Menuju konten utama
Update Vaksin COVID-19

Studi: Vaksinasi Tidak Selalu Mencegah Infeksi

Vaksinasi tidak selalu mencegah infeksi penyakit, menurut penelitian terbaru.

Studi: Vaksinasi Tidak Selalu Mencegah Infeksi
Sejumlah warga mendapatkan vaksinasi di dalam bus Trans Metro Pekanbaru untuk vaksinasi COVID-19 di Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (28/5/2021). ANTARA FOTO/FB Anggoro/foc.

tirto.id - Ketika Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) A.S. mengubah pedomannya tentang pemakaian masker pada 13 Mei 2021 lalu, banyak orang Amerika merasa bingung.

Alasannya karena saat ini, siapa pun yang sudah divaksinasi secara lengkap dapat berpartisipasi dalam kegiatan di dalam dan di luar ruangan, besar atau kecil, tanpa mengenakan masker atau jarak fisik.

Anthony Fauci, kepala penasihat medis untuk Presiden Joe Biden mengatakan, pedoman baru yang diterapkan tersebut berdasarkan evolusi ilmu pengetahuan.

"Ini berfungsi sebagai insentif bagi hampir dua pertiga orang Amerika yang belum sepenuhnya divaksinasi untuk melanjutkan dan mendapat suntikan vaksin," ujarnya seperti dikutip laman CBS.

Hanya saja, ada beberapa orang tidak dapat divaksinasi karena kondisi yang mendasarinya, seperti orang dengan sistem kekebalan yang lemah, penderita kanker atau yang sedang dalam perawatan medis, mungkin tidak sepenuhnya terlindungi oleh vaksinasi mereka.

Ketika pembatasan dicabut dan orang-orang mulai meninggalkan masker mereka di rumah, maka akan timbul pertanyaan bisakah Anda tertular COVID-19 dari seseorang yang sudah divaksinasi?

Vaksin tidak selalu mencegah infeksi

Dilansir dari Medical Daily, para peneliti berharap dapat merancang vaksin COVID-19 yang aman yang akan mencegah setidaknya setengah dari orang yang divaksinasi mengalami gejala COVID-19.

Untungnya, vaksin telah jauh melampaui harapan. Misalnya, pada 6,5 ​​juta penduduk Israel berusia 16 tahun ke atas, vaksin COVID-19 Pfizer–BioNTech mRNA ditemukan 95,3% bekerja efektif setelah suntikan kedua.

Dalam dua bulan, di antara 4,7 juta yang divaksinasi lengkap, infeksi yang terdeteksi turun 30 kali lipat.

Demikian pula di California dan Texas, hanya 0,05% petugas layanan kesehatan yang telah divaksinasi lengkap yang dinyatakan positif COVID-19.

Pengembang vaksin sering berharap bahwa, selain mencegah penyakit, vaksin mereka akan mencapai kekebalan yang mensterilkan, di mana vaksinasi menghalangi kuman untuk masuk ke dalam tubuh sama sekali.

Kekebalan yang mensterilkan ini berarti seseorang yang divaksinasi tidak akan tertular virus atau menularkannya lebih lanjut. Agar vaksin menjadi efektif, vaksin tidak perlu mencegah kuman menginfeksi orang yang diimunisasi.

Vaksin polio inaktif Salk, misalnya, tidak sepenuhnya menghentikan virus polio tumbuh di usus manusia. Tetapi sangat efektif untuk mencegah penyakit yang melumpuhkan karena memicu antibodi yang menghalangi virus menginfeksi otak dan sumsum tulang belakang.

Vaksin yang baik memberikan pelatihan yang efektif dan tahan lama untuk sistem kekebalan tubuh, sehingga ketika benar-benar menghadapi patogen penyebab penyakit, ia siap untuk memberikan respons yang optimal.

Ketika berbicara tentang COVID-19, ahli imunologi masih mencari tahu apa yang mereka sebut korelasi perlindungan, faktor-faktor yang memprediksi seberapa terlindunginya seseorang terhadap virus corona.

Para peneliti percaya bahwa jumlah optimal "antibodi penetral", jenis yang tidak hanya mengikat virus tetapi juga mencegahnya menginfeksi, cukup untuk menangkis infeksi berulang.

Para ilmuwan juga masih menilai daya tahan kekebalan yang diberikan oleh vaksin COVID-19 dan di bagian tubuh mana ia bekerja.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Iswara N Raditya