tirto.id - Kehadiran internet memudahkan umat manusia dalam berbagai hal, termasuk mencari jodoh. Coba amati lingkaran pertemananmu, pasti ada beberapa pasangan yang kisah asmaranya dimulai dari pertemuan via aplikasi kencan.
Nyatanya, mendapatkan pasangan potensial tak semudah menggeser foto wajahnya di layar smartphone ke arah kanan.
Pencarian jodoh, terutama melalui aplikasi kencan daring, bukan tidak mungkin berujung pada ‘dating burnout—kelelahan berkencan'.
Istilah ini menggambarkan ketidakpedulian, keputusasaan, dan dalam beberapa kasus bahkan depresi, yang menguras tenaga saat berkencan atau gara-gara memikirkan akan menjalani pertemuan romantis yang mungkin berujung gagal lagi.
Baik laki-laki maupun perempuan mengalami hal serupa. Elizabeth (36) misalnya, mengakui sangat kesulitan meskipun tersedia banyak aplikasi cari jodoh dalam genggaman tangan.
"Kebanyakan orang di aplikasi kencan tidak serius. Mereka hanya mencari HTS (hubungan tanpa status) yang berujung seks, jadi bukan mencari jodoh untuk hubungan jangka panjang."
Desain grafis ini mengakui, sekarang ada banyak aplikasi yang memudahkan dalam mencari jodoh. Namun, menurutnya, diberi banyak pilihan dan kemudahan akses yang menimbulkan kesan instan pada akhirnya justru membuat orang-orang cenderung lebih mudah mengakhiri hubungan.
"Mudah bertemu orang baru, namun toleransinya pun rendah sehingga saat muncul ketidakcocokan yang sepele, langsung cut off hubungan karena mudah mencari penggantinya," terang Elizabeth.
Elizabeth kemudian meninggalkan aplikasi kencan dan memutuskan untuk bergabung dalam komunitas, seperti Single Katolik. Di sanalah, ia merasa lebih nyaman mencari kenalan.
"Pada akhirnya, saya memilih berteman dulu, mengenal sifat teman-teman yang ada di situ. Lama-kelamaan ada yang cocok, baru pendekatan," ungkapnya.
Elizabeth menjelaskan, selama proses pencarian jodoh, ia melihat jumlah perempuan dan laki-laki sama banyaknya. Dalam pengamatannya juga, ia menganggap laki-laki lebih pasif.
"Cowok lebih mengamati dulu, dan tidak berani terang-terangan mencari jodoh. Ada sifat gengsi untuk mengakui bahwa mereka juga sedang cari jodoh," jelasnya.
Kesulitan mencari jodoh melalui aplikasi kencan juga dirasakan oleh Ferry (35).
"Saya akhirnya menghapus aplikasi Tinder karena menemukan banyak akun fake atau bertemu dengan orang-orang yang jauh dari ekspektasi saya," ungkap laki-laki yang berprofesi sebagai PNS ini.
Meski orang tua Ferry tidak mendesaknya untuk segera menikah, pertanyaan 'kapan nikah' justru berdatangan dari teman-temannya. Hal itu Ferry tanggapi santai. Dia ogah tergesa-gesa.
"Untuk menikah harus siap secara mental dan saya memang mencari yang sepadan," papar Ferry.
Lebih Sulit untuk Perempuan
Menurut dating coach yang berbasis di Boston, Nick Notas, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama kesulitan di dunia perkencanan.
Nick menulis, selama ini laki-laki dituntut untuk mengambil inisiatif dalam suatu hubungan: dari perkenalan diri sampai menyampaikan minat duluan. Kelak, merekalah yang biasanya menanggung risiko malu saat perempuan pujaannya menolak atau tidak menunjukkan ketertarikan.
Nah, di sisi lain, memang betul perempuan lebih sering didekati oleh laki-laki. Sayangnya, tak sedikit yang dipertemukan dengan laki-laki kurang ajar yang sebatas menginginkan seks. Dalam hal ini, perempuan sadar mereka dilihat seperti objek yang harus dimenangkan, alih-alih pribadi untuk dimanusiakan.
Setelah menolak laki-laki seperti itu, sebagian perempuan masih dibayangi ketakutan karena ada saja yang sulit menerima penolakan dan terus mengejarnya sampai terkesan jadi teror.
Di balik kesulitan yang sama-sama dialami perempuan maupun laki-laki dalam mencari jodoh, beberapa statistik menyorot adanya tekanan lebih kuat yang dirasakan oleh perempuan.
Salah satu akun Instagram yang memfasilitasi pencarian jodoh di Indonesia, taarufku.id, menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang mencari jodoh lebih banyak daripada laki-laki. Sepanjang bulan Mei misalnya, setidaknya terdapat 250 profil perempuan yang ditampilkan di akun tersebut, dua kali lipat lebih banyak daripada profil laki-laki.
Selain itu, laporan Populix yang rilis Januari kemarin mengungkap 52 persen perempuan Indonesia menggunakan aplikasi kencang daring, sedikit lebih tinggi dari laki-laki yang sebanyak 48 persen.
Di Amerika Serikat, melansir survei dari Pew Research Center pada 2020, hampir separuh responden menganggap aktivitas berkencan menjadi semakin sulit dibandingkan jika dilakukan satu dekade lalu.
Pandangan tersebut lebih banyak diyakini oleh perempuan (55 persen) daripada laki-laki (39 persen). Banyak responden laki-laki maupun perempuan menganggap kesulitan berkencan ini berkaitan dengan fokus yang semakin besar pada tingginya kasus pelecehan dan penyerangan seksual.
Di lain sisi, survei terbaru terhadap 5.000 penduduk AS yang dirilis Forbes Health/ OnePoll mengemukakan hampir 60 persen responden memiliki pengalaman positif dalam berkencan selama lima tahun ke belakang.
Menariknya, sentimen positif ini lebih banyak dirasakan oleh responden laki-laki (68 persen) daripada perempuan (55 perempuan).
Merujuk pada berbagai temuan di atas, upaya mencari jodoh dan menjalani kencan tampaknya memang lebih menantang bagi sebagian perempuan.
"Gara-gara yang namanya patriarki, laki-laki dihargai secara tidak proporsional dalam budaya kita dan berpasangan dengan laki-laki dipandang oleh banyak perempuan sebagai tujuan utama dalam hidup,” ungkap Rosewarne.
"Inilah yang akhirnya menempatkan laki-laki di posisi yang lebih kuat," imbuhnya.
Rosewarne menjelaskan lagi, perempuan cenderung kesulitan menemukan cinta karena biasanya tertarik untuk berkencan dan memiliki anak bersama dengan laki-laki yang berusia sepantaran.
Sebaliknya, laki-laki cenderung lebih tertarik berkencan dengan perempuan yang lebih muda. "Sejak awal, inilah yang menciptakan dinamika dengan situasi lebih sulit bagi perempuan,” ujarnya.
Rosewarne menambahkan, "Ada lebih banyak ‘persaingan’ sehingga laki-laki bertindak lebih angkuh karena mereka diuntungkan oleh demografi.”
Perempuan zaman sekarang jauh lebih banyak yang teredukasi, terlebih dengan munculnya gelombang #MeToo dan topik percakapan wajar sehari-hari tentang pentingnya consent dan isu-isu terkait seks sampai misogini.
Alasan lainnya, bukan tidak mungkin, sejumlah perempuan masih menyimpan trauma luka masa lalu atau dihadapkan dengan terlalu banyak pilihan di depan mata, sehingga melepaskan calon pasangan mungkin dipandang sebagai jalan terbaik.
Perluas Pergaulan, Tetap Selektif
Terkait dengan kecenderungan lebih banyak perempuan yang berusaha mencari jodoh, Mahadsih Worowiranti, M.Psi., Psikolog, Psikolog Klinis di RS Telogorejo Semarang memiliki pandangan senada dengan Rosewarne.
Perempuan yang suka disapa Wira menambahkan, secara ilmiah, tantangan yang dihadapi perempuan juga terkait dengan unsur repoduktif.
"Perempuan memiliki sel telur yang seiring waktu semakin habis, berbeda dengan laki-laki yang bisa menghasilkan sperma, umur berapa pun. Mungkin itu alasan mengapa perempuan ingin segera mencari jodoh," ungkapnya.
Meski saat ini mencari jodoh bagi perempuan cukup menantang, bukan berarti tidak dapat dilakukan. Wira menekankan pentingnya memperluas pergaulan, mencari teman, dan bertemu orang baru secara langsung.
"Meski ada dating apps, kita tidak tahu profil sesungguhnya orang tersebut dan kenal di permukaan saja. Lebih bagus memperluas pergaulan, masuk ke komunitas yang sesuai minat kita."
"Selain itu, perlu meningkatkan kapasitas diri jika ingin mendapatkan pasangan yang sepadan," tambah Wira.
Tidak mudah mendapatkan pasangan ideal sesuai kriteria. Namun, alih-alih menurunkan standar, penting untuk tetap melangkah dengan selektif.
Menurut Wira, istilah dalam bahasa Jawa bibit bebet bobot masih relevan untuk dipertimbangkan dalam upaya mencari pasangan yang tepat.
"Pertama, jalin pola komunikasi yang baik, lihat apakah pasangan orang yang jujur atau tidak. Kedua, latar belakang keluarga. Menikah akan menyatukan dua keluarga. Bagaimana keluarganya? Akan lebih baik pasangan menceritakan masa kecilnya."
Ketiga, pasangan harus siap membicarakan masalah keuangan.
"Ada yang menganggap [keuangan] tabu. Namun jika niat menikah, harus dibicarakan di awal. Dari mana sumber penghasilan, spending money, dan rencana ke depan. Jangan sampai pasangan terlilit pinjol dan judol karena ini bisa menjadi pemicu perceraian dan masalah besar lainnya," pungkas Wira.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih