Menuju konten utama

Sungkono: Jagoan Pertempuran 10 November 1945 & Kawan Tan Malaka

Sungkono mampu menyulitkan tentara Inggris dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Namanya tenggelam setelah Revolusi usai.

Sungkono: Jagoan Pertempuran 10 November 1945 & Kawan Tan Malaka
Ilustrasi Mayjen Sungkono 1911-1977. tirto.id/Fuad

tirto.id - Waktu Kawilarang, Paradja, dan kawan-kawan pelaut Indonesianya mengambil alih kemudi kapal latih Zeven Provincien pada 1933, Sungkono tidak berpangku tangan di daratan Surabaya. Di kota pelabuhan itu, Sungkono dan para pelaut lainnnya juga turut menyuarakan protes atas kebijkan penurunan gaji yang menyulitkan pegawai kelas bawah.

Waktu itu, seperti disebut Irna Hadi Suwito dalam Rakyat Jawa Timur Mempertahankan kemerdekaan—Volume I (1994, hlm. 4), Sungkono adalah anggota Koninklijk Marine (KM) alias Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dia berdinas di Morokrembangan, Surabaya.

Daerah Morokrembangan pernah menjadi pangkalan udara dari Angkatan Laut Belanda. Sungkono adalah salah satu teknisi militer di sana. Di luar kedinasan, Sungkono jadi anggota perserikatan pelaut militer Indonesia bernama Inlandsche Marine Bond (IMB) di Surabaya.

Setelah pemberontakan awak kapal Zeven Provincien, Sungkono termasuk anggota KM yang diberhentikan dan kemudian menjadi orang sipil. Sungkono jadi orang militer lagi di zaman Pendudukan Jepang. Dia ikut dalam pelatihan shodancho (komandan peleton) dalam tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA).

Setelah Indonesia merdeka, Sungkono termasuk tokoh militer yang masyhur di kalangan pemuda Surabaya. Dia termasuk dalam jajaran pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya. Banyak pemuda yang kemudian bergabung dalam komando Sungkono dan dia pun didapuk jadi kolonel perjuangan.

“Nama Sungkono ini tidak bisa dipisahkan dengan Pertempuran Surabaya,” kata Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995, hlm. 258).

Kolonel Sungkono memang punya peran penting dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Sungkono sebenarnya terhitung belum lama jadi perwira militer PETA. Setelah Oktober 1945, dia musti berhadapan dengan perwira militer Inggris yang tentu lebih berpengalaman.

Dia tentu tidak bisa tidak berhadapan dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang memimpin tentara Inggris di Surabaya. Di lihat dari sisi pengalaman tempur, Mallaby yang sudah puluhan tahun menjadi perwira jelas di atas angin. Sementara itu, Sungkono hanya dapat pelatihan komando lapangan di PETA. Dia dapat pangkat setinggi kolonel pun gara-gara arus Revolusi.

Dalam masa genting itu, Sungkono dipercaya jadi pucuk pimpinan pasukan di Kota Surabaya. Sutomo alias Bung Tomo dalam Bung Tomo, dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (1982, hlm. 80) menyebut Sungkono “memilih sebuah rumah di Tegalsari sebagai markas komandonya, tak jauh dari asrama pasukan Berani Mati yang dipimpin oleh saudara Djarot.”

Pertempuran Surabaya pada November 1945 itu bukan pertempuran yang mudah. Bagaimana pun, Inggris adalah pemenang Perang Dunia II dan memiliki alutsista yang mumpuni. Selain pasukan darat yang terlatih, militer Inggris didukung oleh tembakan meriam dari kapal-kapal perang yang bersiaga di sekitar perairan Surabaya. Itu belum lagi menghitung dukungan udara Inggris.

Sementara itu, para kombatan Republik yang dipimpin Sungkono masih minim pengalaman militer dan musti bertempur dengan persenjataan ala kadarnya. Karenanya, fakta mereka bisa mempertahankan Surabaya selama beberapa minggu layak dicatat sebagai prestasi tersendiri. Meski begitu, tetap saja hal itu harus dibayar dengan banyaknya korban yang jatuh.

“Hingga pada saat-saat terakhir dipertahankannya Kota Surabaya, Komandan Sungkono dengan tenang tetap berada di dalam markasnya,” tulis Bung Tomo.

Bung Tomo sempat mengunjungi Sungkono di markasnya kala pertempuran masih memanas karena rentetan pengeboman. Di sana, Sungkono nyatanya masih bisa tersenyum dan berbagi daging ayam goreng.

Infografik Mayjen Sungkono 1911-1977

Infografik Mayjen Sungkono 1911-1977. tirto.id/Fuad

Usai Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, popularitas Sungkono melejit. Dia sempat diserahi memimpin sebuah resimen sebelum ditunjuk jadi Panglima Divisi VI/Narotama pada 5 Oktober 1946.

Menurut Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV (2014, hlm. 95), Sungkono dan pasukannya punya simpati kepada Tan Malaka. Dia disebut pula membiarkan Tan Malaka bebas bergerak di Jawa Timur. Tan Malaka bahkan pernah menyampaikan pidato politik di depan pasukan Sungkono.

Terkait perkara Madiun 1948, Sungkono tampak satu kubu dengan Tan Malaka. Presiden Sukarno lantas mengangkatnya jadi Gubernur Militer Jawa Timur. Tugas penting pertamanya tentu saja memadamkan huru-hara yang disulut Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Madiun. Dia kemudian diangkat jadi Panglima Divisi I/Brawijaya.

Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II, Sungkono bergerilya di Jawa Timur. Dia pernah berbasis di Desa Genjeng, Nganjuk bagian selatan, dan berkeliaran di sekitar Gunung Wilis.

Pada 1950, seperti diberitakan Trouw (10/06/1950), Sungkono ditarik Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono X ke Jakarta. Posisinya selaku panglima tentara di Jawa Timur lantas diserahkan kepada Kolonel Bambang Sugeng.

Trouw juga pernah memberitakan Kolonel Sungkono terlibat dalam penyelundupan saat bertugas di Jawa Timur dan dikabarkan punya aset dolar Singapura. Namun, tuduhan itu tidak sampai merusakan nama baiknya. Dia tetap diingat orang sebagai pemimpin Pertempuran 10 November 1945.

Karir militer Sungkono setelah 1950, seperti disebut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (188, hlm. 381), tidak begitu mencolok. Dia hanya pernah menjadi inspektur jenderal pengawas umum Angkatan Darat dan penasehat menteri pertahanan. Sebagai jagoan di masa Revolusi, Sungkono juga jauh dari dinamika politik internal Angkatan Darat era 1950-an. Sungkono tentu saja bisa menjadi berpengaruh yang Kepala Staf Angkatan Darat pada era 1950an.

Baca juga artikel terkait PERTEMPURAN SURABAYA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi