Kesungguhan dan ketekunan menjadi dua kata kunci yang mengantarkan mereka menjadi ulama-ulama yang kompeten dan mumpuni di pelbagai disiplin keilmuan.
Kategori telat belajar yang menimpa Ibnu Hazm dan Zakaria Al-Anshari tergolong masih sedang. Jika mengikuti pola pembagian klasifikasi usia manusia yang dibuat dalam Zaadul Maad, maka keduanya masih termasuk dalam usia muda atau usia produktif.
Beda kasus dengan yang terjadi pada Ali bin Hamzah Al-Kisai. Ulama yang terkesan sebagai linguis sekaligus pakar susastra dari Mazhab Kufah ini baru belajar ketika usianya masuk kepala empat. Jika Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada usia empat puluh, maka Al-Kisai baru memulai belajar perkara perkara dasar agama di usia itu. Mirip-mirip dengan yang dilakoni oleh Al-Kisai, Sulaim bin Ayyub Ar Razi juga memulai belajar di usia empat puluh.
Mulai Belajar di Usia 70
Semukabalah dengan jalan yang ditempuh oleh Al-Kisa’i adalah ulama fikih brilian dari Mazhab Syafi’i bernama Al-Qaffal Al-Marwazi. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang duplikat kunci ini sampai usia empat puluh tahun hidup dalam kegelapan. Ia tidak mengerti agama sama sekali. Ia hanya sekadar menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan. Kerja lembur sering ia lakoni dan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belajar di usia yang tergolong sudah matang membuatnya kesulitan. Daya ingat yang sudah mulai menurun diceritakan sempat menjadi penghalang utama yang merontokkan semangat Al-Qaffal.
Namun kegigihan dan ketekunannya serta motivasi dari guru-gurunya berhasil memompa ban kempis semangatnya. Ia menjadi pribadi yang haus ilmu. Ia belajar dari pagi sampai larut. Ketekunannya itulah yang mengantarkannya menjadi pribadi yang cemerlang dan disegani di bidang ilmu fikih kalangan Mazhab Syafi’i. Ia meninggal di usia delapan puluh tahun.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa Al-Qaffal adalah contoh terbaik bagaimana Tuhan memberikan skenario pencerahan kepada hambanya. Separuh hidupnya ada di dalam kegelapan dan kejahilan, sementara separuh yang lain berhasil dijalaninya dalam gemerlap cahaya yang cemerlang.
Namun, urusan senioritas ketelatan dan mencari ilmu belum ada yang menandingi Sholeh bin Kaisan. Seperti dikisahkan dalam kitab Tadzhibud Tadzhib, lelaki alim ini baru memulai belajar dan mencari ilmu di usia yang jauh meninggalkan batas usia pensiun pegawai. Ia belajar agama pada saat usianya tepat masuk kepala tujuh. Meskipun sangat telat, banyak riwayat menyatakan ketangguhan ingatan Sholeh bin Kaisan dalam menghafal hadis sehingga kerap mengalahkan pewari-perawi lain yang usianya lebih mudah.
Ulama-ulama yang memiliki ketekunan luar biasa hidup tidak berdasarkan angka hitungan usia. Umur diperlakukan sebagai deretan angka semata. Semangat, integritas, dan kesungguhan dalam belajar adalah kunci utama mengapa mereka bisa move on dari kehidupan yang penuh kejahilan ke arah cahaya ilmu pengetahuan. Inilah jalan pencerahan yang dalam bahasa Quraish Shihab disebut dengan At-Tariq Al-Ishraqy atau pencerahan batin.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan