tirto.id - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi mengatakan pemecatan dua adik Sri Sultan Hamengkubawono X dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ekses dari konflik internal.
Bayu yang meneliti Keraton Yogyakarta menilai konflik berpangkal pada perbedaan pendapat yang sangat prinsipil, sehingga sulit diselesaikan.
Awal mula konflik, kata dia, adalah keluarnya Sabda Raja pada 2015, berisi pergantian nama dari Buwono menjadi Bawono. Penggantian nama ini oleh Raja Yogyakarta dianggap adik-adiknya menyalahi tradisi keraton.
Peristiwa berikutnya adalah pemilihan putri sulung Sultan HB X sebagai putri mahkota juga dianggap sebagai persoalan prinsipil bagi dua adik Sultan yakni Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudaningrat dan GBPH Prabukusumo. Keduanya dengan tegas menolak dua tindakan raja.
“Itu sudah sangat prinsipil. Bahkan itu pondasi utama di dalam kerajaan. Makanya tidak bisa diselesaikan. Susah karena itu prinsipil. Karena konflik dan perbedaannya prinsipil, maka adik-adiknya itu kemudian memutuskan untuk tidak lagi terlibat di keraton,” kata Bayu kepada reporter Tirto, Kamis (21/1/2021).
Persoalan mendasar itulah yang kemudian membuat dua adik Sultan itu keluar dan tidak lagi aktif sejak 2015. Selama ini, jabatan mereka dijalankan oleh dua putri Sultan yang sejak awal ditempatkan mewakili pamannya.
“Jadi yang dilakukan Sultan ini cuma penegasan saja karena mereka secara de facto yaitu GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudadiningrat itu sudah tidak terlibat dan diganti dengan putri-putri Sultan,” kata Bayu.
Dengan pemecatan tersebut, Bayu menilai konflik internal kembali meruncing. Sebab ia melihat ada luka dari sakit hati dari adik-adik Sultan yang sulit diobati. Apalagi dalam tradisi keraton jabatan itu lazimnya melekat hingga akhir hayat. Namun akhirnya dipecat oleh Sultan HB X.
“Mereka sakit hati karena yang mengangkat jabatan itu adalah bapaknya yakni Sultan HB IX,” ujar Bayu.
Pencopotan jabatan dua adik Sultan tertuang dalam melalui surat yang dikeluarkan oleh Keraton Yogyakarta berbahasa Jawa dengan tanda Keraton Yogyakarta di bagian atas bertuliskan Dhawuh Dalem. Jabatan yang ditinggalkan kemudian ditempati dua putri Sultan HB X. Pemecatan dianggap tidak sah oleh GBPH Prabukusumo.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali