Menuju konten utama

Soeharto Pun Tak Mampu Kejar 'Time' Sampai ke Ujung Dunia

Soeharto menggugat Time karena merasa difitnah. Proses perkara ini sangat lama, panjang, rumit, tapi berakhir semu.

Soeharto Pun Tak Mampu Kejar 'Time' Sampai ke Ujung Dunia
Sampul-sampul majalah Time yang menampilkan Soeharto. tirto.id/Fiz

tirto.id - “Minggu ini, saya dan Partai Demokrat kembali mendapatkan fitnah besar. Ada pihak asing yang mengarang cerita yang tidak mengandung kebenaran. Korbannya lagi-lagi SBY dan Partai Demokrat,” ucap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, Senin (17/9/2018) lalu.

“Sayangnya, sebagian dari media massa dan pihak-pihak tertentu di dalam negeri ikut menyebarluaskan fitnah yang jauh dari logika dan kebenaran ini," lanjut Presiden RI ke-6 ini.

Dengan tegas, SBY menambahkan, “Saya pastikan kita akan menggunakan hak hukum kita untuk menyelesaikan masalah ini. Akan kita kejar sampai ke ujung dunia mana pun yang merusak dan menghancurkan nama baik kita!"

SBY dan Partai Demokrat meradang lantaran pemberitaan berjudul “Indonesia's SBY Government: Vast Criminal Conspiracy”. Artikel yang dipublikasikan Asia Sentinel itu memaparkan dugaan bahwa rezim SBY (2004-2014) terlibat skandal pencurian uang pembayar pajak senilai 12 miliar dolar AS.

Laporan yang ditulis John Berthelsen tersebut juga menyinggung dana skandal Bank Century telah masuk ke kas Partai Demokrat. Bahkan, Berthelsen menyebut bank bermasalah itu dengan istilah “bank-nya SBY”.

Atas pemberitaan yang oleh SBY disebut fitnah itu, Partai Demokrat bakal menggugat Asia Sentinel yang bermarkas di Hong Kong, juga pihak-pihak lain yang turut menyebarkan laporan tersebut.

SBY bukan yang pertama. Presiden RI ke-2, Soeharto, juga pernah diterpa persoalan serupa 19 tahun silam, tapi dalam konteks berbeda. Kejadiannya terjadi tidak lama setelah Soeharto lengser dari kekuasaan. Soeharto dan keluarga Cendana merasa difitnah, lantas mengejar Time—meminjam istilah SBY—sampai ke "ujung dunia".

Cendana Membidik Time

Hampir setahun setelah Soeharto lengser dari kursi presiden, Majalah Time Asia edisi 24 Mei 1999 memuat liputan khusus dengan tajuk “Soeharto Inc.: How Indonesia's Long Time Boss Built a Family Fortune”. Tak main-main, wajah Soeharto dengan senyum khasnya terpampang jelas di sampul depan majalah itu.

Time Asia melaporkan bahwa ada pergerakan transfer dana sebesar 9 miliar dolar AS dari Swiss ke Austria. Uang dalam jumlah besar tersebut, tulis Time, diduga milik Soeharto dan ditransfer pada Juli 1998 atau kurang dari sebulan setelah mundur dari kursi kepresidenan.

Dikutip dari buku Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana (2009) karya Femi Adi Soempeno, Departemen Keuangan Amerika Serikat melacak transfer tersebut melalui berbagai jalur diplomatik di Wina, ibu kota Austria.

“Terdapat laporan bahwa uang dalam jumlah sangat besar yang terkait dengan Indonesia telah dialihkan dari sebuah bank di Swiss ke bank lain di Austria, yang saat ini dianggap sebagai surga uang aman bagi deposito-deposito rahasia,” demikian tulis Time dalam laporannya.

Time telah berhasil mengetahui bahwa US$ 9 miliar uang Suharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Bank Austria,” lanjut tulisan tersebut dikutip dari website Institute for Criminal Justice Reform.

Laporan investigasi Time juga menyebutkan, Soeharto dan anak-anaknya telah membangun kerajaan bisnis dan menimbun miliaran dolar AS. Jumlah kekayaan keluarga Cendana kala itu diperkirakan antara 15 miliar sampai 73 miliar dolar AS (hlm. 56).

Tak hanya Time, ada beberapa media internasional lainnya pada periode itu yang juga mengungkap harta keluarga Soeharto. New York Times, misalnya, menyebut aset Soeharto diperkirakan mencapai 30 miliar dolar AS. Demikian pula dengan laporan Forbes yang memasukkan Soeharto dalam daftar 100 orang terkaya di dunia.

Namun, hanya Time yang disasar Cendana terkait laporan tersebut. Merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya, keluarga Soeharto menggugat media yang bermarkas di New York dan perwakilan Asia-nya yang berbasis di Hong Kong itu.

Todung Mulya Lubis yang ditunjuk sebagai kuasa hukum Time merasa aneh karena keluarga Soeharto tidak mengajukan gugatan terhadap media-media lain atas persoalan yang nyaris sama.

“Entah mengapa, hanya Time yang digugat. Kalau dibilang Time tak akurat, apakah semua publikasi oleh Asian Wall Street Journal, Asia Week, Forbes, dan yang lain-lain tak akurat?” sergah Todung dalam buku berjudul Dari Kediktatoran Sampai Miss Saigon (2013) yang ditulisnya (hlm. 315).

Ia juga heran karena gugatan Soeharto diajukan di Indonesia. “Kalau Soeharto serius ingin menggugat, mestinya di jantung Majalah Time di New York atau Hong Kong. Gugatan harus diajukan di tempat tergugat berada. Itu diatur dalam hukum acara kita,” tandas Todung.

Tarik-Ulur Soeharto vs Time

Soeharto dan keluarga merasa telah dihina dan dicemarkan nama baiknya melalui liputan khusus itu. Maka, dikutip dari buku Wajah Pers Indonesia (2006), melalui Juan Felix Tampubolon dan O.C. Kaligis selaku kuasa hukum, Soeharto dan keluarganya menggugat Time Asia (hlm. 80).

Selain Time Asia, ada 6 tergugat lainnya yang merupakan para punggawa majalah tersebut, yakni Donald Marrison, John Colmey, Davit Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua orang yang disebut terakhir adalah warga negara Indonesia.

“Mereka telah menghina dan mencemarkan nama baik klien kami,” tukas Juan Felix sembari mengatakan bahwa Time telah membuat pemberitaan yang insinuatif dan menimbulkan kesan seolah-olah Soeharto adalah orang serakah. Pernyataan Felix itu dikutip Dianto Bachriadi dan Anton E. Lucas dalam Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan (2001: 172).

Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Soeharto dan keluarga meminta agar para tergugat dijatuhi hukuman untuk memulihkan kehormatan serta nama baik pihak penggugat.

Keluarga Soeharto juga menuntut kepada para tergugat untuk mencabut tulisan dan gambar yang telah dipublikasikan di majalah Time Asia serta meminta maaf melalui media cetak dan elektronik nasional maupun internasional.

Tak hanya itu, Time juga dituntut membayar ganti rugi materil kepada pihak penggugat sebesar 40 ribu dolar AS, ditambah kerugian imateril sebesar 27 miliar dolar AS atau setara dengan 189 triliun rupiah sesuai kurs waktu itu.

Infografik Soeharto vs time

Ternyata, seperti diberitakan Majalah Gamma (Volume 3, Masalah 6-14, 2001), gugatan Soeharto ditolak PN Jakarta Pusat pada 6 Juni 2000 (hlm. 94). Pihak penggugat mengajukan banding. Namun, pada 16 Maret 2001, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak banding itu dan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.

Ronde pertama dan kedua, keluarga Cendana kalah. Namun, Soeharto dan putra-putrinya belum menyerah. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Cukup lama kasus ini bergulir dalam sunyi dan luput dari perhatian. Hingga akhirnya, pada 30 Agustus 2007, MA mengumumkan keputusannya. Majelis Kasasi memutuskan bahwa Time telah melawan hukum atas tindakannya memuat laporan terkait kekayaan keluarga Soeharto.

Time Asia dan 6 tergugat lainnya harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar 1 triliun rupiah. Selain itu, mereka wajib menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto dan keluarga di 5 koran dan majalah nasional selama 3 hari berturut-turut, plus di majalah Time Asia (Tempo, Volume 36, Masalah 27-31, 2007: 29).

Ronde ketiga dimenangkan kubu Soeharto.

Sengkarut Berakhir Semu

Keputusan MA yang menganulir putusan PN Jakarta Pusat dan PT DKI Jakarta sontak membuat geger kala itu. Majelis Kasasi menilai, gambar dan tulisan yang dimuat Time Asia terkait Soeharto dan keluarganya telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap kehati-hatian, terlebih lantaran sudah tersebar luas.

Tak hanya itu, dikutip dari laporan Gita Pratiwi dalam Pikiran Rakyat (10/9/2017), Time Asia juga didakwa telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Soeharto sebagai jenderal besar serta mantan presiden Indonesia.

Time membela diri dan bersiap melawan balik. Mereka bersikukuh bahwa liputan khusus itu merupakan hasil investigasi. Data dan fakta diperoleh secara langsung dan akurat melalui proses selama 4 bulan di 11 negara, termasuk data-data dari Indonesia yang didapat secara resmi.

Kepada MA, pihak Time mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ketika proses ini tengah berjalan, Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008.

Pada 16 April 2009, MA akhirnya memberikan keputusan final, yakni menerima PK yang diajukan Time. “Mengabulkan PK, membatalkan judex juris (putusan kasasi)," ucap Hatta Ali selaku salah satu anggota majelis hakim, seperti diberitakan Antara (16/4/2009).

Bertolak belakang dengan dakwaan pada tahap kasasi, MA kali ini justru menyatakan bahwa laporan yang diangkat Time tentang investigasi kekayaan Soeharto tidak termasuk perbuatan melawan hukum. “Itu tidak melanggar kode etik pers dan sudah diberikan hak jawab di Time," jelas Hatta Ali.

Lantas, bagaimana reaksi kubu Soeharto terkait putusan akhir MA itu?

Mau tidak mau, keluarga Cendana harus legawa. Kendati dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun, dikabulkannya PK merupakan keputusan final.

“Meski menyesal, kami harus menerima kenyataan karena PK adalah upaya hukum terakhir,” kata Mohammad Assegaf, salah satu kuasa hukum pihak keluarga Soeharto, seperti dilansir Vivanews (16/4/2009).

“Dengan putusan ini, Mahkamah tidak melihat adanya penistaan dan pencemaran nama baik klien saya,” imbuhnya.

Begitulah. Balada perkara antara keluarga Soeharto vs Time Asia yang memakan waktu lama dan telah melalui fase pengadilan yang berlarut-larut harus berakhir semu. Banyak pihak yang bersyukur dengan kemenangan Time. Namun, sebenarnya tidak ada pemenang sejati dalam perkara ini.

Semua tuntutan kepada Time memang telah batal demi hukum. Namun, temuan investigasi Time terkait transfer dana 9 miliar dolar AS yang diduga milik Soeharto itu belum juga ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang.

Baca juga artikel terkait SOEHARTO VS MAJALAH TIME atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Hukum
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan