tirto.id - Baru-baru ini situs Team Rock mengeluarkan artikel apik berjudul "Why Losing Syd was the Best Thing Pink Floyd Ever Did". Syd yang dimaksud tentu Syd Barret, musisi jenius yang mendirikan Pink Floyd. Syd bukan hanya pencetus nama Pink Floyd, dia pula yang menjadi otak sejak awal karier mereka. Tapi ketika David Gilmour masuk Pink Floyd pada 1968 untuk menggantikan Syd yang semakin kesusahan bermain karena skizofrenia, band asal London ini justru mencapai puncak ketenarannya.
"Pink Floyd amat menarik di era Syd, tapi mereka jadi lebih efektif di era Gilmour dan (Roger) Waters," tulis Chris Roberts, sang penulis artikel.
Pertanyaan serupa bisa ditanyakan untuk band lain. Misalkan, apakah Slank lebih bagus setelah Bongky, Indra, dan Pay keluar? Atau: apakah keluarnya Ari Lasso adalah keputusan terbaik bagi Dewa 19? Dan tentu saja bisa pula dipakai untuk menanyakan: apakah bubarnya The Police adalah hal terbaik dalam kehidupan Sting?
Tentu jawabannya bisa relatif. Bubarnya The Police membuat kita mengenal sosok Sting yang sekarang. Ada banyak musisi yang punya referensi musik luas, bahkan terlalu banyak. Sayang, hanya sedikit yang bisa meramunya dengan baik, apalagi menambahkan sentuhan pop. Sting adalah salah satu dari mahluk langka itu.
Selepas minggatnya Henry Padovani, The Police hanya berjalan dengan tiga orang: drummer Stewart Copeland, gitaris Andy Summers, dan bassist Sting. Tapi penggemar paham bahwa Sting adalah gitapati dalam band ini.
Sejak Outlandos d'Amour (dari bahasa Prancis yang berarti "Penjahat Cinta", amat jauh imej-nya dari nama album pertama yang direncanakan, Police Brutality) dirilis pada 1978, Sting selalu menjadi pencipta lagu utama The Police. Dalam album perdana itu, Stewart dan Andy hanya kebagian membantu penulisan di dua lagu saja: "Peanuts" dan "Be My Girl". Dan itu terus berlanjut di album-album berikutnya.
Tak heran kalau hits-hits terbesar The Police adalah cipta karya Sting. Sebut saja: "Roxanne", "Can't Stand Losing You", "Message in a Bottle", "Every Breath You Take", "Every Little Thing She Does Is Magic", hingga "Spirits in the Material World". Sting yang bertungkus lumus di sana.
Tak heran kalau kondisi ini memicu kecemburuan, atau kekesalan, dua personel lain. Dalam buku Sting and the Police: Walking in Their Footsteps, Andy pernah menggerutu, sekaligus menjelaskan kenapa The Police bubar dan Sting memilih berjalan sendiri.
"Setelah beberapa tahun dan kesuksesan yang tidak merata, demokrasi yang rapuh dalam band akhirnya menjadi kediktatoran. Keinginan Sting, serta kecenderungannya untuk melakukan semuanya sendiri, tercetus dalam berbagai keluhan saat (kami) bersama sebagai band," kata Andy.
Aaron J. West, penulis buku itu, menyetujui perkataan Andy. Sting memang punya keinginan untuk melakukan semua hal sendirian. Band, wujud terkecil demokrasi dalam industri musik, jelas tidak cocok baginya. Untuk satu hingga tiga album mungkin masih oke. Tapi setelahnya? Sting tentu bertahan keras, termasuk menyensor hasrat pribadinya, agar bisa menjalankan demokrasi itu. Begitu pula dua personil lainnya.
Pada akhirnya, toh, Sting tak tahan. Sama seperti kejadian saat dia memutuskan untuk tak pernah memakai lagi nama aslinya, Sting dengan santai dan lempang setuju saja kalau The Police bubar. Padahal saat album Synchronicity dirilis pada 1983, band ini bisa dibilang berada di puncak ketenaran. Album itu mendapat 5 nominasi Grammy dan memenangkan 3 di antaranya.
Pada 1965, di Shea Stadium, New York, The Beatles membuka tur Amerika Utara yang ditonton oleh sekitar 55.000 orang. Di banyak rekaman video, tampak jelas kalau histeria penonton mengalahkan suara musik Beatles. Suatu momen yang menjadi penasbihan betapa band asal Liverpool sebagai band terbesar di dunia.
Kemudian pada Agustus 1983, The Police mengadakan konser di tempat yang sama. Tiket yang terjual adalah: 70.000 lembar. Lebih banyak sekitar 15.000 penonton ketimbang The Beatles. Wajar kalau beberapa media mengatakan bahwa The Police adalah band terbesar di dunia.
Tapi tak ada yang tahu kalau pada konser itulah Sting memutuskan keluar dari The Police. Dalam wawancara dengan BBC beberapa saat setelahnya, Sting mengatakan apa yang ada di pikirannya dalam momen mengge(n)tarkan itu.
"Saat itu aku berpikir, ini dia. Kamu tak akan bisa lebih besar dari ini. Itulah momen aku memutuskan untuk berhenti."
Sting akhirnya mantap menjalani karier sebagai pengelana esa selepas bubarnya The Police pada 1984. Tentu tidak sendirian dalam arti harfiah. Melainkan tak ada lagi embel-embel Sting The Police. Hanya Sting dan beberapa kawan band, yang tentu saja posisi mereka ada di bawahnya.
"Aku tahu kalau masa depanku di luar The Police, karena aku menginginkan kebebasan yang lebih besar. Mungkin tak ada musisi lain yang sehebat Stewart dan Andy, tapi aku ingin membuat musik yang tidak terikat dengan batasan trio. Aku tidak ingin berkompromi perihal standar menulis lagu, apalagi hanya atas nama demokrasi di dalam band," kata Sting dalam buku Sting and The Police.
Pada 1985, Sting merilis album perdana, The Dream of the Blue Turtles. Dari album itu, kita mungkin bisa menyadari, atau memaklumi, betapa Sting ingin keluar dari band. Dia mengajak beberapa musisi jazz muda, seperti drummer Omar Hakim ataupun pemain sax Branford Marsalis.
Album ini menunjukkan cinta-belum-kelar Sting pada jazz. Memang kita masih bisa mendengarkan potongan kronik sound The Police di lagu seperti "If You Love Somebody Set The Free", atau di "Love is the Seventh Wave". Tapi komposisi "The Dream of Blue Turtles" dan "Moon Over Bourbon Street" jelas menunjukkan akar jazz pada pemain bass grup jazz Last Exit ini.
Lantas, apakah bubarnya The Police ini adalah keputusan yang tepat bagi Sting? Secara produktivitas, dalam statusnya sebagai solo, Sting berhasil melampaui pencapaian bersama The Police. Dia hanya membuat 5 album bersama The Police. Namun, saat solo dia berhasil membuat 12 album.
Secara pencapaian artistik, salah satu tolok ukur yang kerap dipakai adalah Grammy (terlepas dari segala kontroversi penghargaan ini). Bersama The Police, Sting mendapatkan 8 nominasi Grammy dan memenangkan 6 di antaranya. Sedangkan dalam karier solo-nya, Sting mendapatkan 30 nominasi dan memenangkan 11 di antaranya.
Sting juga menepati omongannya, bahwa dia keluar dari The Police karena ingin mengejar kebebasan menciptakan lagu tanpa batasan. Dari album-album solonya, kita bisa menengok Sting yang mengeksplorasi berbagai jenis musik. Dari jazz, klasik, Celtic rock, raga, hingga bebunyian dari jazirah Arab. Dua personil lain The Police tetap menjalani karir musiknya masing-masing, walau bisa dibilang tak sesukses Sting.
Terlepas dari pencapaian artistik yang tampak lebih baik, kita tak bisa memungkiri bahwa Sting sebagai musisi solo belum bisa menandingi dirinya sendiri ketika masih bersama The Police. Terutama perihal gegap gempita. Sting seorang diri tak akan bisa membuat 70 ribu tiket terjual cepat, seperti saat The Police melakukannya pada 1983.
Bandingkan saat The Police mengadakan tur reuni pada 2007-2008. Sekitar 1,5 juta tiket terjual. Di seluruh Britania Raya, tiket konser reuni ini terjual habis dalam waktu 30 menit saja! Total pendapatan dari tur ini mencapai 362 juta dolar. Saat tulisan ini dibuat, tur reuni The Police menempati peringkat 7 dalam daftar tur berpendapatan kotor terbesar sepanjang masa.
Jadi apakah Sting lebih baik bersama The Police, atau saat menjalani karir solo? Anda yang menentukan jawabannya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS