Menuju konten utama

Epos Opera Antariksa The Incal, dari Rahim Dune Menuju Layar Lebar

Dari materi proyek Dune yang terbengkalai, Jodorowsky menciptakan semesta The Incal. Tengah berproses menuju layar lebar.

Epos Opera Antariksa The Incal, dari Rahim Dune Menuju Layar Lebar
The Incal. FOTO/IMDB

tirto.id - Dune, novel karya Frank Herbert, telah terjual paling tidak 12 juta kopi di seluruh dunia. Pengaruhnya di ranah science fiction juga tidak main-main. Sedikit bukti: seri sci-fi terpopuler dunia Star Wars lahir salah satunya karena novel itu. Namun, butuh waktu lama hingga Dune diadaptasi ke layar perak.

Film pertama yang berangkat dari Dune mulai dikerjakan pada 1970-an dan tak pernah rampung. Film pertama Dune baru rilis pada 1985 atau ketika Star Wars telah merampungkan trilogi pertamanya. Sementara itu, miniseries-nya baru muncul pada 2000 di Sci-Fi Channel (kini Syfy).

Sebelum rilisnya Dune versi sutradara Denis Villeneuve pada 2021, adaptasi layar lebar pertamanya digarap oleh David Lynch. Sebelum itu, ada pula upaya dari Alejandro Jodorowsky yang tak pernah rampung.

Sederet studio Hollywood menolak proyek Dune yang sedang digarap Alejandro Jodorowsky. Beberapa studio menolak karena film garapan sutradara keturunan Cile-Perancis itu bakal berdurasi belasan atau puluhan jam. Sebagian lagi menolak karena faktor Jodorowsky belaka—dia bukan sutradara favorit para studio untuk diajak bekerja sama.

Kala itu, Jodo telah membentuk tim dan melakukan tahap prapoduksi. Karena itulah, meski tak rampung, usaha Jodo ini patut dikenang.

Lagi pula, itu bukanlah usaha setengah-setengah. Pasalnya, Jodo telah merekrut nama-nama besar yang kemudian disebutnya sebagai "kesatria spiritual" untuk mengadaptasi kisah sci-fi rekaan Frank Herbert itu. Sebutlah mulai dari dari seniman H.R. Giger hingga Pink Floyd. Dan yang terpenting, tim kreatif Jodo telah menghasilkan tumpukan tebal kertas konsep, artwork, dan storyboard untuk Dune. Semua itu dirancang dengan mendetail oleh seorang seniman Perancis ternama, yakni Jean Giraud alias Moebius.

"Mengapa tak kita jadikan komik saja?" Jodo bertanya kepada Moebius, seperti yang tertuang dalam dokumenter berjudul Jodorowsky's Dune (2013) arahan sutradara Frank Pavich. Dia bermimpi terbang ke angkasa, dipanggil oleh dua piramida tumpang tindih berwarna hitam dan putih—memberikan visi untuk membuat ceritanya sendiri. Dune yang terbengkalai itu pun menempuh jalannya sendiri, tak jadi berakhir sebagai proyek mangkrak.

Maka Jodo mulai mendiktekan cerita dan Moebius mengguratkan ribuan ilustrasi yang berangkat dari rancangannya untuk Dune. Sebuah epos antariksa berbahasa Perancis yang dijuduli L'Incal (The Incal) pun mulai terbit pada 1980.

Ia tentu bukan kisah sci-fi biasa-biasa saja. Pengaruh dan jejak novel grafis yang diterbitkan oleh Humanoids ini bisa ditemukan pada karya-karya populer seperti Blade Runner, The Matrix, hingga Nausicaä of the Valley of the Wind (1984) arahan Hayao Miyazaki. Kini, tiga dekade kemudian, The Incal akan menyusul Dune ke ranah layar lebar.

L'Incal, Sebuah Epik Space Opera

Seorang laki-laki kekar bersanggama dengan perempuan pirang yang memiliki lingkaran halo pula tubuh yang memancarkan cahaya. Sedari mula, volume pertama The Incal yang berjudul L'Incal Noir ("The Black Incal") telah membuat para pembaca mengantisipasi kisah dan ilustrasi macam apa yang akan hadir.

Kau mendapati dunia futuristik dengan desain mengagumkan yang digambarkan Moebius. Pada dasar cerita, kau mendapati seorang detektif biasa-biasa saja—termasuk dari segi fisik—bernama John Difool (berangkat dari kartu tarot "The Fool"). Dia sama sekali tak berniat untuk turut serta menyelamatkan galaksi dan lebih suka bersenang-senang, semisal tidur-tiduran di apartemennya dengan rokok, wiski, dan seks bersama robot yang bisa dikustomisasi bagian tubuhnya.

John digambarkan sebagai spirit manusia pada bentuk paling primitif. Dia bahkan tak peduli sama sekali dengan keadilan.

Dunia The Incal diisi oleh makhluk-makhluk unik, mulai dari burung camar yang bisa berkhotbah, robot dan teknologi yang dibangun dari jasad warga yang meninggal, ubur-ubur yang menjadi pemandu kosmik, hingga hutan kristal yang bernyanyi meninabobokan. Di sana juga ada pencapaian sains yang memungkinkan supreme leader untuk transplantasi tubuh, acara televisi aneh semacam Who Wants Execute A Rebel atau Piss and Feces. Dan akhirnya, Incal itu sendiri.

Di semesta yang riuh itu, perang ras antargalaksi menanti. Pemberontakan dan kudeta dimasak dan dilangsungkan. Dan siapa nyana, John, karakter utama kita yang biasa-biasa saja itu adalah sosok terpilih, sang mesias yang dibutuhkan untuk mengembalikan keadilan di galaksi.

Di antara plot petualangan John dan rekan-rekannya, sorotan kerap berpindah menuju situasi dan karakter-karakter sampingan di banyak tempat—entah itu di dalam mesin, planet berbeda, atau pojokan galaksi entah mana. World building dengan ceritanya masing-masing yang kelak berkelindan menuju pertempuran sesungguhnya, sesederhana urusan terang melawan gelap.

Banyak perkara yang mesti diserap pembaca sekaligus. Kadang kala, The Incal terasa terlalu berat untuk dikunyah. Ini tak lain lantaran kisah John memuat sejumlah metafora dan inspirasi dari agama, filosofi, konsep, dan nilai-nilai kehidupan. Petualangan John sejatinya ialah perjalanan spiritual sederhana seorang manusia yang digambarkan dalam skala kosmos nan luas.

Adalah ilustrasi rekaan Moebius yang memudahkan pembaca untuk mencerna segala konsep tinggi nan ambisius itu. Warna-warnanya cerah, tapi tertahan. Visual karakternya dibuat kartun dan dikontraskan dengan latar dunia atau bentuk dan pola yang mendetail.

Begitu juga halnya dengan pelbagai kisah-kisah sampingan yang mengambil alih sejenak atensi dari John Difool dkk. Perpindahan-perpindahan itu, andai lebih banyak lagi porsinya, barangkali akan bikin para pembaca yang tak sabaran menutup lembaran The Incal lebih awal dan melewatkan struktur dan plot utamanya.

Namun, Moebius selalu bisa membuat kita tidak mungkin mengabaikan John dan ceritanya. Segala perjalanan baik simbolis maupun harfiah, yang transendental maupun duniawi, yang dijalani sang protagonis medioker tetap bertahan menjadi daya tarik utama komik ini, sebagaimana banyak kisah antihero lainnya.

Kau bisa membacanya dengan santai, sekadar menyusuri gambar dan teks mengikuti John Difool mencari pencerahan. Kau pun bisa menyerapnya dengan lamat-lamat dan mendalam, mengaitkan segala adegan dengan konsep psikologi tertentu. The Incal bisa dikatakan sebagai suatu pengisahan liar yang menyisakan banyak ruang untuk beragam interpretasi, sesuai pemahaman dan pengetahuan pembacanya.

The Incal bisa jadi membuatmu merenung barang sebentar akan proses kelahiran yang diwarnai kebencian, intrik politik kekuasaan, atau urusan personal seperti menghadapi monster dalam diri, penyerahan diri untuk pencerahan hidup dan kebaikan yang lebih besar.

Infografik The Incal

Infografik The Incal. tirto.id/Sabit

Menuju Layar Lebar

Dengan kandasnya proyek adaptasi Dune, The Incal menjelma panggung bagi Jodorowsky menuangkan imajinasi maupun keeksentrikannya dalam ranah sci-fi. Bagaimana pembuat El Topo dan Holy Mountain ini memadukan spiritualitas dan kegemarannya akan metafora, analogi, dan simbolisme esoterik ke dalam space opera?

Novel grafis The Incal terdiri dari enam volume yang kelak diikuti tiga judul lain, yaitu Before the Incal, After the Incal, dan Final Incal yang dirilis dalam rentang waktu 1980 sampai 2014. Pada 2021–31 tahun setelah buku pertamanya dipublikasikan, Jodorowsky mengumumkan bahwa The Incal untuk pertama kalinya bakal menyongsong layar lebar.

Publik akhirnya mendapatkan semacam jawaban untuk pertanyaan, "Bagaimana seandainya Dune versi Jodorowsky terealisasi?"

The Incal tentu tak akan menjadi jawaban mutlak. Pasalnya, meski bisa dibilang berangkat dari Dune dan menyelipkan berbagai pengaruhnya, The Incal adalah kisah yang sepenuhnya berbeda. Dan kini, ditangani orang yang berbeda pula.

Jodo mendaku sudah jauh lebih bijak—dan tua—untuk merelakan The Incal digarap oleh sutradara lain. "Dia tak akan mengerjakan Incal-nya Jodorowsky, dia akan membuat Incal-nya Waititi," ujar sang sutradara.

Agak mengejutkan memang mendapati nama Taika Waititi di bangku sutradara The Incal. Bagaimana pun, dia dikenal sebagai pembuat judul-judul komedi seperti What We Do in the Shadows hingga Our Flag Means Death. Selain berpengalaman menangani keanehan—yang bakal banyak ditemui dalam The Incal, sang sutradara asal Selandia Baru setidaknya pernah juga berurusan dengan kisah antariksa. Seperti tatkala dia menyutradarai salah satu episode The Mandalorian dan Thor: Ragnarok (2017).

Meski begitu, agaknya tetap menarik untuk menantikan bagaimana filmmaker yang suka main-main dengan sejarah dan stereotipe ini bakal menggarap kisah The Incal. Patutlah kita menanti bagaimana Waititi memilah-milah dan memecah kerumitan The Incal untuk menjadikannya tontonan yang menarik—betul-betul menjadi "Incal-nya Waititi".

Jika sukses di mata publik maupun bisnis, bukan tak mungkin ia akan menjadi tonggak untuk kelanjutan kisah Incal atau bahkan menjadi pembuka bagi semesta Jodoverse yang memuat prekuel, sekuel, dan spin-offs seperti Metabarons dan Technopriests ke dalam film maupun serial TV.

Baca juga artikel terkait THE INCAL atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi