Menuju konten utama
Periksa Data

Survei: Hoaks Paling Banyak Ditemui di Facebook dan TikTok

Kebanyakan responden (51,05 persen) mengaku paling sering menemukan hoaks di platform media sosial Facebook.

Survei: Hoaks Paling Banyak Ditemui di Facebook dan TikTok
Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks. tirto.id/Quita

tirto.id - Penyebaran berita atau informasi palsu (hoaks) rasanya masih menjadi masalah yang pelik untuk diatasi. Di Indonesia, dalam triwulan pertama tahun 2023 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengidentifikasi sebanyak 425 isu hoaks yang beredar di website dan platform digital, naik dibandingkan jumlah hoaks yang beredar pada triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 393.

Tren kenaikan jumlah penyebaran hoaks juga tercatat selalu meningkat tiap tahunnya. Sebelumnya, riset yang dilakukan Tirto pada tahun 2021, dengan metode mengumpulkan seluruh hoaks yang diklarifikasi oleh Mafindo di laman Turnbackhoax, menemukan bahwa terdapat tren kenaikan jumlah penyebaran hoaks di Indonesia sepanjang tahun 2016-2020.

Untuk memotret secara lebih jelas tentang tren terbaru terkait isu ini, Tirto bekerja sama dengan layanan penyedia survei Jakpat, yang memiliki lebih dari 1,3 juta responden, untuk melaksanakan riset mandiri dengan tema “Tren Paparan Hoaks di tengah Masyarakat dan Metode Verifikasi Informasi”.

Survei ini dilangsungkan pada 13 September 2023 dan melibatkan 1.500 responden dengan metode non probability sampling. Responden berasal dari 32 provinsi di Indonesia. Meski begitu, sebaran tempat tinggal responden masih dominan di Pulau Jawa dengan proporsi responden mencapai 76,67 persen, disusul responden yang tinggal di Sumatera dengan 13,94 persen, Kalimantan 3,99 persen, Sulawesi 2,94 persen, Bali dan Nusa Tenggara 1,93 persen, serta Maluku-Papua sebanyak 0,53 persen.

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks. tirto.id/Quita

Jenis kelamin responden relatif terbagi rata antara perempuan (49,67 persen) dan laki-laki (50,33 persen). Responden berasal dari berbagai usia, dengan persentase tertinggi berada pada rentang usia 30-35 tahun (18,13 persen), 20-25 tahun (17,87 persen) dan 36-39 tahun (17 persen).

Kemudian dari segi jenjang pendidikan, mayoritas responden berlatar pendidikan SMA/K dengan proporsi sebesar 45,47 persen diikuti oleh responden yang berlatar pendidikan S1 sebesar 34 persen. Responden juga mayoritas beragama Islam (83,07 persen) disusul Kristen (10,60 persen) dan Katolik (4,07 persen).

Lantas, dalam tiga bulan terakhir, seberapa sering orang-orang menerima informasi atau berita yang telah ditelusuri ternyata adalah hoaks?

Mayoritas Temukan Hoaks Sebanyak 1-3 Kali

Survei ini mengungkap dalam tiga bulan terakhir mayoritas responden (63 persen) mengaku menemukan informasi atau berita yang disadari adalah hoaks sebanyak 1-3 kali. Kemudian, sebanyak 21,60 persen responden mengaku menemukan sebanyak 4-6 kali, sementara 4,47 persen mengaku menemukan sebanyak 7-9 kali dan 10,93 persen mengaku menemukan hoaks lebih dari sembilan kali selama tiga bulan terakhir.

Perlu diketahui, bahwa temuan riset ini juga mengungkap bahwa meski mayoritas responden merasa yakin dengan kemampuannya untuk mengidentifikasi hoaks, namun, di sisi lain, mereka kesulitan membedakan antara informasi yang benar dengan yang hoaks.

Di dalam survei, kami meminta responden memilih tiga judul berita bohong dari 6 judul berita yang kami berikan. Tiga berita hoaks yang didasarkan dari hoaks yang pernah dibahas oleh Periksa Fakta Tirto, dari enam berita itu, adalah "Pandemi terjadi setiap 100 tahun sekali", "Tidak boleh banyak minum air putih setelah makan", serta "Mencium Hajar Aswad bisa menularkan HIV dan COVID-19". Namun, tak semua responden memilih opsi ini.

Artikel soal pandemi hanya dipilih sebagai berita bohong oleh 63,27 persen responden dan artikel soal larangan banyak minum air putih setelah makan hanya dipilih 44,07 persen responden. Sisanya memilih artikel fakta yang dinilai bohong, termasuk "Narkoba zombie menyebar ke Kota New York", yang sempat dipublikasikan Republika.

Serupa, penelitian sebelumnya yang dipublikasikan oleh The Conversation (2022) menyimpulkan bahwa Gen Z di Indonesia bisa mengidentifikasi sumber informasi mana yang kredibel (misalnya lembaga kesehatan negara), tapi mayoritas dari mereka masih kesulitan mendeteksi berita hoaks yang beredar di media sosial.

Lalu, topik hoaks apa yang paling sering ditemui masyarakat?

Isu Penipuan dan Politik Mendominasi

Temuan riset ini menemukan, responden paling banyak menemui topik hoaks terkait penipuan hadiah/uang kaget (70,87 persen), disusul hoaks terkait topik politik yang dipilih sebanyak 56,87 persen responden. Sementara itu, topik agama, ekonomi, lingkungan, dan bencana alam mengekor di belakangnya.

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks. tirto.id/Quita

Temuan riset juga menemukan dari segi gender terlihat perbedaan angka yang signifikan antara perempuan dan laki-laki dalam menemukan topik hoaks. Responden laki-laki lebih banyak menemukan topik hoaks terkait isu politik dan agama. Sementara, responden perempuan tercatat lebih banyak menemukan topik hoaks terkait kesehatan dan penipuan hadiah/uang kaget.

Sebagai perbandingan, temuan lain dari Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Kominfo dalam rentang waktu lima tahun terakhir (Agustus 2018 – Juni 2023), mengungkap dari total 11.642 konten hoaks yang teridentifikasi, hoaks kategori kesehatan menjadi yang paling banyak ditemukan (2.287 kasus).

Disusul oleh hoaks kategori pemerintahan sebanyak 2.111 kasus, hoaks kategori penipuan 1.938 kasus, dan 1.373 konten hoaks terkait isu politik. Ada kemungkinan bahwa pandemi COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2020 hingga sekitar tahun 2022 juga mempengaruhi jumlah hoaks kesehatan pada periode ini.

Memang, Kominfo mencatat terjadi tren perubahan topik hoaks yang terjadi pada periode Januari-Mei 2023 ini. Tercatat, hoaks yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti pencatutan nama pejabat publik serta penipuan mendominasi. Hoaks terkait kesehatan, meski masih ada, namun sudah tidak mendominasi.

Sementara itu, seperti yang terekam dalam survei ini, tingginya angka hoaks terkait isu politik kemungkinan berkaitan dengan kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang sudah semakin dekat, yakni pada Februari 2024.

Situasi serupa misalnya, tercermin pada saat Pemilu 2019, temuan data Kementerian Kominfo mengungkap pada rentang Agustus 2018 hingga September 2019, ketika ditemukan sebanyak total 3.356 hoaks, puncak jumlah hoaks terjadi pada April 2019 bertepatan dengan momentum pesta demokrasi Pilpres dan Pileg. Pada bulan tersebut, ditemukan sebanyak 501 hoaks.

Senada, hasil riset sebelumnya yang dilakukan Tirto menemukan, hoaks yang berkaitan dengan isu politik, jumlahnya meningkat pesat sebesar 70%, dari 2018 ke 2019 ketika Indonesia memasuki tahun politik.

Lalu, dimana masyarakat paling sering menemukan informasi hoaks?

Paling Sering Lihat Hoaks di Media Sosial

Hasil survei ini menemukan bahwa responden paling sering melihat informasi yang dicurigai sebagai hoaks di media sosial (82,53 persen).

Tingginya angka hoaks yang ditemukan di media sosial berbanding lurus dengan tingginya akses media sosial oleh masyarakat. Sebagai informasi, berdasarkan data Digital News Report 2022, yang diterbitkan oleh Reuters Institute for the Study of Journalism, sebagian besar pengguna ponsel (68 persen) di Indonesia cenderung mengakses media sosial media untuk mengakses informasi.

Kembali ke survei terbaru yang dilakukan Tim Riset Tirto bekerjasama dengan Jakpat, sebanyak 54,33 persen responden mengaku melihat informasi yang dicurigai sebagai hoaks melalui pesan berantai di email atau aplikasi pesan seperti WhatsApp. Sebagai informasi, dilansir dari Statista per Januari 2023, WhatsApp sendiri menjadi aplikasi pesan personal paling populer di Indonesia.

Sementara, 41,8 persen mengaku melihat di artikel online dan 20,33 persen responden mengaku menemukan informasi yang dicurigai sebagai hoaks melalui percakapan langsung dengan teman/keluarga.

Terkait hal ini, temuan Kominfo pada tahun 2019 lalu mengungkapkan ada interaksi linear antara modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial dan aplikasi pesan instan WhatsApp.

"Modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial, posting dulu di FB, kemudian diviralkan melalui WA. Kemudian akun FB yang posting tadi dihapus. Ini yang kita perhatikan number of virality," kata Rudiantara yang saat itu menjabat Menkominfo (24/1/2019).

Lalu, di platform media sosial apa masyarakat paling sering menemukan hoaks?

Paling Banyak Temukan Hoaks di Facebook

Lantas, survei Tirto juga menelusuri platform media sosial mana yang menjadi tempat responden paling banyak melihat hoaks. Pertanyaan terkait hal ini hanya ditujukan pada responden yang mengaku sering melihat hoaks di media sosial. Hasilnya, mayoritas responden (51,05 persen) mengaku paling sering menemukan hoaks di platform media sosial Facebook, disusul oleh TikTok dan YouTube. Instagram dan Twitter menduduki dua tempat terbawah.

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks. tirto.id/Quita

Temuan ini serupa dengan beberapa penelitian lain, diantaranya laporan“CIGI-Ipsos Global Survey on Internet Security and Trust” pada tahun 2019 yang menyebut sebanyak 84 persen responden di Indonesia menyebut pernah menemukan kabar bohong di Facebook.

Riset yang dilakukan Kementerian Kominfo dalam rentang waktu Januari 2020-November 2021 juga menempatkan Facebook sebagai media sosial dengan persebaran hoaks terbanyak. Mengutip dari laporan Tempo, terdapat 4.432 konten hoaks tersebar di Facebook dalam periode tersebut. Sementara unggahan hoaks pada Twitter ditemukan sebanyak 572 konten, Youtube 55 konten, Instagram 47 konten dan Tiktok 25 konten.

Tingginya angka hoaks yang ditemukan di Facebook dan TikTok berbanding lurus dengan jumlah pengguna platform media sosial tersebut di Indonesia. Menurut laporan We Are Social dan Meltwater per Januari 2023, Facebook dan TikTok digunakan oleh sebesar 86,5 persen dan 83,8 persen dari total pengguna internet berusia 18-64 tahun di Indonesia, terbesar dibanding media sosial lain, dan hanya di belakang WhatsApp yang digunakan 92,1 persen pengguna internet di Indonesia.

Temuan riset juga menemukan dari segi rentang usia terlihat perbedaan angka yang signifikan antara responden yang berusia tua (40-45 dan >45) dan responden yang berusia muda (16-19) dalam menemukan hoaks di platform media sosial.

Responden yang berusia 40 tahun ke atas cenderung lebih banyak menemukan hoaks di Facebook. Sementara, responden yang berusia 16-19 tahun cenderung lebih banyak menemukan hoaks di Tiktok.

Lantas, konsekuensi apa yang di dapat masyarakat dari adanya misinformasi atau hoaks?

Dari Kerugian Finansial Hingga Hubungan Personal yang Terganggu

Kebanyakan responden (50,20 persen) mengaku pernah melihat dampak hoaks yang menyebabkan kerugian finansial akibat penipuan dari informasi hoaks. Disusul, 48,80 persen responden mengaku pernah melihat konsekuensi dari informasi hoaks yang menyebabkan hubungan personal menjadi terganggu.

Terkait dampak misinformasi dan penyebaran berita hoaks yang menyebabkan hubungan personal terganggu, riset yang dilakukan oleh Pinardi dan Darmawanti (2023) dalam jurnal berjudul Post-Truth Era: Ancaman Polarisasi Melalui Grup Whatsapp Keluarga” menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, banyak grup WhatsApp keluarga beralih fungsi menjadi wadah untuk berbagi omong kosong dan hoaks, yang kemudian berkembang menjadi tempat perdebatan hingga polarisasi antara dua kubu anggota keluarga.

Kembali ke temuan survei Tim Riset Tirto, dampak hoaks lain yang banyak dipilih adalah keputusan terkait kesehatan dan politik.

Sebanyak 48,33 persen responden mengaku mereka pernah melihat dampak hoaks berupa keputusan kesehatan yang merugikan dari adanya misinformasi atau hoaks soal isu kesehatan, sementara 42,60 persen responden menyebut pernah melihat dampak hoaks berupa keputusan untuk memilih pejabat publik seperti presiden, gubernur, dan walikota, yang dipengaruhi oleh informasi palsu.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfitra Akbar