Menuju konten utama

Selamat Datang Kembali, Sting!

Setelah membelok ke berbagai jenis musik, dari mulai R&B, musik Latin, Arab, hingga klasik, akhirnya Sting pulang. Ia merilis album solonya yang ke-12: 57th & 9th. Album rock pertamanya dalam 13 tahun.

Selamat Datang Kembali, Sting!
Sting berpose untuk potret promosi album "The Last Ship". FOTO/AP

tirto.id - Perempatan 57th dan 9th itu tak tampak seperti di New York. Rumah-rumah tua dengan bata telanjang berjejer. Nihil gedung yang mencakar langit. Setiap pagi, mobil pembersih jalan dengan nopol R-17238 melintasi perempatan ini. Mobil-mobil diparkir di pinggir jalan 57th yang searah. Kawasan 57th Avenue adalah kawasan yang sudah didesain sejak 1811, dan kini dikenal sebagai jalur yang memiliki banyak galeri seni, restoran, juga toko kelontong.

Setiap hari Sting melewati perempatan itu, menuju studio rekaman di kawasan Hell's Kitchen. Ada banyak jalur menuju ke sana. Jika berjalan kaki, Sting akan melewati jalur 9th, kemudian belok kiri di 44th, melintasi Sunset Park, kemudian 3rd Avenue, pas di pinggir Gowanus Expressway. Tapi kalau menggunakan mobil, jalur Gowanus akan dilintasi, merayap di terowongan Hugh L. Carey, kemudian melintasi West Street, melewati depan gedung World Trade Centre Memorial, kemudian tinggal lurus belaka melewati 11th Avenue, dan voila, sampailah.

Di antara kemacetan, bunyi klakson, sumpah serapah supir taksi di kota Apel Besar, perempatan 57th dan 9th itu tampak sebagai oasis. Banyak pohon di kanan kiri. Suasana teduh. Tak ramai. Dan kita semua tahu kalau Sting selalu melankolis jika bicara tentang New York. Lagunya yang paling populer mengisahkan seorang pria Inggris yang mengalami kegundahan di New York: dirinya sendiri.

Maka, tak heran kalau Sting kembali merilis penghormatan terhadap New York, kali ini secara spesifik untuk perempatan 57th dan 9th. Takrim Sting berupa album baru yang diberi judul sesuai nama perempatan itu.

Apakah album ini spesial? Tunggu dulu.

Sting yang Suka Bertualang

Mengingat Sting sudah tiga tahun tak merilis album baru, tentu album ini dinantikan. Tapi waktu tiga tahun itu bisa jadi jebakan karena mungkin saja Sting kehilangan insting musiknya, apalagi ini albumnya yang ke-12 selama berkarir solo. Dan anggapan sebagian orang adalah: tak banyak orang tua yang bersemangat membuat album baru di usia 60-an. Sting, meski selalu tampak fit dan bugar, sudah berusia 65 tahun.

Para penggemar lawas Sting mungkin sudah tak lagi mengenali Sting sejak sekitar 13 tahun lalu. Tak ada lagi Sting yang memainkan musik rock bercampur reggae dengan urat-urat punk rock di sekujur musiknya. Sting tampak sudah benar-benar mengubur pengaruh itu di album Sacred Love (2003).

Memang di album itu kita mendengar pengaruh musik latin, raga rock (musik rock yang dipengaruhi instrumen musik dari India, seperti sitar), dan aroma padang pasir, seperti di "Send Your Love", atau di "The Book of My Life". Tapi itu jelas bukan yang pertama. Kita tentu masih ingat betapa kental pengaruh musik latin dan Arab di album Brand New Day (1999), yang melejitkan "Desert Rose". Di Sacred Love pula, kita masih bisa mendengar jejak blues kental di "Forget About the Future", atau rock di "This War".

Selepas Sacred Love, kita melihat betapa Sting makin menjelajah tanpa batas. Dia merambah belantara musik klasik di Songs from the Labyrinth. Menggandeng pemain lute asal Bosnia, Edin Karamazov. Di banyak tangga album, Songs from the Labyrinth hanya menduduki posisi puluhan, maksimal di angka 6 untuk tangga album Top Digital. Tapi album ini menjadi nomor satu di tangga Top Classical Album. Nyaris nihil bekas musikalitas apapun yang sebelumnya memengaruhi Sting.

Komentar menarik dari seorang pengunjung di video di lagu "Can She Excuse My Wrongs" adalah: lemparkan Sting ke masa kerajaan dengan mesin waktu, dia akan selamanya terperangkap di sana, disuruh bernyanyi hingga modar. Kalimat ini bisa berarti pujian jika diartikan Sting benar-benar pas menyanyikan lagu-lagu klasik. Tapi bisa pula berarti sindiran halus yang menganggap Sting dan segala pengaruhnya sudah jadi artefak di museum.

Sting makin menjadi-jadi ketika merilis album berikutnya, If on a Winter's Night.... Ini adalah album konsep tentang liburan Natal dan musim dingin. Seorang rocker yang menggarap lagu natal selalu mengingatkan saya pada karakter Billy Mack di film Love Actually, seorang rocker yang menua dan dilupakan, terpaksa bertahan hidup dengan menyanyikan lagu Natal.

Percakapan Billy dengan manajernya, Joe saat merekam lagu "Christmas Is All Around" kira-kira seperti ini:

Billy: Ini lagu tai, iya kan?

Joe: Yup, tapi ini tai yang berharga, maestro.

Dan Billy, yang sudah tua dan tampak tak relevan lagi itu, menggumamkan sesuatu. "Saat aku masih muda dan sukses, aku serakah dan kerap berbuat bodoh. Dan sekarang aku tak punya teman. Keriput dan kesepian."

Apakah Sting tampak seperti Billy? Bagi para penggemar kritis jawabannya adalah: bisa jadi. Sebab di album ke 10-nya, Symphonicities, Sting merekam lagu-lagu lamanya yang dimainkan dalam format simfoni. Tampak seperti seorang musisi yang perlahan menjadi musisi nostalgia dengan menggali lagu-lagu lamanya, direkam dengan format yang berbeda, berharap para penggemar akan tetap membelinya.

Tapi benar kata pepatah: rocker tua tak pernah mati, Bung. Sting menyadari hal itu, dan dia kembali ke kodratnya: memainkan musik rock dengan pengaruh gitar yang kuat. Itu ditunjukkannya di album 57th & 9th.

Album ini digarap selama tiga bulan saja. Mantan bassis The Police ini mengajak beberapa nama yang tak asing, seperti partner lamanya, gitaris Dominic Miller. Juga mantan penggebuk drum Nine Inch Nails dan Guns N Roses: Josh Freese.

"Sebagian besar lagu di album ini digarap dengan cara yang impulsif," kata manajer Sting sekaligus produser album ini, Martin Kierzenbaum kepada Rolling Stone. "Hanya perlu satu atau dua take. Menurutku, dia tak pernah bermain musik rock seperti ini sejak Synchronicity (album terakhir The Police yang dirilis 1983)."

Kembali ke pertanyaan awal, apakah album ini spesial? Secara keseluruhan, album ini tidak begitu spesial. Menyenangkan, iya. Mengejutkan, sangat. Mengingat Sting tampak cukup lama bermain-main di ranah musikal yang asing. Mendengar "I Can't Stop Thinking About You" seperti mengajak kita kembali ke "Truth Hits Everybody" dan musik-musik The Police era Outlandos d'Amour. Suara gitar yang nyaring dan mentah di "Petrol Head" rasanya mengingatkan bagaimana rasanya menjadi muda dan tak peduli hari esok.

Tapi tentu Sting bukan lagi rocker yang seperti itu. Dia sudah kepala 6, dan dalam pikirannya, kematian sudah sedekat nadi dan melekat nyaris seperti bayangan. Perihal kematian, lelaki bernama asli Gordon Matthew Thomas Sumner ini menuliskannya dalam "50.000". Secara khusus, Sting menyebut lagu ini sebagai obituari untuk banyak musisi yang meninggal belakangan ini. Lagu ini dibuat seminggu setelah Prince mangkat.

"Kematian itu terasa seperti di belakang kita, terutama di umur sepertiku," katanya kepada Rolling Stone.

"Lagu ini adalah tanggapan betapa terkejutnya kita saat satu per satu ikon kultural kita meninggal. Prince, Bowie, Glenn Frey, Lemmy. Mereka adalah tuhan dengan cara mereka sendiri. Jadi ketika mereka meninggal, kita harus bertanya-tanya tentang keabadian."

Sting juga masih menunjukkan pengaruh musik Arab dan pembacaannya terhadap literatur Islam. Tampak di lagu "Inshaallah", yang secara tersirat menggambarkan tentang krisis pengungsi. Sting memang sudah lama dikenal sebagai pendukung Amnesty International dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatannya.

Sting

"Inshaallah" ini sempat mengundang kontroversi saat dimainkan di pembukaan ulang Bataclan Theater di Paris, setahun setelah tragedi penembakan yang menewaskan 89 orang. Di beberapa situs seperti Barenaked Islam, Western Free Press, dan status-status Facebook, Sting dianggap "...memberikan penghormatan kepada para teroris muslim itu."

Tentu Sting menyangkal segala tudingan itu. Dalam wawancara dengan Agence France Presse yang kemudian dimuat ulang di situs Arab News, Sting menyatakan bahwa "Inshaallah" adalah lagu yang menggambarkan penyerahan diri. "Jika tuhan berkehendak, maka jadilah," katanya. Lebih lanjut, Sting tidak memahami tentang situasi politik terkait isu pengungsi ini.

"Tapi jika benar-benar ada solusi, ia harus berakar pada empati, contohnya untuk para korban perang di Suriah, korban kemiskinan di Afrika, dan mungkin korban pemanasan global di masa depan," katanya.

Apapun itu, album ini memang tak istimewa. Tapi cukup layak diberikan tepuk tangan, sekaligus sebagai monumen untuk menyambut kembali Sting ke rumah yang membesarkannya: rock.

Baca juga artikel terkait STING atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Indepth
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani