tirto.id - Jika Anda masih muda, mapan, belum punya pasangan, dan kebetulan tinggal di Nigeria, sebaiknya jangan gunakan Tinder untuk mencari teman kencan. Bukan apa-apa, di Lagos, kota dengan populasi terpadat di Nigeria, Tinder hanya lazim digunakan para perempuan muda yang mencari om-om nakal, pekerja seks komersial, atau mereka yang kebelet ingin selingkuh.
Stereotip ini telah mengakar di Nigeria, sebagaimana tertulis dalam artikel Economist, "The Unwritten Rules of Nigerian Dating". “Teman-teman mengira aku sudah tidak waras atau mencari kesempatan agar dibunuh,” kata seorang pengacara perempuan di artikel tersebut.
"Pertama kali saya mendaftar [di Tinder], saya menemukan tiga laki-laki yang saya kenal yang sudah menikah," ujar Efua Oyofo, si empunya blog Dating While Nigerian.
Perancis: Kenal Dulu, Seks Kemudian
Stereotip perkencanan di berbagai negara adalah diskursus menarik, terutama jika dibandingkan dengan tempat lain. Tabrakan kultural ini membuat proses menjalin relasi tidak sekadar bagaimana menumbuhkan rasa cinta satu sama lain. Hal menarik lainnya, stereotip perkencanan di suatu tempat tidak segendang-sepenarian dengan stereotip masyarakat/individu yang selama ini dikenal dari negara tersebut.
Orang Perancis, misalnya, oleh kalangan Eropa lain dicap arogan, pengecut, sauvinis, dan cenderung erotomania (semacam kelainan yang merasa orang lain selalu mencintai mereka). Namun, dalam hal perkencanan, seorang Perancis rupanya sangat kasual, klasik, dan cenderung memandang relasi sebagai sesuatu yang serius.
Dalam bahasa Perancis pun tidak ditemukan padanan kata yang tepat untuk “kencan” atau “dating”. Kosakata yang paling mendekati makna “kencan” adalah “rendez-vous galant”, yang jika diterjemahkan kurang lebih menjadi “janjian”, demikian ungkap Jennifer Seiter dari Exboyfriendrecovery yang menyebut dirinya sebagai “relationship therapist”, kepada Insider.
Namun begitu, amat jarang bagi orang Perancis mendekati seorang asing, terlebih mengajaknya “janjian”. Lantaran tipikal mereka cenderung old-fashioned, maka “janjian” keluar hanya dilakukan jika mereka sudah betul-betul saling mengenal satu sama lain. Ketika sudah “janjian” pun juga biasanya orang Perancis tidak langsung pergi berduaan, melainkan bersama dengan rekan-rekan lain. Hal ini, seturut laporan Complete France, adalah sesuatu yang lazim di negeri Napoleon tersebut.
Pemahaman old-fashioned ini nyaris terjadi di semua aspek perkencanan. Sebagaimana dikatakan Margaux Chetrit, pakar asmara asal Perancis: “Laki-laki cenderung aktif dan agresif, sementara wanita bersikap pasif. Laki-laki Perancis diharapkan agar mengejar dengan penuh semangat, lalu para wanita akan bersikap malu-malu dan menunjukkan wajah memerah ketika digoda.”
Ketika kemudian relasi telah terjalin serius, maka siapapun orang dari luar Perancis akan dengan mudah mengetahuinya karena mereka kerap menunjukkan kemesraan secara vulgar di tempat umum. Hal ini sebetulnya bukan sesuatu yang mengherankan. Bukankah dari Perancis pula dunia mengenal istilah French Kissing?
Islandia: Seks Dulu, Kenal Kemudian
Masyarakat Islandia memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang amat biasa, bahkan dibanding negara Eropa lain yang juga tidak menabukan hal tersebut. Jika Anda berada di bar dan tengah dalam kondisi separuh tipsy, mengajak seseorang bercinta setelah berkenalan tidak akan membuat Anda digampar atau dianggap gila. Demikian menurut tiga seri video laporan Dating Beyond Borders bertajuk "Single’s Guide to Iceland".
Begitu sederhananya pemaknaan hubungan seksual bagi masyarakat Islandia (salah satunya) karena faktor luas dan jumlah populasi manusia di negara tersebut. Dengan luas 103,000 km2 dan jumlah penduduk yang hanya 339,575 jiwa (bahkan lebih sedikit dibanding jumlah penduduk Jakarta Timur, yakni 923.299 jiwa), setiap orang Islandia nyaris dapat saling mengenal satu sama lain, minimal separuh dari jumlah populasi, dan acap bertemu setiap hari. Jika sudah begitu, buat apalagi memandang tabu hubungan seksual?
Budaya seks kasual di Islandia telah menciptakan mikrokosmos seksualitas yang unik hingga kemudian melahirkan semacam diktum "bercinta dahulu, berkenalan kemudian". Bahkan menurut Sigga Dogg, penulis yang fokus pada tema-tema seksual, sekaligus Presiden Asosiasi Seksologi Islandia, konsep berkencan sebelum berhubungan adalah sesuatu yang relatif baru di negaranya.
Betul bahwa tidak semua orang Islandia mengalami hubungan seksual dengan cara sesederhana itu. Namun, lanjut Dogg, mayoritas dari mereka sudah pasti akan setuju bahwa reputasi negara tersebut dapat dilabeli sebagai tempat “oasis seksual”. Ia menambahkan: “Kami tidak menggunakan seni berkencan ala Amerika yang lebih banyak mengobrol dengan orang asing dalam keadaan sadar di siang hari. Kami lebih suka menelusuri media sosial atau mabuk dan lantas mengajak bercinta."
Sejak kapan Islandia memahami konsep perkencanan dengan pemaknaan hubungan seksual sedemikian kasual? Menurut seksolog, penulis, sekaligus figur kenamaan di negara tersebut, Yvonne K. Fulbright, hal itu telah terjadi sejak berabad-abad nan lampau. Ia mengatakan:
“Penerimaan budaya terhadap seks bermula sejak 1707, ketika wabah penyakit menular (cacar) mengurangi jumlah penduduk Islandia secara drastis. Dalam upaya untuk mengisi Islandia kembali, Raja Denmark menyatakan bahwa setiap wanita muda Islandia sah untuk melahirkan enam anak, terlepas dari status perkawinannya. Tindakan ini tidak dilihat sebagai tindakan yang memalukan, degradasi moral, atau menuai reputasi buruk, melainkan sebagai sesuatu yang harus dipuji atas nama patriotisme.”
Hanya saja, dengan begitu kecil dan sedikitnya jumlah penduduk Islandia, tidak hanya pemaknaan hubungan seksual yang menjadi begitu kasual. Kencan—dalam maknanya yang tradisional seperti bertukar nomor telepon dan janjian di suatu tempat, misalnya—justru dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Selain itu, banyak orang luar menganggap bahwa di Islandia sering terjadi perkencanan (sekaligus berhubungan seksual) dengan sosok yang masih memiliki hubungan darah satu sama lain.
Khusus poin kedua, anggapan tersebut sama sekali tidak salah. Kendati mayoritas orang di Islandia belum tentu mengenal satu sama lain, tapi cukup banyak dari mereka yang menyadari tengah berpacaran dengan sepupunya sendiri. Kisah pada 2007 berikut akan membuat Anda tercengang.
Syahdan, seorang wartawan perempuan bernama Eygló Svala Arnarsdóttir tidak percaya bahwa ia dan pacarnya memiliki hubungan darah. Suatu hari dikejutkan oleh surat elektronik yang dikirim dari kakaknya.
“Saya membacanya lalu menemukan daftar nama dan tanggal lahir—silsilah keluarga. Saya mengenali beberapa nama dan segera menyadari bahwa ini adalah daftar leluhur saya dan leluhur pacar saya pada abad ke-18. Tampaknya kita berbagi nenek moyang yang sama bernama Gudrún Einarsdóttir. Dia lahir pada 1742 dan meninggal pada 1784. Saya berasal dari putranya, Einar (lahir 1762), dan pacar saya dari putrinya, Hallfrídur (lahir 1770).”
Masyarakat Islandia bukannya tidak menyadari hal ini sebagai masalah. Karena itu, sebuah perusahaan teknologi yang menamakan diri mereka Sad Engineers Studios membuat sebuah aplikasi yang berfungsi untuk mencari tahu apakah seseorang tengah berkencan dengan saudaranya sendiri atau tidak. Nama aplikasi tersebut adalah Íslendingabók.
Dengan menggunakan database silsilah keluarga di Islandia yang telah ada sejak 1000 tahun lamanya, Anda cukup mengetik nama sendiri dan pasangan di Íslendingabók lalu akan segera keluar hasilnya. Bahkan bisa juga dengan mendekatkan ponsel masing-masing melalui bluetooth. Fitur khusus untuk mengetahui ini dinamakan "Sifjaspellsspillir," atau "Incest Spoiler."
Namun, hal terbaik dalam budaya seksual di Islandia adalah persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki menjadi sejajar sepenuhnya. Faktanya memang demikian. Berdasarkan World Economic Forum’s 2016 Global Gender Gap Report, Islandia menjadi negara dengan tingkat bias gender paling rendah. Dan capaian ini sudah terjadi selama delapan tahun berturut-turut!
Jika kebetulan Anda seorang laki-laki yang datang ke Islandia lalu berkesempatan bercinta dengan perempuan di sana, tak usah terkejut seumpama keesokan harinya ia nyelonong pergi sambil mengatakan: “Terima kasih, ya, tapi kayanya kita enggak usah berhubungan serius, deh”.
Tidak perlu pula ada sakit hati, gosip siapa-pernah-meniduri-siapa, terlebih cibiran bagi perempuan. Memang semerdeka itulah pemahaman gender di Islandia, tak hanya dalam konteks perkencanan, tetapi juga di setiap aspek kehidupan.
Maka perlukah heran jika Guardian menyebut negara itu seperti “surga para feminis”?
Editor: Ivan Aulia Ahsan