tirto.id - Dengan langkah tergopoh seorang laki-laki berjalan menuju rumah Umar bin Khattab. Ia sudah tidak betah dengan biduk rumah tangganya. Mulut istrinya teramat tajam dan menakutkan. Sekali ia melakukan kesalahan, tamatlah riwayat rumah tangganya. Dan hari itu ia tengah berada di ujung tanduk.
Jarak antara tempat tinggalnya dengan rumah Amirul Mukminin Umar bin Khattab tidak begitu jauh. Selang beberapa langkah, ia pun sampai di depan pintu rumah khalifah yang terkenal dengan wataknya yang tegas.
Ketika tiba di depan pintu rumah Sayyidina Umar, diurungkannya niat untuk mengetok daun pintu. Dari dalam rumah terdengar suara seorang wanita sedang marah. Sesekali jawaban singkat mengiyakan terdengar dari lelaki yang menjadi objek kemarahan. Suara lelaki itu, jelas sekali suara Umar Bin Khattab, dan yang sedang marah adalah istrinya.
Setelah diomeli istrinya, Umar bin Khattab keluar rumah. Ia kaget mendapati seorang lelaki tengah mematung di depan pintu rumahnya.
“Hendak apa kau kemari. Apa yang bisa aku bantu?” tanya Umar.
“Wahai Amirul mukminin, aku sebetulnya ingin mengadukan nasibku sebagai lelaki yang selalu menjadi objek kemarahan istriku. Tapi aku baru saja mendengar bagaimana sikapmu atas kemarahan istrimu. Bagaimana mungkin kau tidak melawan dan membalas kemarahan istrimu, sedangkan kau adalah pemimpin yang tegas?”
Umar bin Khattab tersenyum, kemudian menjawab.
“Bagaimana mungkin aku marah. Istri punya hak atas suami. Istriku kerap memasakkan makanan dan membuatkan roti untukku. Ia jugalah yang mencuci pakaianku, mendidik, serta menyusui anak-anakku, padahal itu semua bukan kewajibannya.”
Diam di hadapan kemarahan istri adalah laku kehidupan yang dipilih oleh Umar bin Khattab. Ia memilih bersikap seperti itu bukan karena tak mampu melawan, namun justru karena didasari kesadaran bahwa melalui istrinya itulah cara Tuhan mendewasakan dan mematangkan Umar.
Abū Hāmid Muhammad Al-Ghazāli dalam Ihyā Ulūmuddīn mengatakan, sabar atas kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut perempuan (istri) adalah adalah salah satu cobaan para wali.
Al-Ghazāli juga meriwayatkan seorang sufi yang bernama Abdullah Al-Quraisyi yang menikah dengan perempuan yang buruk pekertinya. Hari-hari dilewatinya dengan kesabaran dan kehati-hatian. Suatu hari seseorang bertanya kepadanya mengapa ia tidak menceraikan istrinya yang buruk perangai itu.
“Aku khawatir jika dia (istriku) dinikahi oleh lelaki yang tidak memiliki kesabaran yang mumpuni, maka istriku ini akan tersakiti,” jawabnya.
Kisah Abdullah Al-Quraisyi ini menjadi argumen betapa jalan kewalian bisa ditempuh dengan cara bersabar atas kemarahan istri. Sekali waktu, Abdullah berdoa agar ia berserta dua sahabatnya diberi rezeki agar bisa makan kenyang.
Belum selesai berdoa, pintu rumah tempat mereka menginap diketuk seorang peduduk yang membawa makanan. Konon, doa Abdullah manjur sebab ia memiliki kesabaran yang begitu melimpah atas sikap istrinya yang berperangai buruk padanya.
Al-Ghazāli mengkategorikan kesabaran atas apa yang keluar dari mulut istri bukan semata cobaan nikah, namun justru tangga menuju maqom kewalian. Pernyataan Al-Ghazāli ini sependapat dengan komentar Socrates.
“Apapun kondisinya, menikahlah. Jika kau ketemu dengan pasangan yang baik, kau akan bahagia. Tapi jika yang kau dapati adalah pasangan yang kurang baik, kau akan menjadi filsuf.”
Jarik Kesayangan untuk Anak yang Kedinginan
Selain sebagai jalan untuk menggapai tangga kewalian, Kiai Maimoen Zubair berpendapat bahwa istri merupakan salah satu kunci utama baiknya keturunan. Kualitas seorang anak ditentukan terutama oleh ibunya.
Kiai Maimoen menyitir ayat Alquran yang memosisikan perempuan sebagai ladang bagi laki-laki. Dengan komentar yang tajam, Mbah Moen berkata bahwa bibit unggul seperti apapun jika ditanam di tanah yang tandus dan tidak subur, maka hasilnya tidak akan maksimal.
Kisah ibunda Kiai Abdul Karim Lirboyo merupakan satu di antara kisah terbaik untuk menjelaskan argumen Kiai Maimoen. Seperti dikisahkan oleh K.H. Abdul Aziz Manshur, ibunda Kiai Abdul Karim Lirboyo yang bernama Salamah ditinggal wafat suaminya ketika anaknya baru menginjak usia enam tahun.
Keseharian Salamah beserta suaminya adalah berdagang di pasar. Sekali waktu, Salamah menginginkan sehelai jarik batik tulis. Namun, harganya tak terjangkau. Sambil memendam keinginannya, Salamah menabung selama tiga tahun untuk membeli kain tersebut.
Setelah terbeli, Salamah menyimpan jarik itu di tempat yang aman agar terhindar dari ngengat. Sampai suatu ketika, di tengah perjalanannya menuju pasar di pagi buta, langkahnya terhenti oleh tangis seorang perempuan di seberang jalan. Ia mendekati sumber tangisan, mengetuk pintu dan segera masuk ke rumah reot perempuan itu. Salamah bertanya apa gerangan yang membuat perempuan itu menangis.
“Anakku kedinginan, sedangkan aku hanya memiliki sebuah sarung untuk menutup tubuhku,” jawab perempuan itu sambil sesenggukan.
Salamah bersejingkat. Ia segera pulang ke rumah mengambil jarik kesayangannya, lalu diberikan kepada perempuan tersebut. Sambil menangis, perempuan yang diberi kain itu berdoa:
“Semoga atas pengorbananmu, kelak kau akan dibahagiakan oleh anak turunmu.”
Doanya dikabulkan. Kelak anak Salamah menjadi seorang alim nan saleh, yakni Kiai Abdul Karim Lirboyo.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh