tirto.id - Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk membenahi urusan pangan. Global Food Security Index (GFSI) yang disusun lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan itu. GSFI mengukur tingkat kerawanan pangan negara-negara berdasarkan empat indikator, yaitu keterjangkauan, ketersediaan, kualitas, serta faktor sumber daya alam (SDA) berikut ketahanannya.
Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 113 negara dalam GFSI tahun 2019. Peringkat ini sebenarnya sudah membaik dari tahun-tahun sebelumnya: peringkat ke-65 tahun 2018, 69 tahun 2017, dan 71 pada 2016. Sayangnya perbaikan ini tidak secepat negara lain. Pada GSFI 2019, Malaysia mampu menempati posisi ke-28, Thailand ke-52, dan Vietnam ke-54.
Indonesia juga tertinggal dalam Food Sustainability Index tahun 2018 yang diterbitkan tahun 2020 oleh EIU. Dalam indeks ini Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 67 negara. Indonesia jauh tertinggal dari negara lain yang memiliki masalah pangan lebih buruk berdasarkan indikator GFSI. Misalnya Etiopia yang mampu mencapai peringkat ke-27 dan Zimbabwe di peringkat ke-31.
Indeks ini mengukur sistem pangan dan nutrisi dari suatu negara berdasarkan tiga indikator, yaitu limbah dan buangan makanan, keberlanjutan pertanian, sampai tantangan nutrisi.
“Dulu kita tahu Etiopia adalah negara yang identik dengan kelaparan. Ternyata punya ranking lebih bagus untuk Food Sustainability Index dibanding kita. Zimbabwe dan Etiopia jauh di atas Indonesia,” ucap Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria dalam diskusi bertajuk “Daya Tahan Sektor Pertanian: Realita Atau Fatamorgana?”, Rabu (17/2/2021).
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori menduga rendahnya GSFI Indonesia, yang menghasilkan peringkat lebih buruk dari sejawat di ASEAN, disebabkan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat terutama ketika krisis dan terjadi penurunan pendapatan. Pada saat itu terjadi banyak masyarakat rentan kehilangan akses yang memadai bahkan terpaksa mengalihkan sebagian besar pengeluarannya.
Persoalan keterjangkauan ini menurutnya juga terkait dengan komponen kualitas makanan yang peringkatnya di GSFI kedua terburuk: ke-84 dari 113 negara. Rendahnya pendapatan tak jarang membuat masyarakat tak dapat menawar kualitas pangan yang mereka konsumsi. Akibatnya tidak jarang berdampak pada pertumbuhan generasi muda, mulai dari masalah kurang gizi sampai stunting.
“Masyarakat berpendapatan rendah pasti kenyang dulu. Kualitas dan keamanan itu ke sekian,” ucap Khudori kepada reporter Tirto, Kamis (18/2/2021).
Faktor terakhir dikontribusikan oleh komponen SDA dan ketahanannya yang paling jeblok, yaitu peringkat ke-110 dari 113 negara. EIU menyoroti wilayah Indonesia yang kerap mengalami bencana hidrologi sampai alamiah seperti letusan gunung.
Dalam hal ini, menurut Khudori, pemerintah harus memitigasi dampak bencana pada produksi pangan agar tak menyebabkan gangguan pasokan.
Sementara peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan rendahnya peringkat Food Sustainability Index Indonesia disebabkan oleh buruknya limbah pangan-makanan. Dalam aspek ini Indonesia menempati peringkat 53 dari 67 negara. Peringkat limbah makanan Indonesia adalah yang kedua terburuk di dunia sebanyak 300 kg, mengalahkan Amerika Serikat 277 kg dan Uni Emirat Arab 196 kg.
Rusli menduga hal ini terjadi karena persoalan budaya. Indonesia yang tergolong sebagai negeri agraris membuat masyarakat relatif tidak sekhawatir negara-negara di Afrika dalam ketersediaan makanan.
Di sisi lain, ia menilai pemerintah juga absen dalam merespons banyaknya limbah makanan. Untuk memperbaikinya, menurut Rusli jika perlu pemerintah menerapkan denda seperti yang dilakukan di negara maju.
Buruknya peringkat Food Sustainability Index juga disumbangkan masalah pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini Indonesia mendapat skor 56 dari 67 negara. Rusli menduga hal ini terjadi karena semakin menurunnya minat masyarakat untuk bertani. Buktinya produktivitas beras tidak mengalami kenaikan sama sekali pada 2019-2020 alias tetap 5,11 ton per hektare.
Trennya bahkan menurun jika dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 5,20 ton/ha. Luas panen beras bahkan terus turun. Dari 11,38 juta ha (2018) ke 10,68 juta ha (2019) dan 10,66 juta ha (2020).
Di sisi lain, konsumsi terus meningkat dari 29,56 juta ton (2018) ke 29,37 ton (2020).
Indonesia juga dilanda tingginya potensi alih fungsi lahan baik karena petani tidak lagi tertarik menanam maupun karena proyek infrastruktur. Belum lagi perkara ketergantungan impor pada produk pangan tertentu yang diperburuk dengan minimnya perlindungan petani agar tetap mau berproduksi.
“Dulu petani masih banyak dan lahan masih ada. Sekarang sudah beda lagi,” ucap Rusli kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino