tirto.id - Tahun 2020 adalah tahun yang buruk buat banyak orang. Banyak yang terjadi, namun yang paling besar adalah pandemi virus corona baru, yang diikuti dengan kejadian-kejadian lainnya seperti Pilkada 2020, hingga pengesahan RUU Cilaka atau yang kemudian disebut Omnibus Law. Pada 2020 pula, perselisihan Indonesia dan China di atas Perairan Natuna turut memasuki babak baru.
Yang mencengangkan, dalam setiap peristiwa tersebut hoaks dan berita palsu selalu mengikuti, bertebaran di media sosial dan internet. Hoaks terkait virus Corona baru, misalnya, membuat penanganan terhadap COVID-19 jadi kacau balau; mulai dari isu terkait jumlah kematian, ramuan tradisional yang disinyalir dapat menyembuhkan, hingga teori konspirasi bahwa pandemi merupakan agenda yang direncanakan.
Hoaks memang bukan barang baru. Sepanjang 2018 dan 2019, misalnya, publik sudah terbiasa mendengar hoaks politik terkait kandidat presiden dan wakil presiden. Gosip terkait mereka pun tak luput menyerang ranah pribadi, seperti meragukan kewarganegaraan Presiden Jokowi atau menuduh Prabowo tidak bisa mengaji. Pada 2019 sendiri, organisasi pemeriksa fakta Mafindo menemukan sebanyak 654 hoaks bertema politik.
Mafindo merupakan organisasi yang berdiri secara resmi pada 2016. Namun, mereka telah mengecek informasi yang berpotensi hoaks sejak Juli 2015. Kumpulan hoaks dan berita palsu yang telah diklarifikasi oleh Mafindo dapat ditemukan melalui situs Turnbackhoax.id.
Tim Riset Tirto tertarik mengetahui narasi terkait hoaks yang tersebar sepanjang 2020. Kami bersama peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad mengumpulkan seluruh hoaks yang diklarifikasi oleh Mafindo di laman Turnbackhoax. Proses scraping website sendiri menggunakan kombinasi antara coding manual dan aplikasi R.
Kami memetakan tema-tema hoaks dari total 4.829 artikel periksa fakta yang dipublikasi Mafindo sejak 31 Juli 2015 hingga 31 Desember 2020. Ada banyak kategori artikel yang diterbitkan oleh Mafindo, seperti "Berita," "Klarifikasi," hingga "Edukasi." Namun, analisis ini hanya berfokus pada artikel Periksa Fakta.
Mengenai kategori, terdapat tujuh kategori tema yang disepakati, yakni:
- "Politik" (hoaks tentang politik, tokoh politik, pemilu, dan semua yang berhubungan dengan politik. Hoaks terkait agama, namun dalam konteks pemilu masuk kategori ini);
- "Agama" (Hoaks tentang agama dan bersifat non-politik. Misal: ditemukan Nabi baru di Amerika);
- "Kriminalitas" (Tindakan kriminal tidak berkaitan dengan agama atau politik);
- "Ekonomi" (Ekonomi, keuangan, perbankan, tidak berkaitan dengan agama atau politik);
- "Kesehatan" (Hoaks tentang kesehatan tanpa non konteks lain. Misal: ditemukan obat HIV dari buah jeruk);
- "Kesehatan-COVID" (Hoaks terkait Pandemi Virus Corona);
- dan "Topik di luar topik-topik utama."
Tema-tema Hoaks
Dari sebanyak 2.360 artikel hoaks pada 2020, tema yang paling banyak ditemukan adalah politik, sekitar 40,8%. Tema politik masih mendominasi, bahkan jumlahnya dua kali lipat dari tema Kesehatan yang berhubungan dengan COVID-19, sebanyak 24,1%, yang kami duga akan jadi tema yang paling banyak ditemukan pada 2020.
Tema paling banyak ketiga adalah Topik di luar topik-topik utama. Judul-judul yang masuk kategori ini seperti "anjing menyelamatkan bayi koala di kebakaran," "Video DetikDetik Tsunami Jepang 12 Februari 2020," dan "Kabar Terkini India di Landa Badai Tornado." Hoaks kategori ini biasanya bertujuan mencari sensasi atau menciptakan ketakutan (fear mongering).
Hoaks 2020 dibanding Tahun-tahun Sebelumnya
Berdasarkan temuan kami, jumlah hoaks selalu meningkat tiap tahunnya. Misal, dari 2016 ke 2017 jumlah berita palsu meningkat sebesar 119%. Kemudian, meski dari 2017 ke 2018 tidak terjadi peningkatan yang signifikan, hoaks kembali meningkat pesat sebesar 70%, dari 2018 ke 2019 ketika Indonesia memasuki tahun politik. Sementara itu, peningkatan paling tajam terjadi dari 2019 ke 2020. Pada periode ini, jumlah hoaks meningkat 133% dari tahun sebelumnya.
Sebagai catatan, tahun 2015 tidak dimasukkan ke dalam perbandingan sebab Mafindo mulai mengecek hoaks sejak 31 Juli 2015.
Hoaks Politik dari Tahun ke Tahun
Hasil pantauan kami menunjukkan bahwa tema politik selalu menjadi yang paling banyak ditemukan, tidak hanya pada 2020. Tapi juga pada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah hoaks politik sendiri juga meningkat dari tahun ke tahun, dengan catatan terbanyak pada 2020.
Setiap tahun, ada saja agenda politik yang dijadikan bahan informasi palsu atau hoaks. Pada 2017, misalnya, hoaks berkisar antara perseteruan politik pendukung Basuki Tjahaja Purnama dan pendukung Anies Baswedan. Sementara itu, tahun 2018 dan 2019 adalah soal kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pada 2020, hoaks dengan tema "Politik," "Agama," dan "Kesehatan-COVID" saling beririsan satu sama lain.
Contoh tema politik yang beririsan dengan Kesehatan-COVID adalah isu bahwa "Perdana Menteri Jepang Mundur Karena Terkait Virus Corona" atau "Foto editan Anies Baswedan Menjenguk Rizieq yang Positif."
10 Aktor yang Paling Banyak Disebut
Masih seputar tema politik, hoaks yang diproduksi pun tak luput menyeret nama-nama aktor politik, seperti Presiden Jokowi, Anies Baswedan, Habib Rizieq, Ma’ruf Amin, hingga Donald Trump yang merupakan aktor politik di luar Indonesia. Nama Presiden Jokowi, misalnya, disebut sebanyak 170 kali pada tahun 2020 saja.
Nama Donald Trump masuk ke dalam narasi hoaks di Indonesia pada 2020 sebanyak 22 kali. Hal ini menarik karena jumlahnya terbilang banyak. Catatan penting, nama Trump lebih banyak disebut dibanding nama Megawati hingga Prabowo Subianto yang banyak dicatut pada tahun-tahun sebelumnya.
Bunyi hoaks tentang Trump sendiri mulai dari yang serius, seperti "Video Siaran CNN Menyatakan Trump Akan Menangkan Pilpres AS" hingga yang terdengar seperti lelucon, seperti "menurut ramalan kartun The Simpsons Presiden Amerika Donald Trump akan meninggal pada 27 Agustus 2020" atau "Video Donald Trump di ruqyah sebab sudah stress menghadapi Covid 19." Yang menarik, kami menemukan bahwa orang Indonesia ternyata juga senang mengolok-olok Trump, kendati beberapa judul artikel hoaks seperti di atas tidak ada hubungannya dengan perpolitikan di Indonesia.
Hoaks Terkait China
Salah satu kategori yang tidak boleh dilupakan adalah sentimen rasial terkait China. Hoaks tentang China pada 2020 ada sebanyak 145. Dari jumlah tersebut, yang masuk kategori politik paling banyak, mencapai 62,8%. Kategori dominan lainnya adalah yang berkaitan dengan tema COVID-19, yakni sebesar 28,3%.
Memang narasi seputar China tidak hanya soal latar belakang Presiden Jokowi yang dituduh berasal dari China, tapi juga seteru terkait Laut Natuna, Muslim Uighur, TKA morowali, dan juga pandemi COVID-19. Maka, tak mengherankan sentimen tentang China menjadi salah satu fitur dalam narasi terkait hoaks pada 2020.
Selain tema-tema dan aktor politik, penelusuran kami juga menemukan beberapa hoaks yang berkaitan dengan teori konspirasi COVID-19. Beberapa contoh judul informasi hoaks tersebut adalah "Nih yang bikin Covid si jagoan Wall Street Rockefeller Foundation," "Vaksin yang disimpan 80 Derajat Bukanlah Vaksin Melainkan Agen Transfeksi yang Dapat Memanipulasi Genetika Manusia," dan "COVID19 Merupakan Buatan Manusia sebagai Senjata Biologis dari Carolina Utara Amerika Serikat dan Pasien Nol Bernama Maatje Benassi."
Tentu saja tidak ada di antara informasi tersebut memberikan informasi yang benar. Teori konspirasi boleh jadi terdengar bodoh dan tidak masuk akal. Namun, sejumlah kelompok masyarakat mengonsumsi pesan tersebt via WhatsApp dan Facebook, dan mempercayainya.
Di awal pandemi di Indonesia, banyak hoaks yang bergulir dan menghambat penanganan pandemi COVID-19. Salah satunya adalah hoaks terkait obat-obatan tradisional seperti campuran bawang putih, garam, jeruk nipis, yang dipercaya dapat membunuh virus corona baru. Informasi ini membuat penanganan terhadap pasien jadi terlambat dan membahayakan.
Menurut Niemanlab, cara yang paling ampuh untuk mengurangi misinformasi adalah dengan mengurangi interaksi dengannya. Hal ini karena mereka yang berargumen dengan informasi palsu atau pun menyumpahi sebuah informasi palsu, malah akan meningkatkan engagement informasi tersebut di internet dan sosial media. Hal ini membuat lebih banyak orang menyaksikan informasi palsu tersebut.
Sebuah studi pada 2018 menemukan bahwa ketika orang berulang kali melihat berita palsu di media sosial, mereka punya kecenderungan menganggap berita tersebut benar. Situasi ini bahkan terjadi meski informasi palsu itu ditandai sebagai "salah" oleh lembaga pemeriksa fakta. Studi lainnya pada 2020 menunjukkan bahwa informasi palsu yang berulang kali dibagikan membuat orang berpikir bahwa menyebarkan ulang informasi tersebut tidak terlalu bermasalah meski orang tahu informasi itu tidak benar, dan tidak mempercayainya.
Tahun 2021 baru dimulai, dan tampaknya, tidak ada tanda-tanda penurunan jumlah hoaks di negara ini, mengingat setiap agenda publik memiliki tendensi untuk dipelintir dan dijadikan berita palsu. Platform media sosial seperti Facebook dan Instagram tampaknya juga harus mempertimbangkan untuk menghapus informasi palsu secara menyeluruh, ketimbang hanya memberi label "False" atau "Partly False."
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara