tirto.id - Hasil Survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masih ada banyak misinformasi yang membuat banyak orang tak percaya terhadap COVID-19.
Dalam survei yang dilakukan IPI pada 1 sampai 3 Februari 2021 terhadap 1.200 responden yang dianggap mewakili populasi penduduk menunjukkan masih banyak yang tak percaya COVID-19. Mereka percaya bahwa COVID-19 sekedar hoaks.
"Sebanyak 18,5 persen plus 2,7 persen setuju sama pernyataan itu [COVID-19 mungkin hanya hoaks]. Jadi 20an persen atau seperlima penduduk kita menganggap COVID-19 itu hoaks," kata Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi saat menyampaikan hasil survei melalui daring, Minggu (21/2/2020).
Sementara itu 26,3 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa COVID-19 adalah hoaks. 41,6 persen agak tidak setuju, dan 10,9 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Selain itu dalam pernyataan bahwa "otoritas kesehatan masyarakat melebih-lebihkan bahaya COVID-19" ada 36,7 persen yang agak setuju dan 6,2 persen yang agak setuju. Jika ditotal ada 42,9 persen yang menganggap bahaya COVID-19 dilebih-lebihkan.
Sementara itu, hasil Survei juga menunjukkan masih banyak warga yang tak bersedia untuk disuntik vaksin COVID-19. Mereka di antaranya khawatir dengan efek samping yang ditimbulkan.
Dari 1.200 responden yang dianggap mewakili populasi penduduk menunjukkan hanya 15,8 persen yang sangat bersedia dan 39,1 cukup bersedia divaksin.
"Yang mengagetkan saya meskipun surveinya dilakukan setelah Presiden sendiri sudah menjadi orang pertama yang divaksin itu masih banyak yang tak bersedia divaksin total 41 persen," lanjut Burhan.
Rinciannya ada 32,1 persen responden kurang bersedia untuk divaksin, 8,9 persen sangat tidak bersedia untuk divaksin. Dan 4,2 persen yang tak menjawab. Jika dibandingkan dengan survei yang dilakukan pada Desember 2020 lalu angka ini tak jauh berbeda, kata Burhan.
Survei Desember 2020 lalu menunjukkan mereka yang kurang bersedia dan sangat tak bersedia divaksin ada 43 persen. Artinya kata Burhan efek Presiden Jokowi menjadi orang yang pertama divaksin sangat kecil yakni hanya mengurangi 2 persen responden yang tak mau divaksin.
"41 persen di bulan Februari itu bukan angka yang kecil. Ini bisa menjadi masalah karena vaksinasi itu pada dasarnya untuk kepentingan bersama," kata Burhan.
Berdasarkan survei yang sama pada 1 hingga 3 Februari 2021, 41 persen mereka yang enggan divaksin memiliki berbagai alasan. Paling banyak mereka beralasan masih khawatir dengan efek samping yang ditimbulkan vaksin yakni ada 52,4 persen responden.
"Sebagian beralasan vaksin punya efek samping yang belum kelihatan sekarang," kata Burhan.
Selain itu ada 27 persen yang beralasan vaksin tidak efektif, 23,8 persen beralasan tidak membutuhkan karena merasa badannya kuat. Kemudian ada 17,3 persen yang enggan divaksin karena tidak mau membayar.
Ada 10,4 persen yang tak mau divaksin karena menganggap vaksin mungkin tidak halal. Sebanyak 5,9 persen tak mau divaksin karena merasa sudah banyak orang yang divaksin sehingga ia tak perlu. Kemudian 3,1 persen tak mau divaksin karena tak mau masuk persekongkolan perusahaan farmasi pembuat vaksin. Lalu ada 11 persen yang menyertakan alasan lain-lain.
Selain itu dalam pernyataan lainnya yang mengandung misinformasi seperti bahwa virus COVID-19 dibuat di laboratorium ada ada 25,6 persen yang agak setuju dan 3,7 persen yang sangat setuju dengan pernyataan itu.
Kemudian pernyataan bahwa obat hydroxychloroquine adalah pengobatan yang efektif untuk COVID-19 ada 17,4 persen yang agak setuju dan 1,8 persen yang sangat setuju.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Restu Diantina Putri