tirto.id - Sebuah tepukan di bahu adalah peringatan pertama. Dalam lima menit, goyangan kecil di pinggang atau punggung akan mampir. Peringatan kedua. Kalau itu tak mempan, celakalah. Strike three. Teriakan akan menggema.
“Ayo tangi! Selak sholat-e dimulai! Mumpung jedinge kosong!”
Ayo bangun. Keburu sholatnya mulai. Mumpung kamar mandinya kosong.
Para matriarch di keluarga besar Masdar Damang akan mulai mengguncang dengan suara mereka yang menggelar. Mamak, juga para tante, akan membangunkan anak-anak ayamnya yang bandel dan masih ngantuk karena semalam begadang hingga nyaris subuh. Teriakan serta omelan mereka panjang dan tahan lama, hingga kami semua terbangun dan bersiap untuk pergi sholat Ied.
Momen ini terjadi tiap 1 Syawal, dan semua cucu keluarga Masdar bergembira. Bisa makan banyak. Jajan bakso. Minum es campur siang-siang. Juga dapat angpao. Meski malas-malasan, kami akan mulai beranjak dari kasur dan langsung menuju meja makan untuk mengumpulkan nyawa, minum teh hangat, serta menunggu giliran mandi.
Dari dapur, aroma kaldu ayam tercium hingga ke ruang depan. Wangi dan bikin mata melek. Di amben yang usianya mungkin setua Republik, sudah ada segala ubo rampe soto Banjar. Perkedel, ayam suwir, kentang goreng, seledri, dan sambal.
Kadang kami mencomot satu dua perkedel, berujung pelototan dan gusrahan. Para matriarch mengusir kami yang mencuri perkedel, persis seperti mereka mengusir ayam-ayam yang mengambil gabah.
Keluarga Masdar memang besar. Kaik —begitu kami memanggil Kakek— dan Nenek punya 12 anak. Namun empat di antaranya meninggal di usia kanak dan belia. Setiap jelang lebaran, anak cucu Masdar akan kumpul di rumah Kaik dan Nenek di Lumajang, sebuah kota kecil yang tenang di Jawa Timur. Para anak cucu ini datang dari mana-mana. Ada yang dari Berau, Samarinda, Denpasar, Jombang, Surabaya, hingga yang paling dekat, Jember.
Dari setiap pertemuan keluarga besar ini, satu yang tak pernah absen: soto Banjar.
Sewaktu saya belum bisa membaca, dan almarhum Kaik Masdar masih ada dan rajin mengabsen cucunya untuk membaca kumpulan surat pendek, selalu ada soto Banjar di tiap acara keluarga besar.
Kaik Masdar berdinas di Angkatan Laut. Ia membawa serta keluarganya pindah dari Berau, Kalimantan Timur, untuk dinas di Surabaya pada 1960. Setelah pensiun, dia memilih tinggal di Lumajang, sekitar empat hingga lima jam perjalanan dari Surabaya.
Sebagai keluarga dari Kalimantan yang merantau ke Jawa, soto Banjar adalah penegas identitas keluarga Masdar. Soto Banjar membuat keluarga Masdar senantiasa punya akar untuk dipegang. Membuat Kalimantan Timur yang jauh, dan sanak keluarga yang terpisah zona waktu, terasa hanya di depan mata.
Itu kenapa soto Banjar jadi semacam pusaka yang diajarkan turun temurun. Dari Nenek ke anak-anaknya. Ke para cucu. Cicit. Canggah. Kelak ke wareng. Udhek-udhek. Dan seterusnya. Ia ada di acara nikahan, khitanan, pengajian, dan sudah pasti lebaran. Nyaris semua cucu Kaik Masdar, tak peduli lelaki atau perempuan, pasti tahu cara masak soto Banjar.
Sama seperti semua jenis soto, kekuatan terbesar soto Banjar adalah kuah kaldunya. Soto Banjar keluarga kami yang disantap di hari biasa bolehlah punya kaldu dari ayam broiler. Tapi di hari spesial, ia wajib punya kuah dari ayam kampung. Tak bisa ditawar. Jika perkara kuah ini sudah rampung, yang lain adalah sepele.
Soto Banjar sebenarnya hidangan dengan banyak bumbu, tapi tidak kompleks. Semua bisa ditemukan di warung terdekat. Bumbu intinya hanya bumbu dasar putih: bawang merah, bawang putih, dan merica. Di resep keluarga lain, ada yang pakai jahe. Rempah lain yang memang agak banyak, seperti adas, cengkeh, kayu manis, pala, dan kapulaga.
Sebenarnya ada satu rempah lagi yang biasanya dipakai di soto Banjar keluarga kami ketika masih tinggal di Tanjung Redeb: kaskas. Karena di Jawa Timur susah mendapat rempah yang di dunia luar dikenal sebagai poppy seed ini, maka keluarga kami memilih melewatkannya.
Ada dua jenis soto Banjar: yang pakai susu, dan yang tak pakai susu. Keluarga kami biasa membuat yang tipe kedua. Alasannya sederhana, soto Banjar sonder susu terasa lebih segar dan kuah kaldunya lebih terasa, tidak harus bertabrakan dengan rasa susu yang creamy dan rawan overpowering.
“Kalau pakai susu, kadang banyak orang mudah eneg,” kata Mamak.
Karena bahan-bahannya gampang dicari, jadilah soto Banjar relatif mudah dibuat. Tapi pekerjaan tambahannya lumayan menyita waktu. Harus membuat lontong atau ketupat, tentu saja. Keluarga kami bilang, paling enak memang makan soto Banjar pakai lontong. Kalau pakai nasi, namanya jadi sop. Meski begitu, ada saja dari kami yang tetap suka makan soto Banjar pakai nasi.
“Kurang lengkap kalau gak pakai nasi,” celetuk salah satu sepupu saya, tengil betul.
Selain lontong, kami wajib membuat perkedel (yang artinya kudu mengupas, merendam, dan menggoreng kentang). Lalu ada kentang iris tipis yang digoreng hingga renyah seperti keripik (ini camilan favorit kami kalau para matriarch sedang tak ada di dapur atau lengah). Juga ada bihun. Telur bebek rebus. Plus sambal.
Anggap saja semua beres. Selanjutnya adalah penentuan formasi. Keluarga kami biasanya menghidangkan formasi yang sudah bertahan puluhan tahun: lontong, bihun, perkedel dipenyet, ayam suwir, telur rebus yang dipotong memanjang, bawang goreng, seledri, keripik kentang, sambal bajak, dan jeruk nipis.
Setelahnya, baru saat menentukan: disiram kuah yang panas mengepul. Aroma kaldu ayam kampung menguar di udara, bercampur dengan tajam aroma bawang putih goreng dan margarin yang dituang di belanga sesaat sebelum api dimatikan. Perkedel bisa dimakan begitu saja, atau dipenyet, membuat kuah mengental, mengeruh, dan rasa gurihnya berlipat. Yang jangan dilewatkan: kecrutan jeruk nipis dan sambal bajak yang bikin pori-pori di kepala terbuka.
Habis sholat Ied dan bermaaf-maafan, saatnya kami mendapat jatah satu mangkuk soto Banjar. Penuh, tak membedakan umur. Semua dari kami sanggup menyantap soto Banjar dua mangkuk pagi itu. Setelah mendapat jatah, kami semua, belasan orang jumlahnya, berkumpul di ruang tamu, makan soto dengan peluh menetes dari dahi, dan amplop penuh uang dari om dan tante.
Perasaan kami berbunga.
Sejak saya menikah dengan seorang perempuan berdarah Minang-Palembang yang menghabiskan nyaris seperempat hidupnya di Jambi, mama mertua senantiasa berusaha untuk membuat saya seperti merasa di rumah. Caranya sederhana: masak soto Banjar. Di tahun-tahun sebelum saya jadi anggota keluarga mereka, hidangan yang tersaji di meja makan mereka adalah pempek, rendang, ketupat, juga opor.
Saya sempat kaget sewaktu pertama kali lebaran di Jambi. Ayam baru berkokok, Papa mertua sudah asyik mengudap pempek dan menghirup cuko. Saya bengong dan membatin: kuat betul lambung orang Ogan Komering Ilir, sepagi ini sudah disiram cuko. Ampun.
Upaya Mama mertua menghidangkan soto Banjar setiap lebaran di rumah Jambi, membuat jarak seperti terlipat. Soto itu membuat saya merasa tak asing walau ada di tanah rantau, di keluarga baru, dengan tradisi kuliner yang asing pula. Mungkin ini yang dirasakan Kaik Masdar dan Nenek Zubaedah ketika pertama kali datang di Lumajang pada dekade yang berkobar itu.
Bagi saya, lebaran memang tak akan pernah sama lagi. Ayah meninggal pada 2010, dan itu meninggalkan lubang besar yang tak akan bisa ditambal sampai kapanpun. Kakak sepupu yang amat dekat dengan saya, Rizal Fachriansyah, meninggal di usia terlampau muda. Tiga anak lelaki Kaik Masdar sudah meninggal dunia, menyisakan lima orang anak perempuan, para matriarch yang sampai sekarang masih sehat dan punya banyak energi —apalagi hanya untuk mengomel dan meneriaki anak-keponakan-cucu yang susah diatur.
Banyak dari sepupu sudah menikah dan membangun keluarga sendiri. Kami yang dulu usia belasan, sekarang sudah jadi om dan tante. Kami tak lagi dapat amplop, dan beralih menjadi pemberi amplop. Sama seperti para anak Kaik Masdar yang merantau hingga jauh, kami semua tersebar di mana-mana. Di Lombok, Aceh, Berau, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, hingga Perth. Masa-masa makan soto Banjar bareng dengan formasi penuh mungkin akan sulit diulangi lagi.
Kami semua sadar bahwa hidup akan terus berjalan. Orang datang dan pergi: dikenang, ditangisi, juga didoakan. Meski hidup maju terus dan meninggalkan masa serta kenangan di belakang, ada satu hal yang masih dan akan terus jadi pengikat keluarga kami, baik di lebaran masa lalu dan lebaran masa datang. Menjelma akar yang membuat kami senantiasa ingat asal-usul dan memegangnya teguh.
Soto Banjar. []
Editor: Fifa Chazali