tirto.id - Beberapa waktu lalu, viral sebuah twit tentang jasa pembuatan surat keterangan sakit secara daring. Informasi tersebut sekaligus memuat sebuah contoh surat yang bertanda tangan dr. Wahyu Setiawan, lengkap dengan nomor Surat Tanda Registrasi (STR).
“Dapatkan Surat Sakit Online Hanya 15 Menit.”
Begitu promosi dari layanan suratsakit.com yang terpampang dalam iklan di kereta rel listrik (KRL) Commuterline.
Usai twit tersebut viral, beberapa warganet ikut inisiatif mencari tahu legalitas dokter yang tercantum di surat sakit tersebut. Hasilnya, dr. Wahyu Setiawan dengan nomor STR tertera tak ditemukan dalam laman Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Padahal, KKI merupakan organisasi yang memberikan STR pada dokter yang telah mendaftar dan memenuhi persyaratan registrasi.
STR merupakan dokumen hukum atau tanda bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis yang telah mendaftarkan diri, memenuhi persyaratan, dan diregistrasi KKI. Masa berlaku STR dokter dan dokter spesialis di Indonesia adalah 5 tahun.
Kejanggalan lain dalam surat contoh itu adalah dalam penggunaan nomor STR. Dokter biasanya akan menggunakan Surat Izin Praktik (SIP) untuk dibubuhkan bersama nama dan tanda tangan, alih-alih STR.
Jika STR dikeluarkan oleh KKI, SIP merupakan kewenangan Dinas Kesehatan setempat. Sesuai Pasal 1 Permenkes No. 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksaan Praktik Kedokteran, setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP. Pengajuan SIP bisa dilakukan lewat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan.
Sederhananya, STR laiknya Surat Izin Mengemudi (SIM) dalam berkendara. Tidak semua orang yang memiliki SIM punya kendaraan pribadi. Bagitu pula dengan STR dan SIP. Satu dokter bisa saja punya lebih dari satu SIP karena bekerja di beberapa rumah sakit atau bahkan tak punya sama sekali.
Untuk mengecek keaslian status dokter dalam contoh surat yang beredar, kami pergi ke laman KKI dan mengetik nama “Wahyu Setiawan”. Beberapa nama yang sama muncul, tapi tak ada yang memiliki STR seperti yang tertera dalam contoh surat promo itu.
Namun setelah menelusuri lebih lanjut, nama dan nomor STR dalam contoh surat itu ternyata fiktif. Dugaan ini diperkuat saat kami menemukan contoh surat yang sama persis di halaman “contoh surat” pada aplikasi Surat Sakit.
Cukup Bayar Rp75 ribu, Surat Sakit Siap di Tangan
Karena penasaran, kami menjajal aplikasi Surat Sakit untuk mendapat surat keterangan sakit secara daring. Saat masuk ke halaman awal, terpampang kalimat promosi:
“Dapatkan surat sakit dokter cukup dari rumah hanya dalam 15 menit. Dijamin asli, versi digital dalam format PDF, mudah dan data terjamin, konsultasi medis online.”
Di bawah kalimat promosi itu, pengguna yang tertarik dapat mengklik tab “Dapatkan Surat Sakit”.
Saat mengklik tab tersebut, muncul penafian bahwa surat sakit hanya akan dikeluarkan berdasarkan penilaian dokter, sesuai dengan gejala yang diisi oleh pengguna.
Kemudian muka aplikasi berubah ke bagian penilaian yang berisi beberapa jenis penyakit dan pertanyaan tentang gejala penyakit tersebut.
“Kenapa kamu mungkin tidak bisa bekerja/kuliah/sekolah?”
Saya memilih opsi “Nyeri Haid”. Pilihan lain ada flu, sakit punggung, stress, migrain, keluhan setelah vaksin, demam, sakit perut, dan kandung kemih. Setelah mengisi penilaian gejala, saya memasukkan nama, tanggal lahir, dan nomor telepon. Alur penilaian ini kemudian menuju tahap terakhir: pembayaran.
Di halaman ini, terpampang nama dokter yang mengeluarkan surat sakit berikut jumlah uang yang harus dibayar. Saat itu, saya harus membayar Rp75 ribu—dari harga awal Rp100 ribu yang dipotong diskon Rp25 ribu.
Peter Fernando adalah dokter yang bertanggung jawab mengeluarkan surat sakit saya. Kali ini, nama dan STR yang bersangkutan terdata di laman KKI dengan keterangan lulus dari Universitas Tanjungpura. Namun, surat keterangan sakit saya tak kunjung keluar hingga satu jam setelah menyelesaikan alur aplikasi.
Ternyata masih ada penilaian wawancara yang harus saya jalankan lewat chat bersama dokter. Dia menanyakan soal lama gejala, obat-obatan yang sudah pernah dikonsumsi, dan riwayat kunjungan ke dokter lain. Setelahnya, baru surat sakit dikirim ke nomor WhatsApp yang telah didaftarkan.
Bentuknya sama saja seperti contoh surat yang beredar. Tanpa ada kop surat dan SIP dokter.
Alur ini menghilangkan satu tindakan penting, yakni pemeriksaan langsung. Surat keterangan sakit semestinya hanya bisa terbit lewat diagnosis yang ditegakkan dari pemeriksaan langsung. Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) PB IDI Beni Satria mengatakan bahwa setelah wawancara gejala, dokter harus memeriksa kondisi fisik dan mental pasien untuk pembuktian keluhan dan jenis penyakit.
“Kalau mengaku batuk, harus periksa suara asing di paru-paru dengan stetoskop, melihat tangan, bibir, atau fisiknya pucat atau tidak,” jelas Beni dalam konferensi pers daring, Selasa (27/12).
Jika perlu, dokter akan meminta pemeriksaan penunjang seperti rontgen atau CT Scan. Setelahnya, baru penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit sesuai tata laksana. Dokter akan menentukan lama waktu istirahat berdasar pertimbangan kondisi pasien.
“Ini rangkaian, harus dilakukan berurutan. Hati-hati, dalam kode etik kedokteran di pasal 7 ada ketentuan tentang surat keterangan sakit. Kalau terbukti melanggar, dokter bisa dikenakan sanksi etik,” kata Beni.
Jika memang benar-benar merasakan gejala sakit, Anda lebih baik datang untuk konsultasi dan menjalani pemeriksaan langsung oleh dokter.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi