tirto.id - Pekan terakhir Premier League 2005-2006, Tottenham Hotspur melawat ke markas West Ham United. The Lilywhites kala itu berada di peringkat keempat dengan perolehan 65 angka, unggul dua angka dari Arsenal yang berada di peringkat kelima.
Sejak melakukan chek-in di hotel Marriot West India di Canary Wharf, London, satu hari menjelang pertandingan, para pemain telah melakukan perhitungan matematis: jika meraih angka yang sama dengan Arsenal, maka merekalah yang akan lolos ke Liga Champions Eropa karena berhasil finis di atas rivalnya tersebut.
Namun, tidak hanya itu. Keberhasilan tersebut juga punya arti lain: Spurs akan mengakhiri tradisi St. Totteringham’s Day yang telah berlangsung tak putus sejak tahun 1995.
Untuk menyambut pertandingan penting itu, para pemain Spurs lantas menjalani malam di hotel dengan antusiasme yang agak berbeda. Hanya saja, setelah makan malam, keanehan tiba-tiba muncul: sejumlah pemain Spurs tak bisa tidur, mereka muntah-muntah, dan tak tahu harus berbuat apa.
Pagi hari menjelang pertandingan sejumlah pemain Spurs tersebut lantas tampak lemas tak berdaya. Siang harinya, ketika waktu berkumpul untuk membahas pertandingan tiba, mereka bahkan belum memperlihatkan tanda-tanda kalau sudah baikan.
“Saat aku memasuki ruang rapat,” kata Michael Carrick dalam biografinya yang berjudul Between The Lines (2018), ”ruangan itu justru tampak seperti ruang tunggu di sebuah rumah di rumah sakit.”
Ada sekitar tujuh sampai delapan pemain Spurs, termasuk Michael Carrick, yang masih dalam keadaan kacau. Apakah mereka keracunan? Terkena virus? Atau... ? Tidak ada yang tahu. Kelak, saat media-media Inggris menyebut peristiwa itu sebagai “Lassagna-Gate”, Carrick menjelaskan bahwa label itu hanya digunakan untuk mendramatisasi cerita.
Pihak Spurs kemudian memohon kepada FA agar pertandingan melawan West Ham ditunda “selama satu hari, atau setidaknya selama empat jam untuk memberikan kesempatan pemain-pemain itu sembuh.” Sayangnya, FA menolak. Spurs tetap bertanding, dan kalah 2-1. Sementara itu, di Stadion Highbury, Arsenal berhasil menggasak Wigan 4-2.
Maka, Spurs pun akhirnya gagal lolos ke Liga Champions Eropa, finis di bawah Arsenal, dan yang paling menyakitkan, fans Arsenal tetap merayakan St.Totteringham’s Day seperti yang sudah-sudah.
Rivalitas: Pada Mulanya adalah Stadion
St.Totteringham’s Day -- yang merupakan pelesetan dari nama hari dalam Kalender Liturgi -- mulai dicetuskan oleh Julian Shulman, salah seorang fans Arsenal. Shulman pertama kali menyebut istilah ledekan untuk para penggemar Spurs itu di forum penggemar Arsenal, Arseweb.com, setelah The Gunners berhasil finis di atas The Lilywhites pada tahun 2002.
Setelah itu, para penggemar Arsenal di manapun akan menggemakan St. Totteringham’s Day saban klub kebanggaan mereka berhasil finis di atas rivalnya tersebut di EPL. Kadang, hari perayaan itu bisa datang lebih cepat atau, seperti pada musim 2005-2006, juga bisa datang lebih lambat.
Apapun itu, perayaan St. Totteringham’s Day tetaplah menjadi semacam pengukuhan: rivalitas antara Spurs dan Arsenal untuk jadi penguasa di London Utara akan terus berlangsung
Menurut Jack Pitt-Brooke, dalam tulisannya di The Athletic yang berjudul “The Architect of The North London Derby... ”, rivalitas antara Spurs dan Arsenal bermula ketika Henry Norris membeli Arsenal pada tahun 1910. Saat itu, tahu bahwa Arsenal tak berkembang di Woolwich, Norris langsung berencana memindah markas Arsenal ke London Utara, yang juga jadi rumah Spurs.
Rencana itu tentu saja membuat Spurs naik pitam. Takut kalau fans mereka berpindah seragam, Spurs langsung melakukan segala upaya untuk mencegah relokasi tersebut. Salah satu caranya adalah memasang iklan di TottenhamHerald, salah satu surat kabar lokal.
“Untuk para fans, jangan pernah mendukung klub Norris. Mereka seharusnya tidak boleh berada di sini,” tulis iklan tersebut.
Namun, karena Norris memiliki banyak uang dan punya koneksi dengan para petinggi sepakbola Inggris, pencegahan yang dilakukan Spurs ternyata sia-sia belaka. Arsenal benar-benar pindah ke London Utara, membangun Stadion Highbury, dan berhasil mencuri perhatian sebagai fans Spurs.
Dan tidak berhenti di situ saja.
Setelah Perang Dunia Pertama berakhir, otoritas sepakbola Inggris berencana melakukan reorganisasi ulang liga untuk musim 1919-1920. Jika semula Divisi Satu diikuti oleh 20 kontestan, mereka ingin menambah kontestan jadi 22. Namun, reorganisasi akhirnya urung dilakukan karena minimnya stadion yang layak digunakan.
Dari sana Norris kemudian curi-curi kesempatan. Ia meyakinkan ke para petinggi sepakbola Inggris bahwa Arsenal layak bermain di Divisi Satu. Arsenal memang hanya bermain di Divisi Dua pada musim 1914-1915, musim terakhir sebelum liga dihentikan perang. Namun, Norris beralasan: kualitas Stadion Highbury lebih bagus daripada kebanyakan stadion milik tim-tim divisi utama lainnya.
Spurs, sekali lagi, tak terima dengan ide tersebut. Pokok masalahnya, jika ide Norris itu sampai disetujui, Spurs -- yang berada di posisi paling buncit Divisi Satu tepat sebelum Perang Dunia Pertama Dimulai -- akan menggantikan tempat Arsenal di Divisi Dua.
Namun, sama seperti sebelumnya, petinggi sepakbola Inggris lebih senang mendengarkan ide Norris daripada penolakan Spurs. Ahasil, mereka pun melakukan voting untuk menentukan siapa yang paling pantas bermain di Divisi Satu. Hasilnya: Spurs kalah karena hanya mendapatkan tiga suara, sementara Arsenal berhasil mendapatkan 18 suara.
Sejak kejadian itulah, Arsenal dan Spurs lantas hanya menggaransi satu hal: di setiap musim kompetisi, mereka akan selalu bersaing sampai titik darah penghabisan.
“Persaingan antara Spurs dan Arsenal adalah warisan bersejarah sepakbola Inggris. Setiap kedua tim bertemu, para penggemar bahkan akan melakukan segalanya. Emosi akan disetel hingga level ekstrem. Itu adalah waktu yang tepat untuk saling mengejek dan menyombongkan diri,” tutur Michael Carrick, yang pernah terlibat langsung persaingan antara Spurs dan Arsenal pada tahun 2004 hingga 2006.
Melepaskan Kutukan
Rivalitas panjang antara Arsenal dan Spurs itu, menurut Elliot Smith dari The Athletic, kemudian bisa membuat St. Totteringham’s Day jadi tradisi sempurna di dalam sepakbola. Penyebabnya, tulis Ellis, “St Totteringham’s Day adalah wujud kombinasi dua esensi utama dalam rivalitas sepakbola: triblaism (kesadaran akan kesetiaan terhadap klub) dan shadenfruede (rasa puas saat hal buruk menimpa orang lain).”
Maka, Elliot pun mengambil kesimpulan bahwa tradisi ini sebetulnya tak selalu berarti buruk bagi Spurs.
Tentu saja, karena tak mau terus mendapatkan ejekan dari fans Arsenal dan ingin menyudahi kutukan St Totteringham’s Day yang telah bertahan selama 22 tahun berturut-turut (1995 hingga 2017) -- Spurs akhirnya berbenah. Dari mulai gonta-ganti pelatih, mengatur kebijakan transfer, hingga berinvestasi besar-besaran untuk membangun stadion baru yang tak kalah megah dari kandang sang rival, semua mereka lakukan.
Hingga akhirnya usaha mereka menuai hasil di waktu dan tempat yang sangat tepat: musim 2016-2017, di White Hart Lane, Spurs mengalahkan Arsenal dengan skor 2-0. Fans Spurs pun lalu ganti meledek fans Arsenal dengan menyebut hari itu sebagai “St. Arse’s Day”. Dan sambil merujuk ke Arsene Wenger, pelatih Arsenal saat itu, mereka juga menyanyikan sebuah yel-yel dengan amat gembira: "We Want Wenger to Stay".
Namun, tidak hanya menyudahi kutukan St. Totteringham’s Day, Spurs akhirnya juga finis di peringkat kedua dan berhak mendapatkan satu tempat di Liga Champions Eropa. Sementara itu, Arsenal akhirnya nangkring di peringkat lima dan hanya akan berlaga di Liga Europa, kompetisi yang acap dianggap khusus untuk klub-klub kelas dua di Eropa.
Setidaknya sampai saat ini, rasa-rasanya Spurs berhak mendaku sebagai Raja London Utara.
Editor: Eddward S Kennedy