Menuju konten utama

Strategi Demo Hong Kong hingga Pemerintah Batalkan RUU Ekstradisi

Strategi demo warga Hong Kong untuk menekan pemerintah mencabut RUU Ekstradisi.

Strategi Demo Hong Kong hingga Pemerintah Batalkan RUU Ekstradisi
Ilustrasi demo Hong Kong. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter/cfo

tirto.id - Demo mahasiswa digelar di berbagai wilayah di Indonesia menolak pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Menurut demonstran, RKUHP, RUU PAS, hingga RUU KPK memuat pasal bermasalah.

Tak hanya di Indonesia, sebelumnya aksi protes terhadap RUU juga gencar digelar di Hong Kong. Seperti mahasiswa di Indonesia, Warga Hong Kong menggelar demo selama empat bulan menuntut Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lim membatalkan RUU Ekstradisi.

RUU Ekstradisi itu dinilai dianggap sebagai kebijakan yang akan mengancam warga Hong. Jika RUU tersebut disahkan artinya akan mengizinkan narapidana Hong Kong diadili di Cina, dengan hukum dan kebijakan Cina.

Masyarakat Hong Kong menganggap hal tersebut adalah kriminalisasi terhadap warga, dan menganggap Cina terlalu mencampuri urusan warga Hong Kong, sehingga muncul gerakan massa.

Demo Hong Kong menyasar lokasi-lokasi penting mulai dari pusat ekonomi hingga transportasi publik. Demonstran sempat memenuhi bandara internasional Hong Kong untuk manarik perhatian internasional.

Aksi demonstran tersebut menyebabkan gangguan penerbangan dari dan menuju ke Hong Kong. Aksi itu dimulai sejak 9 Juni 2019. Hingga pada 4 September 2019, Carrie Lim mencabut RUU Ekstradisi tersebut.

Saat menggelar demo, para demonstran menggunakan beberapa strategi untuk mencapai tujuannya. Strategi yang digunakan oleh para demonstran Hong Kong adalah meniadakan sosok pemimpin dalam aksi mereka.

Untuk menggantikan posisi pemimpin atau koordinasi demo, mereka mengorganisir diri dengan memanfaatkan teknologi. Mereka menggunakan pesan terenkripsi melalui aplikasi daring maupun aktif di berbagai forum online, terutama di LIHKG--semacam Reddit versi Hong Kong.

Mereka juga menggunakan Telegram dalam berkomunikasi dan koordinasi. Diyakini, startegi tanpa pemimpin ini guna meminimalisir incaran aparat, seperti Joshua Wong yang menjadi pemimpin Umbrella Movement atau Benny Tai dan Chan Kin-man yang menggagas rencana Occupy Central.

Selain Telegram, pendemo juga memanfaatkan aplikasi Airdrop pada iPhone. Fitur ini tak membutuhkan internet sehingga mereka bisa menyebar poster hingga rencana aksi secara cepat.

Pendemo juga membuat tim khusus untuk memadamkan gas air mata. Tim ini terdiri dari lima hingga enam orang. Mereka berada di dekat garis depan. Tim ini memadamkan gas air mata dengan peralatan kusus.

Para demonstran Hong Kong juga memiliki taktik lain yaitu menghindari bentrokan dengan aparat demi mencegah munculnya korban.

Mereka tidak memiliki peralatan berat atau taktik pertempuran urban yang mumpuni, mereka akan mencegah bentrok dengan cara tertib dan disiplin. Meski semapt terjadi bentrok saat menggelar demo. Salah satunya bentrokan di salah satu Stasiun MRT Hong Kong.

Strategi lainnya, dalam komunikasi di lapangan, pendemo menggunakan bahasa isyarat. Hal ini digunakan para demonstran di garis depan untuk mengkomunikasikan hal-hal tertentu.

Misalnya untuk meminta agar beberapa peralatan yang dibutuhkan segera sampai ke depan. Nantinya, rantai manusia yang terbentang panjang itu akan bahu membahu membawakan alat atau barang yang dimaksud dari belakang hingga ke depan.

Pendemo Hong Kong melakukan penggalangan dana. Mereka berhasil memperoleh 5,5 juta dolar Hong Kong atau sekitar 701.882 dolar AS hanya berselang beberapa jam peluncuran crowdfunding tersebut. Jumlah itu melebihi target 3 juta dolar Hong Kong, dikutip dari Reuters.

Selain itu, pendemo mengincar acara besar seperti KTT G-20 di Osaka Jepang pada Juni lalu. Hanya dalam beberapa jam saja, dana yang terkumpul mencapai lebih dari 640.606 dolar AS.

Dana yang digunakan untuk membuat iklan di satu halaman penuh di berbagai surat kabar terkemuka di dunia. Ada juga relawan yang khusus membuat desain grafis. Mereka bertugas membuat poster-poster menarik lalu mengirimnya via surat elektronik ke berbagai surat kabar dunia.

Hasilnya, sebuah iklan didominasi hitam putih memenuhi satu halaman penuh di New York Times, The Guardian, Le Monde, Suddeutsche Zeitung, The Australian, Asahi Shimbun, Globe & Mail, hingga Seoul Daily.

Iklan itu berisi pesan “Stand with Hong Kong at G20”. Iklan itu tayang hanya berselang beberapa hari sebelum KTT G-20 resmi dimulai.

Baca juga artikel terkait DEMO HONG KONG atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yantina Debora
Editor: Agung DH