Menuju konten utama
29 September 1981

Bill Shankly: Mati Patah Hati, Abadi karena Legasi

Bill Shankly sangat mencintai Liverpool. Keputusannya mengundurkan diri dari klub itu membuatnya patah hati.

Bill Shankly: Mati Patah Hati, Abadi karena Legasi
Ilustrasi Mozaik Bill Shankly. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bill Shankly mengundurkan diri sebagai manajer Liverpool pada 12 Juli 1974, sebulan setelah The Reds menjuarai Piala FA. Dia tidak menduga jika keputusannya membawa dampak luar biasa bagi dirinya hingga hari kematiannya.

Saat itu, Shankly bukan sekadar manajer sepak bola yang hebat. Dia dianggap sebagai Muhammad Ali dunia sepak bola, seorang karismatik yang larik-larik ucapannya memukau dan inspiratif. Bagi pendukung Liverpool, dia adalah sosok mistis layaknya dewa.

Saat Shankly mengundurkan diri, para pendukung Liverpool terguncang dan menangis, lalu membanjiri telepon klub dengan harapan itu kabar palsu belaka. Bahkan sebuah pabrik setempat mengancam akan mogok jika Shankly benar-benar mundur. Sayangnya, direksi klub mengonfirmasi bahwa mereka sangat terpaksa merestui keinginan Shankly.

Shankly sendiri tak butuh waktu lama untuk menyesali keputusannya. Dia sadar telah membuat kesalahan terburuk dalam hidupnya. Enam pekan setelah mengundurkan diri, Shankly bertanya kepada ketua klub John Smith apakah dia bisa kembali ke kursi yang ditinggalkan.

Pria kelahiran Glenbuck ini memang menjadi sosok yang berbeda usai memutuskan menanggalkan jabatan yang telah diembannya selama 15 tahun. Meski mengaku merasa lebih segar bugar karena lepas dari tekanan pekerjaan dan memiliki lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga, tetapi kehampaan menyergapnya ketika hari-harinya berlalu tanpa rutinitas sebagai seorang manajer sepak bola.

Shankly sangat terobsesi dengan sepak bola. Menurut Karen Gill, cucunya, dia memikirkan sepak bola dari pagi hingga malam. Jika sedang tidak ada pertandingan yang ditonton, maka dia akan membahasnya atau memainkannya. Lebih dari itu, dia terobsesi dengan Liverpool.

Alasan Shankly mengundurkan diri menjadi misteri yang abadi, tetapi dalam benak Shankly bahwa ketika dia memutuskan menanggalkan jabatan manajer bukan berarti dia meninggalkan klub dan kota Liverpool. Tidak dipungkiri bahwa dia berharap diberi peran lain dalam struktur klub, terutama di jajaran dewan direksi.

“Saya tetap ingin membantu Liverpool, karena klub itu telah menjadi hidup saya. Sayangnya, saya tidak diberi kesempatan," keluhnya.

Periode setelah pengunduran dirinya kemudian menjadi periode yang canggung. Dia masih suka datang ke Melwood. Awalnya hanya ingin memastikan Bob Paisley sukses meneruskan warisannya dan ikut dalam sesi latihan dengan dalih untuk menjaga kebugaran, tetapi pada akhirnya kebablasan ikut memimpin latihan.

Menurut eks kapten Liverpool, Tommy Smith, Shankly memang salah karena ikut memimpin latihan seolah-olah masih menjadi manajer sehingga Paisley merasa terganggu. Tetapi cara direksi lewat ketua klub untuk memintanya tidak lagi datang ke Melwood membuatnya terluka.

Dia pun mulai membanding-bandingkan perlakuan Liverpool terhadapnya dengan perlakuan Manchester United pada Sir Matt Busby. Ketika Busby pensiun pada 1969, dia diberi tempat di dewan direksi United dan terus terlibat dalam aktivitas klub.

Setahun setelah pensiun, Shankly menulis autobiografinya bersama John Roberts. Di buku itu, dia membandingkan perlakuan yang dia terima dari Liverpool, klub yang dia besarkan, dengan sambutan yang lebih hangat saat berkunjung ke Goodison Park dan Old Trafford.

“Saya diterima lebih hangat oleh Everton dibandingkan oleh Liverpool. Sungguh memalukan bahwa saya harus menulis hal-hal seperti ini tentang klub yang saya bantu bangun menjadi seperti sekarang ini”

Shankly memang memiliki hubungan yang sulit dengan direksi klub pada saat menjadi manajer. Ada beberapa momen pertikaian selama 15 tahun mereka bersama. Shankly kecewa luar biasa saat Johnny Morrissey dijual ke Everton pada 1962. Dia bahkan murka ketika klub gagal mendapatkan Howard Kendall pada 1967 yang membuatnya mengirimkan surat pengunduran diri.

Maka setelah Shankly memutuskan pensiun, pihak klub mungkin merasa lega dan nyaman untuk menjaga jarak dengannya. Karismanya yang besar membuat Shankly menjadi sosok yang sangat kuat sehingga muncul kekhawatiran akan mengintervensi tugas manajer jika duduk di dewan direksi klub.

Bertahun-tahun kemudian, saat Liverpool menjalani musim-musim panen trofi, tidak ada tanda-tanda hubungan Shankly dan klub membaik. Justru semakin suram setelah beberapa kesalahpahaman akibat kesalahan media dalam mengutip opini Shankly tentang mantan klubnya dalam kapasitasnya sebagai pandit.

Pada 26 September 1981, tujuh tahun sejak pengunduran dirinya, Shankly mengalami serangan jantung dan dibawa ke Rumah Sakit Broadgreen, Liverpool. Keesokan harinya, Shankly sempat pulih dan bercanda dengan salah seorang perawat sembari mengatakan: “Nanti, ketika saya mati, saya akan menjadi orang tersehat yang pernah mati.”

Shankly memang tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, dan rutin berolahraga setiap hari hingga membuatnya menjadi sosok yang tetap sehat di usia senja.

Meski demikian, Shankly mendapat serangan jantung yang kedua. Usai dirawat di unit perawatan intensif, pada 29 September 1981, tepat hari ini 39 tahun lalu, Shankly dinyatakan meninggal dunia.

"Shankly adalah pria yang bugar, tapi dia meninggal patah hati," ujar Johnny Giles, legenda Leeds United.

Infografik Mozaik Bill Shankly

Infografik Mozaik Bill Shankly. tirto.id/Sabit

Peletak Fondasi

Kematian Shankly membuat Paisley--yang menjadi asistennya selama 14 tahun--sangat berduka. “Bill adalah salah satu manajer terhebat yang pernah ada. Saya sangat, sangat terkejut. Meskipun saya tahu betapa parahnya dia sakit, berita itu tetap datang sebagai pukulan besar."

Selain Paisley, hadir melayat sejumlah manajer terkenal seperti Busby, Jock Stein, Tommy Docherty, Lawrie McMenemy, dan Ron Saunders. Konon, Busby sangat sedih dan tidak mau menerima telepon dari media-media yang menanyakan reaksinya. Tetapi di antara semua yang berduka karena kematiannya, para suporter Liverpool yang paling terpukul dan patah hati.

Shankly menjadi bapak segalanya bagi Liverpool. Dialah yang memodernisasi, membangun kultur juara, dan mengubah sejarah Liverpool. Rumah tidak bisa dibangun jika tidak ada pondasi kokoh. Maka raihan berbagai gelar Liverpool sejak Paisley hingga Jurgen Klopp saat ini, selalu akan dikaitkan dengan jasa Shankly di masa lalu.

Era Paisley menjadi era tersukses sepanjang sejarah Liverpool, tetapi tanpa skuat warisan yang luar biasa, akan sulit bagi Paisley untuk mewujudkannya. Shankly merekrut banyak pemain muda bertalenta untuk melanjutkan kesuksesan yang dibangunnya. Pada akhir masa kepelatihannya, hanya ada dua pemain yang berusia lebih dari 30 tahun di skuad Liverpool. Hal itu terjadi karena Shankly sukses membuat kesepakatan dengan dewan direksi klub, bahwa semua pembelian dan penjualan harus dengan persetujuannya.

Shankly adalah tipikal manajer modern yang berpadu dengan etos kerja dan dedikasi tinggi. Dialah yang membenahi fasilitas Melwood sebagai tempat latihan, mengenalkan metode latihan dan taktik baru pass and move ala Eropa daratan.

Tetapi lebih dari semua itu, prestasi terbaik Shankly adalah membangkitkan kepercayaan pada dirinya sendiri, tim, dan suporter. Dia mengembalikan kebanggaan kepada Anfield dan hal itu terus bertahan hingga hari ini.

Shankly adalah manajer Liverpool yang memiliki hubungan paling spesial dengan para suporter dan warga Liverpool. Dia mengaku: “Apa yang saya raih di Anfield, saya melakukannya untuk para penggemar. Bersama-sama kami mengubah Liverpool menjadi satu keluarga besar, sesuatu yang hidup dan bersemangat, hangat, dan sukses.”

Patung perunggu Shankly berdiri di luar Anfield bertuliskan “He made the people happy”, dan itu terbukti.

Baca juga artikel terkait LIVERPOOL atau tulisan lainnya dari Aji Wibowo

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aji Wibowo
Editor: Irfan Teguh Pribadi