tirto.id - “Star Trek adalah… satu jam serial televisi yang dramatis. Aksi-petualangan-fiksi ilmiah.”
Kalimat itu jadi pembuka draf pertama Star Trek, 54 tahun lalu. Seorang kutu buku pecinta fiksi ilmiah, Gene Roddenberry, menulis naskah itu pada 11 Maret 1964. Isinya tentang petualangan sebuah kapal luar angkasa bernama “SS Yorktown” di Bima Sakti. Kata Roddenberry dalam draf pertama itu, Star Trek berkonsep serupa seperti Wagon Train, sebuah sinetron Amerika populer yang tayang pada 1957 sampai 1962.
“Ceritanya tentang sekomplotan karakter yang menjelajahi dunia yang ‘serupa’ dunia kita, untuk bertemu aksi-petualangan-drama,” tulis Roddenberry.
Sebulan kemudian, ia mempresentasikan draf tersebut pada Desilu Production, salah satu rumah produksi independen terbesar di Hollywood masa itu. Mereka menciptakan beberapa acara terkenal macam: “The Andy Griffith Show”, “The Untouchables”, “The Dick Van Dyke Show”, dan “I Love Lucy”.
Yang terakhir adalah sitcom populer yang dibintangi Lucille Ball, bos Desilu sekaligus salah satu pendirinya. Ball—salah satu perempuan paling berpengaruh di Hollywood pada era itu—konon juga orang paling berjasa bikin episode pertama Star Trek berjudul “The Man Trap” bisa tayang di NBC pada 8 September 1966, tepat hari ini 52 tahun lalu.
Dari Serial ke Waralaba
Cerita tentang petualangan luar angkasa memang bukan hal baru pada masa itu. Beberapa novel sudah lebih dulu masyhur dengan gagasan petualangan di luar angkasa macam The Voyage of the Space Beagle (1950), yang juga jadi inspirasi Roddenberry ketika membuat Star Trek. Tapi, genre tersebut masih jarang tayang di televisi. Lebih sering muncul di layar bioskop.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah bujet. Memproduksi latar jagat raya dan segala teknologi supercanggih dalam naskah Roddenberry tentu saja jadi tantangan lain. Ball juga bukan penggemar fiksi ilmiah, dan tak punya purwarupa yang bisa dijadikan contoh agar proyek “Star Trek” ini tak mandek dan bawa rugi belaka. Ia cuma bermodal percaya diri dan yakin pada naskah Roddenberry.
Di bawah telunjuk Ball, episode pilot Star Trek berjudul “The Cage” akhirnya rampung dalam hampir satu setengah tahun masa pengembangan ditambah produksi.
Sayangnya, NBC tak suka dengan alasan: “Terlalu bikin mikir.”
Sebelum menandatangani kontrak dengan NBC, Desilu juga sempat menawarkan hak tayang Star Trek pada CBS, tapi ditolak. Karena pada saat yang sama, stasiun televisi berlogo ekor merak itu sedang memproduksi Lost in Space (1965)—sinetron luar angkasa juga—ciptaan Irwin Allen (The Poseidon Adventure, The Towering Inferno).
Namun, NBC tak benar-benar membatalkan kontraknya untuk menayangkan Star Trek. Mereka hanya minta sedikit perombakan: dialog-dialog yang dianggap berat dalam “The Cage” dipotong dan ditukar sedikit adegan tarung. Nama “SS Yorktown” diganti “Enterprise”, sementara latar tahunnya yang semula dibikin Roddenberry 1995 atau 2995 dalam draf pertama diganti jadi sekitar periode 2660-an. Yang akhirnya menghasilkan “Where No Man Has Gone Before”.
Episode itu dibuka gambar sebuah kapal berbentuk aneh yang bergerak di luar angkasa. Suara narator lalu membuka perkenalan:
“Ini adalah perjalanan kapal ruang angkasa Enterprise. Misi lima tahunnya: untuk menjelajahi dunia baru yang asing, untuk mencari kehidupan baru dan peradaban baru, untuk berani pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi manusia sebelumnya—where no man has gone before.”
Buat milenial ujung yang hampir masuk golongan pertama Gen Z seperti saya, tentu saja episode itu terlalu dramatis, kuno, dan lambat. Belum lagi special effect-nya jauh dari canggih seperti yang sudah disediakan zaman ini. Tapi, buat Generasi X macam Marcus Berkmann—seorang jurnalis dan penulis yang juga Trekkie—tentu saja episode satu itu membawa nostalgia lain.
Ia yang sudah menonton sejak umur 9, menjadi bagian basis penggemar Star Trek golongan pertama, dan punya andil besar bikin sinetron ini jadi budaya populer yang dikultuskan hingga sekarang.
“Where No Man Has Gone Before” berhasil bikin Star Trek lanjut, setidaknya sampai tiga musim sebelum akhirnya ditarik NBC karena rating yang turun. “NBC memang menarik acara ini pada 1969, saat (musim berikutnya) acara ini dibatalkan, tapi Star Trek masih di sini bersama kita, 50 tahun kemudian,” tulis Berkmann dalam esainya merayakan separuh abad Star Trek di Independent.
Tiga musim pertama itu—yang kini disebut The Original Series—memang tak menggaet penggemar dengan jumlah besar, tapi berhasil menciptakan penggemar yang militan. Kisah-kisah komplotan Kapten Kirk, Spock, McCoy, dan awak Enterprise justru baru laku lewat adaptasi novel, komik, dan film yang terus dipelihara para penggemar. Ia berkembang jadi waralaba yang memamah biak penggemar-penggemar militan itu jadi banyak.
Pengaruh Star Trek selama lebih dari 5 dekade terakhir membuatnya masuk dalam deretan budaya populer: dikapitalisasi dalam 13 film, 7 serial televisi, puluhan gim, mainan, dan komik. Star Trek juga pernah punya atraksi di Las Vegas yang buka sejak 1998, dan tutup pada September 2008. Bahkan, film ke-13 Star Trek Beyond (2016) berhasil mendapat lebih dari 10 juta dolar AS—menjadikannya salah satu film waralaba dengan pendapatan terbanyak sepanjang sejarah.
Di film terakhir itu, Joe Taslim juga akhirnya jadi orang Indonesia pertama yang masuk dalam deretan aktornya. Ia bahkan punya adegan tarung yang panjang dengan Sofia Boutella (The Mummy, Kingsman: The Secret Service, Atomic Blonde).
Gambaran Optimisme Masa Depan
Salah satu yang bikin Star Trek menonjol dari sinetron serupa pada masanya adalah akar cerita yang dihidangkan naskahnya. Latar masa depan yang ditawarkan Roddenberry, dianggap Berkmann, datang dengan optimisme yang berbeda dari cerita-cerita fiksi ilmiah yang ada pada saat itu. Masa depan itu benar-benar maju.
“Dunia kita (di masa depan) sudah damai, uang telah dihapuskan (cashless), kemiskinan lenyap, kemanusiaan akhirnya benar-benar beradab. Kini kita (manusia) bertualang ke angkasa luar dalam misi perdamaian dan eksplorasi, bukan untuk menaklukkan (kolonialisme) tetapi karena keingintahuan belaka.
“Dan setiap masalah yang kita hadapi, kita selalu punya peluang untuk menyelesaikannya, kebanyakan dalam waktu kurang dari 50 menit waktu tayang saja,” ungkap Berkmann.
“Ya Tuhan, bahkan (ribut-ribut) agama telah ditinggalkan,” tambahnya.
Semesta masa depan dalam Star Trek memang menggambarkan peradaban manusia yang sudah madani. Roddenberry melihat manusia mampu berevolusi jadi spesies yang lebih toleran dan damai. Poin-poin itu akan sangat mudah terlihat. Misalnya saja dari keberagaman awak Enterprise.
Star Trek jadi sinetron pertama yang menghadirkan seorang wanita berkulit berwarna di posisi letnan sebagai salah satu tokoh utama. Letnan Uhura yang diperankan Nichelle Nichols waktu itu jadi salah satu aktris Afrika-Amerika pertama yang punya peran penting dalam sinetron berbujet besar. Tak cuma melengkapi poin representatif warga-warga minoritas, visi Roddenberry bahkan melihat feminisme sudah bukan barang asing di masa depan.
Dalam wawancaranya dengan TV Legends, Nichols bahkan tak sadar betapa besar peran itu, hingga ingin mengundurkan diri untuk musim kedua. Ia merasa lebih cocok melanjutkan kariernya di Broadway daripada sinetron fiksi ilmiah. Namun, suatu hari Martin Luther King Jr. datang pada Nichols dan mengingatkannya bahwa peran itu amat penting bagi orang-orang kulit gelap di Amerika yang jadi korban rasialisme.
“Tidakkah Anda melihatnya? Untuk pertama kali di televisi, kita (orang-orang kulit hitam) akan dilihat sebagaimana kita harusnya dipandang setiap hari. Sebagai seorang individu yang pintar, berkualitas, cantik, bisa menyanyi, dan menari, tapi juga bisa pergi ke luar angkasa,” kata Nichols mengulang kalimat MLK. “Kau belum pernah melihat yang begitu di teve sampai sekarang.”
Nichols cuma terpatung saat itu, dan tahu bahwa perkataan MLK adalah keniscayaan.
Sentimen kesetaraan itu tak cuma datang dari karakter Uhura, yang untuk generasi ini diperankan Zoe Saldana. Ada tokoh Hikaru Sulu yang merepresentasikan orang-orang Asia, dan bahkan karakter Komandan Spock—peranakan separuh manusia separuh alien etnis Vulcan. Lewat Spock, Roddenberry ingin bilang bahwa manusia dan spesies lain bisa bekerja sama—sebuah tanda besar bahwa persaingan dan pertikaian sesama Homo sapiens sudah bukan masalah lagi.
Enterprise jadi lambang tempat toleransi, feminisme, diplomasi, kedamaian bisa bersatu dan bekerjasama.
Editor: Ivan Aulia Ahsan