tirto.id -
Ia menyampaikan, kekhawatiran itu tak lepas dari situasi global yang tengah berkembang seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, fluktuasi harga minyak dunia, kondisi geopolitik, hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina.
"Faktor yang merupakan down side risk masih cukup terlihat, di antara para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20," kata Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Kamis sore (13/6/2019).
Kondisi tersebut, kata Sri Mulyani, tentu akan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan perekonomian domestik yang ditargetkan bisa tumbuh di kisaran 5,3 persen tahun ini.
Meski demikian, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu masih optimistis inflasi akan tetap sama sesuai dengan asumsi. Sementara nilai tukar rupiah dengan asumsi Rp15.000 per dolar AS, "diperkirakan akan mengalami penguatan dibandingkan dengan asumsi APBN,” ujar Sri Mulyani.
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan yang sebesar 5,3 persen, dimungkinkan mengalami tekanan meskipun dirinya meyakini bahwa pada semester kedua 2019 diperkirakan tekanan kenaikan suku bunga global akan berkurang secara drastis.
Di samping itu, ICP [Indonesia Crude Price] atau patokan harga minyak mentah Indonesia yang sebesar 70 dolar per barel juga diperkirakan akan mengalami tekanan ke bawah,” ujarnya.
Kemudian, untuk lifting minyak dan gas bumi (migas), kata Sri Mulyani, juga diperkirakan tidak akan tercapai atau ada risiko mengalami pencapaian yang lebih rendah dari asumsi.
"Dengan kondisi tersebut, maka akan kita lihat di dalam APBN kita, tekanan terhadap pendapatan negara dan hibah akan terlihat dari sisi perpajakan, baik yang berasal dari risiko global, penurunan dari ekspor, investasi dan penurunan dari pendapatan perusahaan perusahaan yang mengandalkan komoditas," terangnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri